Klaim penelusuran lewat “Big Data” digunakan untuk mendulang wacana dukungan publik atas penundaan Pemilu 2024. Dukungan itu konon berasal dari ratusan juta akun di linimasa media sosial.
Frasa “Big Data” pun ramai dibicarakan hari-hari belakangan. Frasa ini mencuat saat dijadikan argumen atas klaim bahwa masyarakat mendukung penundaan Pemilu 2024, khususnya untuk pemilihan presiden. Adalah Muhaimin Iskandar yang mengangkat isu tersebut ke publik.
Eksposur untuk Cak Imin
Seperti dikisahkan CNN Indonesia, pada 24 Februari 2022 silam Cak Imin mengumpulkan puluhan petinggi partainya di kantor DPP PKB, Jakarta Pusat. Ia menyampaikan PKB harus jadi opinion leader— pihak pertama menyampaikan ke publik—soal penundaan pemilu. Ia pun mengklaim penundaan Pemilu 2024 adalah usulannya.
Dalam rapat itu, ia menyampaikan ada data hasil survei dan analisis “Big Data”. Meski lembaga survei menyatakan lebih banyak yang menolak perpanjangan masa jabatan presiden, perbincangan di media sosial menunjukkan ada 60 persen masyarakat mendukung gagasan itu.
Cak Imin berdalih, lembaga survei “hanya” menjangkau 1.500 orang, sementara “Big Data” mengambil respons 100 juta orang di media sosial. Menganggap “Big Data” lebih valid, Cak Imin pun membuat pernyataan penundaan pemilu pada 23 Februari.
Ia mengungkap hasil analisis data besar itu pada 26 Februari 2022.
”Big data mulai jadi referensi kebijakan dalam mengambil keputusan. Pengambilan sikap bergeser dari sebelumnya mengacu pada survei beralih pada big data,” katanya yang dilansir Harian Kompas, Sabtu (26/2/2022).
Klaim big data mengundang tanya
Klaim analisis “Big Data” ini menimbulkan banyak pertanyaan. Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS (Centre for Strategic and International Studies), Arya Fernandes, meragukannya.
”Memang benar ada kecenderungan big data analytic jadi tren ke depan karena sekarang akses publik ke internet meningkat, terutama setelah pandemi melanda. Namun, saya meragukan pernyataan Muhaimin bahwa mayoritas mendukung penundaan kalau berdasar analisis big data,” kata dia dalam Kompas.id.
Pendiri Media Kernels Indonesia yang populer lewat Drone Emprit-nya, Ismail Fahmi, turut mempertanyakan klaim tersebut. Andai diambil dari Twitter, pengguna medsos ini di Indonesia hanya 18 juta. Bahkan bila merujuk pengguna Facebook yang mencapai 167 juta, ia meragukan ada 100 juta di antaranya yang bicara politik, lebih spesifik lagi bicara penundaan pemilu.
Latah dengan “Big Data” ini mengingatkan pada istilah “Metaverse” dan “NFT” yang tiba-tiba marak bak jamur di musim hujan. Kedua istilah yang disebut belakangan, mulai memenuhi ruang-ruang diskusi daring maupun luring, di ruang akademik hingga kalangan aparat pemerintahan.
Aspirasi bawah dalam big data
Rupanya argumen “Big Data” meluas. Menko Marves Luhut Panjaitan menggunakan argumen ini dalam wawancara dengan Deddy Corbuzier di kanal YouTube. Pernyataan dalam siniar yang ditonton lebih dari 1,5 juta kali itu pun menjadi bahan pemberitaan di media arus utama.
Menteri Luhut menjelaskan bahwa “…kami punya ‘Big Data’, yang meng-grab [meraup] sekitar 110 juta akun di media sosial, dari berbagai platform.” Pernyataan itu didahului oleh pertanyaan Deddy yang mengonfirmasi, apakah pemerintah mendengar suara rakyat.
Berdasarkan “pemantauan” tersebut, menurut Opung Luhut, kalangan menengah bawah ingin tenang. Ia lalu menyinggung ada percakapan yang mempertanyakan anggaran Pemilu 2024 yang bakal menghabiskan lebih dari Rp100 triliun—dalam kondisi saat ini (krisis karena pandemi).
“Itu yang rakyat omong,” klaimnya. Mereka yang bicara ini, “Ceruk ini,” tegasnya, datang dari simpatisan berbagai partai. “Nanti kan mereka akan lihat, mana yang paling mendengar suara kami,” katanya mempertegas bagaimana “aspirasi bawah” itu akan diserap oleh partai-partai.
Beda narasi 110 juta suara
Muncullah narasi baru penundaan Pemilu 2024. Bila Cak Imin tidak spesifik mengatakan apa alasan publik yang diklaimnya setuju dengan usulan menunda Pemilu 2024, versi Opung Luhut ini lebih terang-benderang: Besarnya anggaran Pemilu 2024 yang belum selesai dibahas bersama DPR.
Perlu hati-hati menginterpretasikan kalimat para politisi tersebut. Opung, misalnya, tidak mengklaim berapa banyak yang menyatakan “setuju menunda pemilu”. Angka 110 juta adalah klaimnya terhadap jumlah akun media sosial yang “terpantau”. Berapa banyak yang bicara anu atau ini, tidak disampaikan secara eksplisit. Setidaknya dalam wawancara di siniar itu.
Bandingkan dengan pernyataan Cak Imin, yang secara eksplisit menyatakan “60 persen mendukung perpanjangan masa jabatan presiden”. Ia merujuk 60 per 100 dari total 100 juta akun di media sosial yang diklaimnya. Bagaimana proses mendapatkan suara dari 60 persen itu, masih misterius.
Yang tetap tidak jelas, bagaimana raihan “Big Data” dalam klaim masing-masing. Apakah benar bisa memantau semua percakapan di semua kanal media dan/atau jejaring sosial (atau setidaknya di kanal-kanal yang populer)? Apalagi bila menggunakan kata kunci yang spesifik, apakah ada ratusan juta akun membicarakan pemilu presiden?
Apa itu Big Data?
Lima kriteria big data
Perburuan tentang apa itu istilah “Big Data”, bisa disimak dalam tulisan di The New York Times pada 2013 silam. Steve Lohr, penulisnya, mengakui tak mudah mendapat jawaban tentang asal-usul istilah ini. Sebelumnya ia pernah menulis bahwa tahun 2012 telah menempatkan “Big Data” di persimpangan jalan sebagai konsep, istilah, maupun sebagai alat untuk pemasaran.
Saat menelusurinya, istilah “Big Data” sangat umum sehingga proses pencariannya bukan hanya untuk menemukan referensi awal penggunaan kedua kata secara bersama-sama. Alih-alih, penelusuran istilah ini mencari petunjuk bagaimana penggunaannya hingga berkonotasi seperti saat ini — bukan hanya tentang banyak data, tetapi berbagai jenis data yang ditangani dengan cara baru.
Sulit disimpulkan, apa ukuran untuk menyebut besaran “Big Data”. Pada akhirnya, ukuran itu menjadi relatif terhadap perkembangan zaman. Sementara teknologi untuk menangani data pun semakin canggih. Secara teknis, “Big Data” lalu disimpulkan sebagai data yang terdiri dari banyak variasi, dalam volume yang meningkat, dan dengan kecepatan yang lebih tinggi.
Muncullah kriteria Tiga V: Variety (variasi), Volumes (Volume), dan Velocity (Kecepatan). Dalam perkembangannya, muncul 2V tambahan, yaitu Value (Nilai) dan Veracity (Kebenaran/Kejujuran). Kriteria ini kemungkinan juga bisa bertambah seiring perkembangan waktu.
Kira-kira, ini kumpulan data yang lebih kompleks, terutama dari sumber data baru. Kumpulan data ini sangat banyak sehingga perangkat lunak pemrosesan data tradisional tidak dapat mengelolanya. Tetapi volume data yang sangat besar ini dapat digunakan untuk mengatasi masalah yang sebelumnya tidak dapat ditangani.
Tema ini pernah pula dibahas dalam sebuah artikel di Forbes hampir 3 tahun silam. Di dalamnya membandingkan dataset dari Facebook yang diklaim berisi 30 miliar baris, dan terus berkembang.
Bukan sekadar besar, data harus relevan
Angka itu mungkin tampak fantastis, tetapi bila menyangkut “Big Data” pada era modern, 30 miliar baris data atau dengan satuan petabyte dinilai “tidak ada apa-apanya”. Bandingkan dengan data terbuka dari GDELT Project, yang mengoleksi lebih dari 85 miliar pemberitaan di seluruh dunia sejak Maret 2018. Setidaknya 2,8 kali lebih besar dari milik Facebook.
Sebagai info, proyek GDELT adalah database terbuka terbesar, terlengkap, dan paling detail yang pernah dibuat. Proyek ini memantau media berita dari hampir setiap negara dalam format cetak, siaran elektronik, maupun web, dalam lebih dari 100 bahasa. Data diperbarui hampir per 15 menit, setiap hari, terbentang sejak 1 Januari 1979 hingga kini.
Kalev Leetaru yang menulis artikel di Forbes itu adalah perintis GDELT. Ia menyimpulkan dalam artikel tersebut, kicauan di platform seperti Twitter mungkin memenuhi definisi “Big Data” tapi konten yang dihasilkan media berita di dunia tak kalah banyak.
Bedanya, media sosial sangat agresif mengkampanyekan panggungnya sebagai “Big Data”, sedangkan jurnalisme nyaris tak pernah mendekat dengan citra itu, bahkan pada era digital.
Media berita menawarkan volume yang lebih besar untuk dianalisis, dengan asal-usul yang jelas, datanya stabil, dan konteks sejarah yang lebih mudah dipahami. Sementara, aliran pesan kecil berkecepatan tinggi seperti Twitter mungkin jumlahnya sangat besar, tetapi sangat sedikit data aktual yang relevan untuk dianalisis.
Linimasa isu masa jabatan presiden
Isu penundaan pemilu, atau perpanjangan masa jabatan, bahkan penambahan batas periode jabatan presiden dan wakil presiden, sudah muncul sejak beberapa tahun lalu. Pernyataan pertama ditemukan di media mengajukan penambahan periode masa jabatan presiden datang dari MPR.
Pada 2019 isu amandemen UUD 1945 sudah muncul, tetapi tidak spesifik tentang perpanjangan masa jabatan presiden. Agendanya, selain menghidupkan kembali GBHN, ada wacana mengembalikan wewenang MPR untuk memilih presiden, serta penambahan masa jabatan Presiden RI.
Ide amandemen itu muncul dari Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Bambang Soesatyo. Ia menyatakan amandemen baru akan dilakukan pada tahun ketiga masa jabatan MPR RI 2019-2024, setelah menyerap hasil amandemen UUD 1945.
Lalu kader Gerindra, Arief Poyuono, pada 17 Februari 2021 menilai ketua umum partainya, Prabowo Subianto, tidak akan mampu menjadi Presiden RI pada 2024 karena pandemi Covid-19 yang diprediksi berlangsung lama. Dia pun mengusulkan UUD 1945 diamendemen agar Joko Widodo bisa maju lagi sebagai calon presiden pada 2024 untuk ketiga kalinya.
Tak lama kemudian, berita ini disambut komentar pengamat. Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari, dalam berita Benteng Sumbar menyebutkan, wacana tiga periode kepemimpinan presiden akan merusak nilai-nilai demokrasi.
Pengamat politik, Ujang Komarudin, berkomentar bahwa Jokowi mungkin maju lagi sebagai calon presiden, jika dilakukan amandemen terhadap UUD 1945. “Apakah partai politik akan tinggal diam, jika ada pihak berupaya mengamandemen UUD 1945 demi tujuan politik praktis? Namun, bisa saja karena sudah disandera kekuasaan,” katanya saat itu.
Sedangkan pihak Istana, diwakili Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Ade Irfan Pulungan, mengatakan Presiden Jokowi tak punya niat, atau berminat untuk menjabat sebagai presiden selama tiga periode. “Konstitusi mengamanahkan dua periode. Itu yang harus kita jaga bersama-sama,” kata Jokowi dalam video di akun YouTube Sekretariat Presiden.
Isu sempat mereda setelahnya, tetapi tak pernah benar-benar menghilang. Belakangan muncul lagi, lewat Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar. Dia bisa saja mengklaim perpanjangan masa jabatan presiden adalah idenya, tapi linimasa pemberitaan menunjukkan ide itu sudah “lahir” setahun lalu.
Bahkan saat analisis “Big Data” dimunculkan sebagai alat mendulang wacana dukungan rakyat, penolakan tetap masih hidup. Selain hasil beberapa lembaga survei yang telah menunjukkan penolakan publik, lembaga masyarakat sipil juga menyuarakan penolakan.
Sejumlah lembaga menginisiasi Petisi #TolakPenundaanPemilu2024 yang dipublikasikan 3 Maret 2022 lalu. Setidaknya 26 ribu tanda tangan dibubuhkan sebagai bukti dukungan. Apapun alasannya, amandemen masa jabatan presiden disebut akal-akalan dan bertentangan dengan semangat yang lahir dari sejarah perjalanan bangsa serta menjadi amanat reformasi.
*Photo by Serena Koi from Pexels