
Amnesty International merilis laporan mengejutkan yang mengungkap bagaimana lima perusahaan teknologi raksasa dunia asal Amerika Serikat telah melanggar hak asasi manusia miliaran pengguna di seluruh dunia.
Dalam laporan berjudul “Breaking Up with Big Tech” yang diterbitkan Agustus 2025, organisasi hak asasi manusia internasional ini menuduh Google (Alphabet), Meta (Facebook), Microsoft, Amazon, dan Apple menggunakan kekuatan monopoli untuk merugikan pengguna.
Laporan tersebut mengungkap skala dominasi yang mencengangkan. Facebook punya 3,07 miliar pengguna aktif bulanan—setara tiga dari setiap delapan orang di planet ini. Sementara, Google memproses 13,7 miliar pencarian setiap hari, plus YouTube dengan 2,5 miliar pengguna.
“Konsentrasi kekuatan ini memiliki implikasi mendalam bagi hak asasi manusia, khususnya hak privasi, non-diskriminasi, dan akses informasi,” tulis Amnesty dalam laporannya.
Meta bahkan menguasai tiga dari empat platform media sosial terbesar dunia melalui kepemilikan Facebook, WhatsApp, dan Instagram yang masing-masing memiliki miliaran pengguna.
Amnesty memperingatkan bahwa dominasi Big Tech akan semakin mengakar dengan ekspansi ke teknologi AI generatif. Microsoft, melalui kemitraan dengan OpenAI, dan investasi besar-besaran Google dan Meta dalam AI, dapat memperkuat posisi dominan mereka di masa depan.
Temuan ini telah diserahkan kepada kelima perusahaan pada 12 Agustus 2025. Meta dan Microsoft memberikan tanggapan tertulis, sementara Google, Amazon, dan Apple belum merespons hingga tenggat publikasi.
Dalam responnya, Meta menyatakan bahwa privasi adalah inti dari perusahaan mereka dan menyediakan berbagai alat untuk perlindungan privasi pengguna. Microsoft menekankan bahwa Windows dan Azure adalah platform terbuka yang memungkinkan interoperabilitas.
Model Bisnis “Surveillance” yang Melanggar Privasi
Google dan Meta membangun kekuatan pasar mereka melalui pengumpulan data masif yang melanggar hak privasi. Model bisnis kedua perusahaan ini bergantung pada “surveillance” atau pemantauan sistematis terhadap pengguna untuk menyajikan iklan yang ditargetkan.
Laporan ini mengutip kasus Tanya O’Carroll, seorang aktivis hak asasi manusia yang menggugat Meta setelah tiba-tiba dibanjiri iklan produk bayi di Facebook saat hamil, padahal belum memberitahu keluarganya.
“Pengalaman ini sangat mengganggu karena tidak ada cara untuk menolak kecuali berhenti menggunakan Facebook sepenuhnya,” kata O’Carroll yang akhirnya memenangkan kasus tersebut pada 2025.
Kekuatan pasar Big Tech memungkinkan mereka memaksa syarat dan ketentuan yang merugikan pengguna. Di Uni Eropa, Meta gunakan model “bayar atau setuju” yang mengharuskan pengguna berlangganan untuk menghindari iklan, atau menyetujui pelacakan data.
Komisi Eropa telah mengeluarkan temuan awal bahwa model ini melanggar hukum EU karena tidak memberikan pilihan yang benar-benar bebas kepada pengguna.
Tragedi Kemanusiaan: Myanmar dan Ethiopia
Laporan ini juga mengungkap peran algoritma Facebook dalam tragedi kemanusiaan di Myanmar dan Ethiopia. Pada 2017, platform Facebook menjadi sarana penyebaran ujaran kebencian yang memperburuk pembersihan etnis terhadap muslim Rohingya di Myanmar.
Yang mengejutkan, pada saat tragedi tersebut, Facebook hanya memiliki satu moderator konten berbahasa Burma untuk seluruh negara. “Algoritma Facebook secara aktif memperkuat dan menyebarkan postingan yang menghasut kebencian dan kekerasan terhadap Rohingya kepada audiens yang paling mungkin bertindak berdasarkan konten tersebut,” tulis Amnesty.
Tragedi serupa berulang selama konflik Tigray di Ethiopia (2020-2022), di mana Facebook kembali menjadi platform penyebaran kebencian etnis. Dalam satu kasus, Profesor Meareg Amare, seorang akademisi Tigrayan, dibunuh setelah identitas dan lokasinya terungkap melalui postingan Facebook yang dilaporkan anaknya ke Meta tetapi tidak ditindaklanjuti hingga ayahnya tewas.
Pelanggaran Hak Pekerja oleh The Big Tech
Laporan ini juga mengekspos pelanggaran hak pekerja, terutama oleh Amazon. Di Arab Saudi, Amnesty menemukan bahwa pekerja migran asal Nepal yang dikontrak Amazon mengalami penipuan rekrutment, gaji rendah, dan kondisi tempat tinggal yang buruk.
“Tingkat keparahan dan sifat menipu dari perlakuan ini kemungkinan merupakan perdagangan manusia untuk eksploitasi tenaga kerja,” tulis Amnesty.
Data internal Amazon menunjukkan tingkat cedera serius di gudang-gudang mereka naik 33% antara 2016-2019, mencapai 7,7 cedera serius per 100 karyawan pada 2019—hampir dua kali lipat standar industri.
Rekomendasi untuk Pemerintah
Amnesty International merekomendasikan serangkaian tindakan mendesak untuk pemerintah dan regulator. Organisasi ini menyerukan pemecahan perusahaan-perusahaan dominan jika diperlukan untuk menghentikan praktik monopoli yang merugikan.
Selain itu, pemerintah diminta mewajibkan interoperabilitas yang memungkinkan pengguna berpindah platform tanpa kehilangan koneksi sosial mereka, mirip seperti cara kerja email yang dapat berkomunikasi lintas penyedia layanan.
Amnesty juga mendesak penerapan portabilitas data agar pengguna dapat dengan mudah memindahkan informasi pribadi mereka ke platform alternatif.
Tak kalah penting, organisasi ini menekankan perlunya koordinasi lebih erat antar regulator, menggabungkan otoritas persaingan usaha, perlindungan data, dan hak asasi manusia dalam satu pendekatan terintegrasi.
Laporan ini penting diperhatikan bagi Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya, karena Big Tech mendominasi akses informasi dan komunikasi digital masyarakat. Amnesty menekankan pengguna di negara dengan regulasi lemah lebih rentan terhadap praktik-praktik merugikan.
“Menangani dominasi Big Tech bukan hanya masalah keadilan pasar, tetapi isu hak asasi manusia yang mendesak,” tutup laporan tersebut, menyerukan respons regulasi terkoordinasi untuk membangun ekosistem digital yang lebih pluralistik dan menghormati hak asasi manusia.
Komentar Anda?