Peta Konsep yang Bukan Mind Map – Melék Media


Beranda  »  Tata Laksana » Untuk Guru   »   Peta Konsep yang Bukan Mind Map

Peta Konsep yang Bukan Mind Map

Oleh: Melekmedia -- 7 November, 2011 
Tentang: ,  –  Komentar Dinonaktifkan pada Peta Konsep yang Bukan Mind Map

Peta Pexels lilartsy

Di beberapa buku mata pelajaran untuk siswa, bisa ditemukan istilah peta konsep. Tetapi seringkali peta tersebut lebih menyerupai Mind Map yang merupakan merek dagang sebuah produk berhak cipta.

Peta dimaksud tidak menyerupai peta konsep, karena penjelasan hubungan antar konsepnya tidak lengkap, dan tidak ada pertanyaan utama yang membatasi konsep dimaksud.

Contohnya peta konsep di bawah ini, diambil dari buku Galeri Pengetahuan Sosial Terpadu. Petanya cukup menyesatkan karena tidak sesuai dengan struktur peta konsep.

Frasa “Kondisi Fisik Wilayah Indonesia dan Penduduk”, bisa dipisahkan menjadi dua konsep berbeda: (1) Kondisi Fisik Wilayah Indonesia dan (2) Kondisi Penduduk Indonesia.

Kedua konsep tidak bisa disatukan sebagai awal pemetaan konsep, karena akan membuat cabang yang terlalu banyak. Setiap peta konsep, sebaiknya dimulai dengan satu konsep terlebih dahulu.

Lalu gambar apa sebenarnya dalam buku tersebut? Apa sebenarnya peta konsep? Bila bukan peta konsep, lalu apa yang tepat untuk menggambarkan hubungan antar-gagasan dalam buku tersebut?

Kita akan coba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, termasuk mengapa ia bukan peta konsep, dan mengapa perlu dibedakan dengan metode lainnya.

Berikut contoh Peta Konsep dari buku Galeri Pengetahuan Sosial Terpadu untuk SMP/MTs kelas VIII yang diunduh dari web Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Apa bedanya?

Peta konsep atau mind map, bisa menjadi metode yang membantu anak, atau siapapun, untuk belajar secara lebih efisien. Ia sekaligus bisa menjadi media untuk mengekspresikan pikiran secara sederhana.

Mari tengok “peta konsep” pada gambar dari buku pegangan siswa di awal tulisan ini. Pada bagian hulu, diletakkan frasa “Kondisi fisik wilayah Indonesia dan Penduduk”.

Frasa itu terlalu rumit untuk disebut “sebuah konsep”, karena pada dasarnya ia terdiri dua konsep umum. Kita bisa saja menurunkan contoh konsep pertama, tentang “Kondisi Fisik Wilayah Indonesia”.

Dari konsep ini, turunannya yang pertama adalah Kondisi Geografis. Apa hubungan Kondisi Geografis dengan Kondisi Fisik Wilayah Indonesia? Apa kata atau frasa penghubung yang bisa menjelaskan keterkaitan antar-kedua konsep?

Dalam gambar contoh, ada kata “meliputi” yang menghubungkan keduanya. Bisa dibaca menjadi: Kondisi Fisik Wilayah Indonesia — meliputi –> Kondisi Geografis.

Setelah konsep Kondisi Geografis, muncul dua konsep turunannya, yaitu Letak Geografis dan Letak Astronomis. Ini juga bisa dibaca: Kondisi Geografis — terdiri dari –> Letak Geografis dan Letak Astronomis.

Dalam peta konsep, dua atau lebih konsep hanya bisa dihubungkan oleh satu kata atau frasa penghubung. Susunan hubungan antar-konsep disusun berdasarkan yang umum hingga yang khusus secara hierarkis.

Sebagian dalam contoh peta tak memiliki kata penghubung antar-konsep, karenanya jadi lebih tampak seperti pemetaan pikiran, atau mind map. Ketidakkonsistenan ini yang bisa menyesatkan pembacanya.

Adapun peta pikiran tidak memerlukan kata atau frasa penghubung untuk menjelaskan hubungan antar “konsep” atau gagasan di dalamnya. Ia bahkan bisa mencabangkan satu gagasan dengan banyak gagasan lain.

Gambar di atas jadi peta yang tidak konsisten, tidak logis, sulit dipahami. Peta konsep yang buruk dihasilkan oleh pemahaman si pembuat yang kurang lengkap tentang sebuah konsep.

Alhasil, hubungan antar-konsep yang muncul tidak jelas, tidak bisa dibaca. Pembuat peta konsep harus memahami konsep yang umum, dan yang khusus, untuk membuat struktur pengetahuan yang jelas.

Apa itu Peta Konsep

Secara umum, konsep adalah abstraksi pemahaman terhadap sesuatu, bisa berbentuk Obyek atau Peristiwa. Semakin umum sebuah konsep, dapat diuraikan menjadi konsep turunan yang lebih spesifik.

Misalnya, kata “mobil” adalah konsep umum untuk kendaraan yang menggunakan mesin, dan memiliki roda lebih dari dua. Maka bus dan sedan, keduanya bisa disebut mobil.

Lalu apa yang membedakan sehingga masing-masing menyandang namanya sendiri? Keduanya sama-sama memiliki lebih dari dua roda, tetapi semua sedan beroda empat, sedangkan bus memiliki roda lebih dari empat.

Dari deskripsi sederhana ini bisa dipetakan konsepnya. Mobil adalah konsep paling umum, sedangkan bus dan sedan, adalah konsep yang lebih spesifik dari mobil. Kita bisa membedakan bus dari sedan dari jumlah rodanya.

Peta konsep, dijelaskan penemunya – Joseph D. Novak dan Alberto J. Cañas pada 1985 – sebagai alat bantu visual untuk mengorganisasikan dan merepresentasikan pengetahuan. Setiap konsep terhubung satu sama lain dengan kata atau frasa, yang spesifik menjelaskan hubungan antar-konsep tersebut.

Jadi, di antara konsep mobil dan sedan, hubungannya bisa dijelaskan oleh jumlah rodanya: beroda empat. Mobil — beroda empat –> sedan. Lalu bagaimana menjelaskan hubungan mobil dengan bus? Mobil — beroda lebih dari empat –> bus.

Kata atau frasa yang menghubungkan antar-konsep, biasa disebut sebagai kata atau frasa penghubung. Penghubung itu spesifik digunakan untuk setiap konsep yang berbeda. Frasa penghubung “beroda empat” dalam contoh di atas, jelas tak bisa diterapkan pada bus. Demikian sebaliknya.

Novak menjelaskan bahwa konsep didefinisikan sebagai keteraturan yang dirasakan terhadap peristiwa atau objek, yang ditunjuk oleh label (nama). Label untuk sebagian besar konsep adalah sebuah kata, meskipun terkadang menggunakan simbol seperti + atau %, dan bisa dinyatakan dengan lebih dari satu kata (frasa).

Dua atau lebih konsep yang terhubung oleh kata atau frasa penghubung, membentuk pernyataan yang bermakna. Ini disebut sebagai proposisi. Kadang-kadang ini disebut unit semantik, atau unit makna.

Gambar berikut menunjukkan contoh peta konsep yang menggambarkan struktur peta konsep dan menggambarkan karakteristik tersebut.

Peta pikiran alias Mind Map

Adapun Mind Map atau bisa diterjemahkan secara bebas menjadi peta pikiran, telah diklaim oleh Tony Buzan. Mind Map—bahkan dijadikannya merek dagang—bersifat lebih individual, dan tidak memiliki kaitan yang ketat antar-elemennya.

Si pembuat peta boleh menggunakan kategori sesuai yang diinginkan, dan membuat hubungan sesuai kategori yang sama. Maka, gambar dari buku di atas, lebih mirip dengan peta pikiran daripada peta konsep.

Tapi Buzan bukan pionir soal pemetaan pikiran ini. Sudah ada penelitian ilmiah dari Ralph Haber pada 1970 yang dimuat majalah Scientific American.

Penelitiannya menunjukkan bahwa individu memiliki akurasi dalam kemampuan mengenali gambar di antara 85 hingga 95 persen. Ingat kata pepatah, “Sebuah gambar bernilai setara ribuan kata”.

Manusia mudah mengasosiasikan dan mengingat gambar karena menggunakan sejumlah besar kemampuan kortikal pada otak, terutama ihwal imajinasi. Gambar lebih menggugah daripada kata-kata, lebih tepat dan kuat dalam memicu asosiasi, sehingga meningkatkan memori dan pemikiran kreatif.

Temuan ini mendukung argumen bahwa Mind Map adalah alat yang tepat dan unik. Peta pikiran tidak sekadar memanfaatkan gambar, tapi peta itu sendiri adalah sebuah gambar.

Dr. Roger Sperry, pemenang Nobel untuk penelitiannya, menegaskan keterampilan kortikal datang dari multiperan Cerebral Cortex, yang terbagi menjadi dua bagian besar.

Kedua bagian itu memperagakan unjuk kerja yang komprehensif dalam hal intelektualitas. Antara lain dalam hal logika, ritme, garis, warna, daftar, angka, imajinasi, kata-kata, dan Gestalt (melihat secara utuh).

Saat melakukan pemetaan pikiran, Anda tidak hanya melatih kekuatan memori dasar dan pemrosesan informasi, juga menggunakan seluruh rentang keterampilan kortikal.

Peta pikiran tidak harus berbentuk hierarki, karena satu gagasan yang dipetakan biasanya menjadi pusat (berada di tangah), dan gagasan lain yang muncul menjadi percabangannya, tersebar di sekitar gagasan inti.

Mengapa Peta Konsep

Peta konsep secara alamiah dikembangkan oleh anak ketika mempelajari tentang dunia baru. Ia membuat generalisasi, mengembangkan konsep tentang suatu peristiwa atau obyek, berdasarkan pengalamannya.

Misalnya, ketika mendengar deru mobil yang lewat atau mendekat, anak-anak menyebut mobil “Brumbrum”. Ia menggunakan pengetahuannya lewat suara, menjadi label sebuah konsep. Ia mungkin belum mengenal kata mobil, namun ia mulai mengenal konsep mobil lewat “Brumbrum”.

Ketika suara tersebut diikuti dengan Ayah yang pulang kerja, ia pun memperluas konsepnya. Konsep “Brumbrum” kini tak hanya bermakna mobil datang, tetapi ditambah dengan “Ayah pulang”.

Jika Sang Ayah belum pulang, tetapi ada tamu datang dengan suara deru mobil, ia akan tetap berharap kemunculan si Ayah menyertai suara mobil yang datang.

Ketika menemukan anomali, anak akan memperbaiki konsepnya. Dan seterusnya, konsep itu akan terus diperbarui sejalan dengan pengetahuan baru yang didapatnya.

Sekolah, atau pendidikan dasar pada umumnya, harus memperkenalkan konsep-konsep dasar dari setiap pengetahuan yang akan diajarkan.

Konsep-konsep dasar ini relatif sudah ada, karena ilmu pengetahuan yang mendasar bisa dikatakan telah selesai ditemukan oleh para pemikir sejak dulu. Konsep-konsep tersebut sudah menjadi teori yang tertulis atau terdokumentasikan dalam buku-buku atau literatur yang relevan.

Guru atau pendidik harus membedakan mana obyek dan peristiwa dari suatu konsep, juga membedakan obyek atau peristiwa yang lebih detail sebagai turunan konsepnya.

Dengan mengenal konsep, peserta belajar akan mudah mengenali variasi detail dari konsep tersebut, sehingga memudahkannya mengkategorisasi pengetahuan.

Anak-anak tidak perlu menghafalkan semuanya, cukup memahami konsep di belakang pengetahuan tersebut.

Anda dapat mencoba membuat Peta Konsep sendiri dengan bantuan piranti lunak gratis dari situs cmap.ihmc.us.

*Photo by lilartsy from Pexels

Artikel lain sekategori:

Maaf, Anda tak bisa lagi berkomentar.



Exit mobile version