Lebih dari sekadar teknologi, media bisa mendorong partisipasi dan kolaborasi dalam pembelajaran. Pembelajar dilibatkan dalam kegiatan belajar yang bermakna. Untuk mencapainya, butuh literasi baru, literasi digital, karena teknologi media baru ini berkembang di ranah digital.
Ini disampaikan Michael Wesch saat bicara di University of Manitoba tentang media pembelajaran dalam ajang “Michael Wesch and the Future of Education” (2008). Ia menjelaskan penggabungan teknologi dalam proses belajar mengajar, menjadikannya portal pembelajaran model baru yang relevan dengan kondisi terkini.
Wesch adalah Associate Professor Antropologi Budaya di Kansas State University. Ia mempertanyakan bagaimana “menciptakan” siswa dengan kemampuan membuat hubungan bermakna? Ia pun menawarkan kutipan dari Barbara Harrell Carson (1996, Thirty Years of Stories):
Siswa mempelajari apa yang dianggapnya penting dari orang yang penting bagi mereka, serta orang-orang lain yang siswa ini tahu persis punya kepedulian terhadap mereka.
Baik, bagian pertama tentang “apa yang dianggapnya penting”. Siswa (orang dewasa sekalipun) selalu mempelajari sesuatu yang dianggapnya relevan dengan hidupnya. Artinya, tema-tema yang dipelajarinya itu memang dibutuhkan, menarik perhatiannya, atau sesuatu yang disukainya.
Bagian kedua, tentang “dari orang yang penting bagi mereka”. Ini masalah sumber informasi. Bisa guru di sekolah, pengajar les bimbel, orang tua di rumah, atau siapapun yang di mata mereka “penting”. Orang-orang ini menjadi penting dalam hidupnya karena sesuatu dan lain hal, biasanya karena memiliki ikatan yang kuat.
Terakhir, tentang “orang-orang lain yang […] punya kepedulian terhadap mereka”. Ini menyiratkan siapapun yang ingin menjadi “guru” bagi siswa, harus menunjukkan bahwa orang-orang ini memang peduli kepada para siswa. Siswa akan menutup mata dan telinga bila sang guru ternyata tak peduli pada mereka.
Adapun mengenai “kemampuan membuat hubungan bermakna”, akan Anda temukan penjelasan konkretnya setelah tuntas menonton presentasi Prof. Wesch. Artikel ini akan mencoba merangkumnya.
Pembelajaran terdisrupsi media
Profesor Wesch digadang sebagai “Sang Penjelas” oleh media-media teknologi seperti Wired lantaran videonya tentang Web 2.0 berdurasi lima menitan di YouTube viral. Antropolog kebudayaan ini mengaku baru mulai mengajar sejak 2004, namun merasa tiga tahun pertamanya sia-sia.
Pasalnya, pada 2008 bermunculan media-media baru di internet. Lahir berbagai media dan jejaring sosial. Budaya baru pun lahir. Kebudayaan baru ini pun mengusik kemapanan proses belajar mengajar. Setidaknya dalam kehidupannya sebagai dosen.
Ia kisahkan bagaimana ruang kelas tak lagi relevan bagi mahasiswa. Dia lalu membuat riset kecil-kecilan yang menunjukkan hanya sebagian kecil mahasiswa mau aktif terlibat, minimal angkat tangan saat di kelas. Meski para mahasiswa ini membayar mahal untuk kuliah, ternyata mereka “membenci” prosesnya.
“Ada yang menyatakan sebagian mahasiswa tak cocok dengan sekolah. Mereka seolah tak bisa ‘belajar’. Ini aneh,” kata dia. “Manusia itu pada dasarnya makhluk pembelajar. Kalau Anda bilang ada mahasiswa tak cocok dengan belajar, Anda sama saja menyebut mereka bukan manusia,” tegasnya.
Ia mulai menyadari, sekolah mulai kehilangan relevansi. Mahasiswa hanya mempelajari apa yang akan muncul dalam ujian. Mencari akal untuk menyelesaikan tugas-tugas dengan cara yang paling efektif dan efisien. Kampus, atau sekolah, bukan lagi tempat untuk belajar.
Manfaatkan teknologi media
Semua ini terjadi karena ada perkembangan teknologi. Internet telah mengubah lansekap pengetahuan dan informasi. Pendidikan harus mengikuti perkembangan teknologi bila ingin tetap relevan. Dalam hal ini, teknologi yang telah menciptakan banyak sekali media model baru. Media 2.0.
Saat Wesch bicara, sejumlah media dan jejaring sosial baru lahir. YouTube baru dimulai sejak 2005, Ada MySpace yang eksis sejak 2002, lalu Facebook pada kisaran 2005, begitu pula platform blog seperti Blogger dan lain-lainnya.
Ia pun menyimpulkan pemanfaatan teknologi baru di ranah media ini bisa jadi jawaban untuk memperbaiki pendidikan. Guru atau pengajar harus bisa memanfaatkan teknologi ini, agar sekolah kembali menjadi tempat belajar.
“Ini seperti upaya berkelanjutan dalam membuat portal belajar bersama bagi saya dan mahasiswa,” jelasnya. “Kita bisa coba segala macam cara. Akan ada yang gagal, ada yang berhasil. Tak perlu khawatir,” katanya. Intinya, adalah membuat lingkungan belajar yang memanfaatkan bertumbuhnya teknologi media.
Wesch pun menunjukkan contoh-contoh, bagaimana ia membuat situs web untuk mengelola pembelajaran bersama mahasiswanya. Ia menggabungkan sejumlah platform seperti Facebook, Wiki, YouTube, atau fitur anotasi dokumen seperti Diigo. Ia benar-benar memindahkan “kelas” ke ruang maya.
Kuncinya adalah partisipasi
Pesan penting dari Wesch, media pembelajaran membangun partisipasi dalam pembelajaran. Ia benar-benar menggunakan media sebagai bagian dari proses belajar, bukan sekadar alat bantu pembelajaran.
Setidaknya ada 7 kompetensi bagi guru dalam melek media dan informasi, atau Media and Information Literacy (MIL). Menguasai kompetensi tersebut dapat memudahkan guru dalam melintasi portal menuju pembelajaran dengan media.
Konseptualisasi tiga ranah–melek media, literasi informasi, dan literasi digital–ini mengusung kompetensi yang menekankan pengembangan keterampilan penyelidikan dan kemampuan untuk terlibat secara bermakna dengan semua bentuk penyedia konten dan mediator, apapun teknologi yang digunakan.
Media bukan sekadar alat yang digunakan oleh guru atau pengajar untuk menyampaikan informasi. Media 2.0 adalah sarana untuk saling terhubung dalam jejaring. Tidak sekadar menuntut khalayak melihat, mendengar atau menonton. Khalayak bukan sekadar konsumen, tapi juga produsen.
Media 2.0 menjalin jejaring antar-orang, menghubungkan pengetahuan dari satu orang ke orang lain, dan membangun pengetahuan kolektif. Tidak seperti Media 1.0, saat media massa digunakan untuk menghubungkan satu orang ke khalayak; dari satu guru ke banyak siswa.
Pembelajaran seharusnya menjalin hubungan bermakna, signifikan, penting. Siswa benar-benar belajar saat ia memahami manfaat berhitung 2 – 4 = -2, saat harus membandingkan uang di kantong dengan hasrat untuk membeli barang yang didambakannya.
Istilah “bermakna” secara semantik dimaksudkan bahwa arti atau definisi saja tidak cukup. Sebuah kata, konsep, atau gagasan punya makna bukan karena bisa dideskripsikan, tetapi juga dapat dihubungkan, atau dikontraskan dengan kata, konsep, atau gagasan lain.
Begitu pula dalam memahami diri sendiri, seseorang tidak mendefinisikan dirinya seperti apa adanya. Manusia menggunakan cara pandang orang lain dalam menilai dirinya sendiri. Seseorang bisa menemukan makna dirinya saat terhubung, dan hidup bersama orang lain.
Di sinilah relevansi kutipan Barbara Harrell Carson: “Siswa mempelajari apa yang dianggapnya penting dari orang yang penting bagi mereka, serta orang-orang lain yang siswa ini tahu persis punya kepedulian terhadap mereka.”
Video presentasi Wesch di University of Manitoba pada 17 Juni 2008 berikut ini berdurasi 66 menit. Jadi bersiap-siaplah!
*Photo by Tima Miroshnichenko from Pexels