Beranda  »  Sorotan Media   »   Polemik Karakter AI ‘Tilly Norwood’

Polemik Karakter AI ‘Tilly Norwood’

Oleh: Melekmedia -- 2 Oktober, 2025 
Tentang: , ,  –  Komentar Anda?

wpvi ai actress tilly norwood

Industri hiburan Hollywood kembali diguncang kontroversi setelah kemunculan karakter digital bernama Tilly Norwood—seorang “aktris” yang sepenuhnya diciptakan menggunakan kecerdasan buatan atau akal imitasi (AI) generatif.

Pengumuman bahwa beberapa agen talenta menyatakan minat untuk “merekrut” karakter AI ini telah memicu gelombang kemarahan dari para aktor dan serikat pekerja, mempertegas ketegangan antara inovasi teknologi dan perlindungan hak pekerja kreatif.

Siapa “Tilly Norwood”?

Tilly Norwood bukanlah aktor manusia, melainkan kreasi digital hiper-realistis karya Eline Van der Velden, seorang aktor sekaligus pendiri studio talenta AI pertama di dunia, Xicoia/Particle6. Digambarkan sebagai seorang aktris muda bercita-cita tinggi, Tilly tampak sangat realistis.

Pada Zurich Summit, Van der Velden mengumumkan bahwa agensinya akan segera mengumumkan perwakilan resmi untuk Tilly Norwood—sebuah langkah yang langsung memantik reaksi keras dari berbagai pihak di industri hiburan.

Zurich Summit adalah acara sampingan industri film dari Zurich Film Festival, yang memanfaatkan reputasi kota sebagai pusat perbankan global untuk memperkuat perannya sebagai titik pertemuan bagi para pemodal dan pembuat film.

Inti Polemik: Ancaman Nyata bagi Aktor Manusia

Kekhawatiran utama yang mengemuka adalah bahwa karakter AI seperti Tilly akan menggerus peluang kerja aktor manusia. Di tengah industri yang sudah penuh persaingan, “aktor digital” yang tidak butuh gaji, istirahat, atau hak-hak pekerja, dipandang sebagai ancaman bagi profesi akting.

Respons Keras dari SAG-AFTRA

Serikat aktor Hollywood, SAG-AFTRA (Screen Actors Guild-American Federation of Television and Radio Artists), tegas menolak istilah “aktris” untuk Tilly Norwood. Menurut mereka, Tilly hanyalah “karakter yang dihasilkan komputer” (computer-generated character), bukan seorang aktor.

Duncan Crabtree-Ireland, Direktur Eksekutif Nasional dan Kepala Negosiator SAG-AFTRA, menegaskan bahwa serikat telah lama menyuarakan penentangan terhadap “penggantian atau replikasi penampilan manusia secara digital tanpa persetujuan dan kompensasi yang adil”.

Pernyataan ini menggaungkan kembali poin-poin krusial yang menjadi tema utama mogok kerja aktor Hollywood pada 2023—sebuah aksi protes yang melumpuhkan produksi film dan serial selama berbulan-bulan.

Seruan Boikot dari Aktor Ternama

Gelombang penolakan tidak hanya datang dari serikat pekerja, juga dari para aktor papan atas. Bintang seperti Melissa Barrera (Scream, In the Heights) dan Natasha Lyonne (Russian Doll) menyerukan boikot terhadap agen mana pun yang menandatangani kontrak dengan Tilly Norwood.

Barrera bahkan meminta semua aktor yang diwakili oleh agen tersebut untuk segera memutus hubungan kerja (“drop their a$$“), sebagaimana dilaporkan Men’s Journal pada 29 September 2025. Sikap tegas ini mencerminkan keprihatinan mendalam tentang masa depan profesi mereka.

Pertanyaan Etis tentang Pembuatan Karakter AI

Aktris Mara Wilson (Matilda) yang mengangkat dimensi etika, mempertanyakan proses di balik pembuatan Tilly, khususnya “ratusan wanita muda yang wajahnya digabungkan” dan mengapa tidak mempekerjakan salah satu dari mereka secara langsung.

Pertanyaan Wilson menyentuh isu sensitif tentang penggunaan data visual manusia tanpa kompensasi atau persetujuan yang jelas—sebuah masalah yang lama menjadi polemik dalam era AI generatif.

Pembelaan Sang Pencipta: AI sebagai Karya Seni

Menghadapi kritik tajam, Eline Van der Velden tidak tinggal diam. Melalui akun Instagram Tilly Norwood, ia merilis pernyataan pembelaan yang menekankan nilai artistik dari kreasinya.

“Tilly Norwood bukan pengganti untuk manusia, tetapi merupakan karya kreatif—sebuah karya seni,” tulis Van der Velden, sebagaimana dikutip Screen Daily pada 29 September 2025. Ia memposisikan AI sebagai “alat baru, kuas baru”—cara alternatif berimajinasi dan membangun narasi.

Ia membandingkan penggunaan AI dengan teknologi lain yang telah diterima industri, seperti animasi, boneka, atau computer-generated imagery (CGI), yang tidak menghilangkan kebutuhan akan akting langsung (CNET, 29 September 2025).

Argumen ini mencerminkan pandangan bahwa AI seharusnya dipandang sebagai perluasan kreativitas manusia, bukan pengganti tenaga kerja manusia.

Uji Kasus untuk Masa Depan Industri Hiburan

Kontroversi Tilly Norwood bukan sekadar perdebatan tentang satu karakter digital. Kasus ini menjadi “uji kasus” (test case) yang menyoroti pertempuran yang sedang berlangsung antara inovasi teknologi AI dan perlindungan tenaga kerja kreatif di industri hiburan.

Beberapa pertanyaan fundamental yang muncul:

1. Siapa yang Berhak Disebut “Aktor”? Perdebatan tentang terminologi mencerminkan pertanyaan lebih besar tentang definisi profesi dan hak-hak yang menyertainya.

2. Bagaimana Mengatur Penggunaan Data Visual Manusia? Jika karakter AI dibuat dengan menggabungkan fitur wajah ratusan orang nyata, apa kompensasi dan persetujuan yang diperlukan?

3. Bagaimana Melindungi Pekerja Kreatif tanpa Menghambat Inovasi? Industri menghadapi tantangan menemukan keseimbangan antara eksplorasi teknologi baru dan perlindungan mata pencaharian ribuan pekerja.

4. Apakah AI Bisa Hidup Berdampingan dengan Aktor Manusia? Atau keberadaannya akan selalu dipandang sebagai ancaman eksistensial?

Pelajaran untuk Industri Kreatif di Indonesia

Meskipun terjadi di Hollywood, kontroversi ini memiliki implikasi global, termasuk bagi industri kreatif Indonesia. Seiring berkembangnya teknologi AI, industri perfilman, periklanan, dan media di Indonesia perlu mengantisipasi tantangan serupa.

Beberapa langkah yang perlu dipertimbangkan:

  • Regulasi yang Jelas: Pemerintah dan organisasi profesi perlu menyusun kerangka regulasi yang melindungi hak pekerja kreatif sambil membuka ruang inovasi teknologi.
  • Dialog Multi-Pihak: Diperlukan dialog konstruktif antara teknolog, kreator konten, serikat pekerja, dan pembuat kebijakan.
  • Literasi Digital: Pekerja kreatif perlu memahami teknologi AI—bukan untuk menggantinya, tetapi untuk beradaptasi dan memanfaatkannya sebagai alat pendukung.
  • Perlindungan Data dan Hak Cipta: Perlu kejelasan hukum tentang penggunaan data visual dan kekayaan intelektual dalam pembuatan karakter AI.

Kontroversi Tilly Norwood adalah gejala dari transformasi fundamental yang sedang terjadi di industri hiburan global. Pertempuran antara inovasi AI dan perlindungan tenaga kerja kreatif ini diprediksi akan semakin sering muncul di masa depan.

Yang pasti, perdebatan ini bukan tentang menolak teknologi atau membiarkannya berkembang tanpa kendali. Ini tentang menemukan cara agar kemajuan teknologi dapat berjalan beriringan dengan keadilan bagi pekerja—sebuah tantangan yang memerlukan kebijaksanaan, empati, dan komitmen semua pihak.

Hollywood hari ini mungkin adalah Jakarta besok. Sudahkah kita siap?

*Tangkapan layar dari abc7.com

Artikel lain sekategori:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

```


Exit mobile version