Kata “literasi” biasanya menggambarkan kemampuan membaca dan menulis. Membaca dimulai dengan mengenal huruf. Lalu, dapat mengidentifikasi kata-kata — dan yang paling penting, memahami makna di balik kata-kata itu. Pembaca itu kemudian menjadi penulis. Seiring bertambahnya pengalaman, pembaca dan penulis mengembangkan keterampilan literasi yang kuat.
Seperti melek huruf, melek media juga harus mampu “membaca dan menulis” berbagai jenis media. Tantangan makin besar karena anak-anak kini berhadapan dengan banyak sekali media, melampaui media tradisional (TV, radio, surat kabar, dan majalah) yang selama ini dikenal kebanyakan orang tua.
Sebagai pembanding, simak saja data konsumsi media di Amerika Serikat berikut ini:
Di media baru kini ada pesan teks, meme, video viral, media sosial, video game, iklan, dan lainnya. Media digital ini membuka potensi bagi setiap orang untuk membuat media, nyaris tanpa batas. Maka semua media berbagi satu hal: Seseorang menciptakannya. Media itu diciptakan karena suatu alasan.
Memahami alasan tersebut merupakan dasar dari melek media. Melek media bukan sekadar alat untuk melindungi atau menghindarkan generasi muda dari media dan pesan di dalamnya (Hobbs & Jensen, 2009; Thoman & Jolls, 2003).