Televisi mirip kotak pandora. Banyak keajaiban yang bisa muncul tiba-tiba dari sana, membuat orang terpana, lalu terlena. Dampak televisi seperti hipnotis, mengendalikan pikiran penontonnya.
Manusia di belakang produksi acara televisi tidak netral. Bukan cuma televisi, hampir semua media – bahkan media sosial – punya sudut pandang sendiri yang bisa saja subyektif.
Sejak kehadirannya pun televisi telah menuai kritik. Kehadiran televisi “ditakuti” karena isinya cenderung hanya berisi hiburan, hingga kekhawatiran akan merusak demokrasi.
Televisi dianggap punya dampak terhadap penyakit sosial yang marak pada era 1960, 1970, dan 1980-an.
Ada yang percaya bahwa televisi adalah cara untuk bersantai. Namun, televisi dianggap pula sebagai media pengontrol, membuat terlena sehingga mematikan daya analitik otak.
Dampaknya, penonton jadi tidak kritis, atau tidak logis, saat memproses informasi yang ditayangkan televisi. Sulit mengambil keputusan atau penilaian tentang apa yang kita dengar di televisi.
Otak penonton menjalani proses serupa hipnosis. Kesamaan antara hipnosis dan efek menonton televisi diungkapkan dalam buku Dr Aric Sigman berjudul Remotely Controlled (2007).
Sigman menggambarkan hipnosis sebagai “keadaan kesadaran yang berubah”; seperti tidur sambil berjalan, kondisi saat pikiran dipengaruhi oleh orang lain (penghipnotis).
Hipnosis membuat orang lebih terbuka terhadap saran, dan ini terjadi karena dikondisikan santai dan tidak bersikap kritis. Saat melakukan ini, lobus frontal menjadi kurang terhubung dengan otak sehingga kita seperti “mati”.
Lobus frontal adalah bagian penting dari otak karena merupakan sistem tipe manajemen yang memastikan bahwa pengendalian diri, penilaian moral, dan perhatian kita direncanakan, diatur, dan diurutkan.
Kekhawatirannya adalah bahwa lobus frontal dapat rusak karena menonton televisi dan ini dapat terjadi pada masa kanak-kanak karena lobus frontal berada dalam tahap perkembangan terus-menerus hingga sekitar usia 20 tahun.
Hipnosis efektif menyebabkan stimulasi sehingga hanya menggunakan sisi kanan otak. Hipnosis “mematikan” sisi kiri yang digunakan untuk berpikir kritis.
Sementara hipnosis bisa jadi solusi ekstrem untuk kondisi tertentu, hanya butuh 30 detik untuk berada dalam keadaan yang sama, saat menyalakan televisi. Demikian temuan Profesor Herbert Krugman dalam sebuah penelitian yang dilakukan pada 1971.
Kesimpulannya, penonton tidak memikirkan informasi yang dikirimkan melalui televisi. Dengan kata lain, cara televisi berkomunikasi tak berbeda dengan “cuci otak”.
Dampak dalam jangka menengah dan jangka panjang, penonton menjadi kurang inventif dalam pemecahan masalah dan kurang mampu berkonsentrasi. Maka di Inggris, televisi digunakan untuk membuat tahanan diam.
Pihak otoritas melihat cara ini sebagai mekanisme kontrol terbaik. Narapidana menjadi sasaran efek penenang dari televisi yang bisa menundukkan perilaku, lagipula cara ini dinilai murah dan efektif.
Karena itu perlu kritis terhadap konten di media. Khususnya televisi, seringkali telah dijadikan pengasuh anak oleh orang tuanya; agar anak tak rewel ditempatkanlah ia di depan televisi.
Serial tweet dari akun Twitter @PsikologID berikut, mungkin bisa mencerahkan kita tentang dampak televisi terhadap perilaku dan pola pikir penontonnya, khususnya anak-anak yang belum mampu membedakan dengan baik.
Selengkapnya bisa dilihat dari tautan berikut: Dampak Televisi terhadap Perilaku dan Pola Pikir (Storify telah ditutup).
*Photo by KoolShooters from Pexels