Semua serba dimetaversekan. Dari dunia hiburan hingga pendidikan tak mau ketinggalan. Agar aman perlu perlindungan. Siapa yang berwenang?
Semesta meta yang menggabungkan virtual reality (VR) dan augmented reality (AR) dalam satu panggung, tak kalis dari ancaman. Pengelolaan secara desentralistik bukan (belum jadi) jaminan.
Selain pelecehan dan penyerangan seksual, perilaku kasar disorot dalam laporan tentang dampak metaverse—termasuk rasisme, intimidasi, serta ancaman kekerasan.
Tanpa jaminan keamanan, metaverse sulit berkembang dengan baik. Setidaknya begitulah komentar Mark Read, CEO WPP, di bawah payung World Economic Forum (WEF).
Dalam sebuah artikel akhir Mei lalu ia memperingatkan algoritme dan model bisnis metaverse harus dirancang dengan mengutamakan keselamatan—terutama untuk pengguna lebih muda.
“Hanya jika kita melakukan ini dengan benar, peluang untuk bisnis dan penggunaan metaverse bisa jadi tidak terbatas,” katanya.
Agar layak menjadi “tempat tinggal” dan berbisnis, metaverse perlu kontrol untuk melindungi pengguna dari penyalahgunaan, penipuan, dan kerugian.
Keamanan jadi isu, mengingat anonimitas adalah salah satu daya tarik terbesar metaverse. Ia jadi sarana melindungi privasi, tapi bisa jadi kedok bagi aktor jahat. Tanpa identitas, kejahatan sulit ditindak.
Dilema pengaturan semesta meta inipun jadi sorotan di sejumlah artikel belakangan ini. Semisal di Forbes, yang mempertanyakan bagaimana mengatur sesuatu yang “sulit diatur”?
Penegak hukum di metaverse
Di dunia nyata, ada penegak hukum yang menjaga ketertiban umum dalam suatu kawasan. Di metaverse, saat ada sekumpulan massa “melanggar hukum”, siapa yang bertanggung jawab?
Tata kelola di lingkungan virtual terpadu dan persisten melalui teknologi “extended reality” (XR), ini tak bisa dimungkiri jadi pertanyaan besar.
Teknologi untuk monetisasi semesta meta tengah dikembangkan. Seiring dengan itu pertanyaan tentang tata kelola muncul, seunik dan sekompleks alat itu sendiri.
Setidaknya 160 perusahaan telah menjalankan metaverse, di antaranya mungkin ada yang belum terjamah hukum. Pada akhirnya, akan ada aspek yang harus tunduk pada hukum.
Pengalaman dengan media sosial (Web 2.0) yang dianggap memonetisasi penggunanya—lewat eksploitasi data pribadi untuk optimalisasi keuntungan—tak boleh terulang.
Cathy Li, dari salah satu lembaga anggota World Economic Forum, mencatat sejumlah inisiatif untuk melihat sisi hukum metaverse.
Ia mengutip Benedict Evans yang memperkirakan tata kelola ini butuh aturan terpisah, di atas hukum umum masyarakat, untuk mengurangi konsekuensi yang tidak diinginkan.
Selain itu ada Brittan Heller, seorang pengacara teknologi, yang menyerukan ala “911” untuk melaporkan pelecehan di lingkungan virtual.
Sementara Microsoft, salah satu yang getol membangun metamesta, menguraikan skenario kerja sama komunitas keamanan yang terbukti tangguh menghadapi ancaman saat ini.
Tantangan meregulasi metaverse
Struktur pemerintahan alternatif yang desentralistik populer di kalangan pendukung “web3”. Mereka berpendapat bahwa pengguna, bukan eksekutif, yang memiliki otoritas pengambilan keputusan.
Praktiknya termanifestasi sebagai organisasi otonom terdesentralisasi (DAO), yang menerbitkan token berbasis blockchain (NFT) sebagai tanda pemilik hak ekonomi serta tata kelola.
Banyak dunia virtual memperjualbelikan aset digital dengan aturan dan penerbitan aset oleh DAO. Teorinya, masalah tata kelola apa pun diputuskan oleh (anggota) DAO. Termasuk memoderasi konten.
Proponen metaverse menilai aplikasi terdesentralisasi yang “sehat dan sukses” mengundang banyak pengguna, jadi perubahan aturan hanya mungkin disetujui jika melayani kepentingan penggunanya.
Bahwa teorinya menarik, tata kelola terdistribusi (desentralistik) tidak menyediakan aparatur jalan yang jelas ketika tantangan tidak terkendali.
“Jika lingkungan virtual yang dijalankan oleh DAO menjadi ‘beracun’, siapa yang bertanggung jawab?” tantang Cathy Li.
Para proponen meyakini lingkungan yang “beracun” mematikan partisipasi. Maka, moderasi konten akan terjadi secara alami tanpa penegakan—meskipun prinsipnya belum teruji.
Cathy mengingatkan, apa yang berhasil di dunia nyata tidak bisa diterapkan begitu saja pada metaverse, sementara model baru butuh eksperimen yang cermat sebelum dapat diandalkan dalam skala besar.
Jangan lupa anonimitas adalah salah satu daya tarik terbesar metaverse, ia tidak selalu jadi kedok bagi aktor jahat, tetapi sarana melindungi privasi.
*Foto ilustrasi Pixabay via Pexels