
Studi terbaru mengungkap hasil mengejutkan: Perangkat lunak pembelajaran adaptif tidak otomatis meningkatkan kemampuan matematika siswa. Yang lebih penting ternyata kualitas pengajaran guru. Inilah hasil laporan Asian Development Bank Institute, 2025.
Laporan yang ditulis oleh Emily Zhu, Erlyn Yuly Astuti, Wahyu Wibowo, Badruli Martati, dan Bondan Satriawan, dan terbit pada September 2025, menemukan bahwa kemampuan matematika pelajar Indonesia masih memprihatinkan.
Lebih dari 60% siswa SD belum menguasai keterampilan matematika dasar, sementara 46% remaja usia 15 tahun tidak mahir dalam keterampilan berpikir tingkat tinggi. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah dan lembaga pembangunan sering melihat teknologi sebagai solusi ajaib.
Namun, hasil riset terbaru dari Program MENGEJAR yang dilaksanakan di 149 sekolah menengah pertama negeri di empat kota Indonesia menunjukkan realitas yang lebih kompleks: teknologi pendidikan bukanlah peluru ajaib, dan efektivitasnya sangat bergantung pada konteks.
Artikel ini akan meringkas laporan ADB Institute tersebut, yang bertajuk “Teachers’ Perspectives on an Adaptive Software for Learning Mathematics“.
Apa yang Diuji?
Hampir 300 guru dan 9.000 siswa ikut serta dalam program MENGEJAR (Matematika Menyenangkan Sesuai Jenjang dan Interaktif) selama satu tahun ajaran. Program ini menguji dua pendekatan berbeda pada siswa kelas 7:
Pendekatan pertama (HTO – High-Tech Only): Siswa menggunakan software pembelajaran adaptif bernama Surala Ninja selama 40% jam pelajaran matematika mereka. Guru mendapat pelatihan dasar tentang pembelajaran terdiferensiasi dan cara menggunakan software.
Pendekatan kedua (HTHT – High Touch High Tech): Sama seperti HTO, ditambah pelatihan khusus bagi guru tentang cara mengajarkan keterampilan berpikir tingkat tinggi (HOTS) melalui pertanyaan pemicu, pembelajaran berbasis masalah, dan perencanaan pelajaran yang lebih baik.
Hasilnya Mengejutkan
Ternyata, software pembelajaran adaptif saja tidak cukup. Bahkan ada dampak negatif: siswa laki-laki dan siswa yang diajar oleh guru berkualitas tinggi justru mengalami penurunan sedikit pada keterampilan dasar matematika mereka.
Yang menunjukkan hasil positif adalah kelompok HTHT—yang menggabungkan teknologi dengan pelatihan guru intensif. Siswa dalam kelompok ini menunjukkan peningkatan kecil namun signifikan dalam kemampuan penalaran, setara dengan sepertiga tahun pembelajaran tambahan.
Peningkatan ini terutama terlihat pada:
- Siswa perempuan
- Siswa dengan kemampuan lebih rendah
- Siswa yang diajar oleh guru yang lebih efektif
Mengapa Teknologi Saja Tidak Cukup?
Wawancara mendalam dengan 25 guru mengungkap beberapa masalah kritis:
Ketidaksesuaian kurikulum: Software Surala fokus pada aritmatika dasar, sementara materi kelas 7 jauh lebih kompleks. Guru mengeluh siswa meningkat dalam penjumlahan dan pengurangan, tapi tidak dalam memahami aljabar atau geometri yang seharusnya mereka pelajari.
Waktu mengajar berkurang: Karena 40% jam pelajaran matematika dialokasikan untuk Surala, guru terpaksa memadatkan materi kelas 7. Seorang guru mengeluh: “Ada lima jam pelajaran. Untuk Surala butuh tiga jam, jadi hanya dua jam untuk kelas reguler. Saya harus mengejar materi SMP, padahal siswa belum dapat materi dasarnya.”
Kebosanan siswa: Siswa berprestasi tinggi cepat bosan karena latihan yang monoton. Sebaliknya, siswa berkemampuan rendah merasa tertekan dan mudah menyerah karena takut membuat kesalahan.
Kendala infrastruktur: Beberapa sekolah harus membagi siswa dalam shift karena jumlah komputer tidak mencukupi, mengurangi efektivitas pembelajaran.
Guru Tetap Kunci Utama
Yang menarik, pelatihan guru tentang keterampilan berpikir tingkat tinggi terbukti lebih berdampak daripada software itu sendiri. Guru yang mendapat pelatihan HTHT mulai:
- Mengajukan pertanyaan pemicu yang mendorong pemikiran kreatif siswa
- Mengelompokkan siswa berdasarkan tingkat kemampuan dan memberikan soal yang sesuai
- Menggunakan teknik ice-breaking untuk menjaga motivasi siswa
- Memberikan soal dengan tingkat kesulitan bertahap
- Lebih sabar dan terstruktur dalam mengajar
Seorang guru menjelaskan perubahan mengajarnya: “Ada perubahan, misalnya cara menyapa siswa. Kami tidak langsung memberi latihan, tapi bercerita dulu, lalu mereka mengidentifikasi masalah yang tidak mereka mengerti. Mereka termotivasi menemukan solusi bersama dan bisa menjelaskannya.”
Namun, guru juga menghadapi tantangan. Pembelajaran terdiferensiasi membutuhkan waktu dan sumber daya ekstra untuk persiapan. Dengan waktu terbatas untuk menyelesaikan kurikulum, tidak semua guru bisa menerapkan metode ini secara konsisten.
Pelajaran untuk Kebijakan Pendidikan
Studi ini memberikan pesan penting bagi pembuat kebijakan:
Jangan andalkan teknologi sebagai solusi universal. Teknologi harus dilihat sebagai pelengkap, bukan pengganti, praktik pengajaran yang efektif.
Targetkan intervensi dengan tepat. Software pembelajaran adaptif paling efektif untuk siswa tertentu dan sekolah dengan guru yang kurang efektif—bukan untuk semua situasi.
Pastikan keselarasan kurikulum. Jika konten teknologi tidak selaras dengan kurikulum yang harus dipelajari siswa, dampaknya akan minimal.
Investasi pada pelatihan guru lebih penting. Meningkatkan kemampuan guru dalam mengajar keterampilan berpikir tingkat tinggi memberikan hasil yang lebih baik daripada sekadar memberikan software.
Perhatikan alokasi waktu. Intervensi teknologi yang mengambil terlalu banyak waktu mengajar dapat kontraproduktif.
Program MENGEJAR menunjukkan bahwa memperbaiki pendidikan matematika membutuhkan lebih dari sekadar perangkat lunak canggih di sekolah. Teknologi memang bisa membantu, terutama di sekolah dengan sumber daya terbatas, tetapi efektivitasnya bergantung pada konteks.
Yang paling penting: Guru berkualitas, terlatih dengan baik, dan mampu mengajarkan keterampilan berpikir tingkat tinggi tetap menjadi kunci utama kesuksesan pendidikan. Teknologi hanyalah alat, dan hasilnya tergantung siapa yang menggunakan dan bagaimana menggunakannya.
Bagi Indonesia yang telah berinvestasi besar dalam reformasi pendidikan selama dua dekade terakhir, temuan ini menggarisbawahi pentingnya fokus pada pelatihan guru berkelanjutan dan keselarasan kurikulum, bukan hanya adopsi teknologi yang mengikuti tren global.
*Photo by Husniati Salma via Unsplash