Indeks Kebebasan Pers Indonesia lebih buruk dari Timor Leste. Reporters Without Borders (RSF) menyoroti beberapa catatan yang mesti dibenahi.
Bayangkan seorang jurnalis di Indonesia bisa menjadi target percobaan pembunuhan. Peristiwa ini baru terungkap di Kupang, 25 April 2022 lalu. Aksi berlangsung di halaman PT Flobamora, perusahaan daerah milik pemerintah daerah Nusa Tenggara Timur (NTT).
Itu hanya sepenggal cerita dari buruknya kebebasan pers di Indonesia. VOA Indonesia melaporkan, banyak kasus tindak kekerasan dan intimidasi pada jurnalis, bahkan di arena olahraga.
Dalam gambaran Indeks Kebebasan Pers Dunia 2022 versi RSF yang dirilis pada Selasa (3/5/2022), Indonesia di peringkat 117 dari 180 negara dengan skor 49,27.
Pemeringkatan ini diukur dari sejumlah indikator, yakni politik, hukum, ekonomi, sosial, dan keamanan. Sebelum metodologi berubah tahun lalu, Indonesia ada di peringkat ke-113 dari total 180 negara.
Rezim Presiden Joko “Jokowi” Widodo disebut tidak menepati janjinya ihwal kebebasan pers, bahkan hingga terpilih kembali pada 2019. Peran militer disorot karena mencegah media meliput penggunaan kekuatan dalam menekan protes separatis di Papua.
Jurnalis juga harus berhadapan dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang bisa menyebabkan mereka dipenjara hingga enam tahun karena pencemaran nama baik secara online (pasal 27) atau ujaran kebencian daring (pasal 28).
Pada 2020, pemerintah bahkan dianggap memanfaatkan pandemi Covid-19 untuk semakin represif terhadap jurnalis, dengan dalih larangan menerbitkan “informasi palsu” tentang pandemi dan “informasi yang memusuhi presiden atau pemerintah”.
“Wartawan yang mengusut kasus korupsi di Indonesia menjadi sasaran berbagai bentuk intimidasi oleh polisi atau tentara mulai dari penangkapan hingga kekerasan fisik,” demikian gambaran dari laporan RSF (2022).
Hal ini menyebabkan tingkat self-censorship yang tinggi—pers membatasi diri saat “menyinggung pemerintah”. Jurnalis pun terancam saat meliput isu-isu lingkungan ketika mereka kasusnya melibatkan kepentingan pribadi besar yang didukung oleh pejabat lokal.
Tahun ini pengukuran mengalami perubahan metodologi. Dengan demikian, tak bisa semena-mena membandingkan capaian pada tahun sebelumnya.
Tahun ini, RSF mendefinisikan kebebasan pers sebagai “Kemampuan jurnalis sebagai individu dan kolektif untuk memilih, memproduksi, dan menyebarluaskan berita untuk kepentingan umum tanpa campur tangan politik, ekonomi, hukum, dan sosial dan tanpa adanya ancaman terhadap keselamatan fisik dan mental mereka.”
Grafik di bawah ini, meskipun menggambarkan capaian indeks Indonesia sejak 2012, tak bisa dilihat sebagai capaian yang berkelanjutan hingga 2022.
Meski demikian, capaian tahun ini bisa dibandingkan dengan negara-negara lain, misalnya di kawasan Asia Tenggara. Kebebasan pers di Indonesia lebih buruk dibandingkan Timor Leste di urutan ke-17, Malaysia (113), dan Thailand (115).
Kebebasan pers di dunia tidak menggembirakan
Secara umum, gambaran kebebasan pers di dunia sedang tidak menggembirakan. Indeks Kebebasan Pers Dunia edisi 2022 menyoroti efek bencana dari kekacauan informasi—efek dari ruang informasi online yang mengglobal dan tidak diatur sehingga memicu berita dan propaganda palsu.
Perpecahan tumbuh sebagai akibat dari penyebaran opini lewat media seperti “model Fox News” dan penyebaran disinformasi yang diperkuat dengan amplifikasi di media sosial.
Di tingkat internasional, demokrasi sedang dilemahkan oleh asimetri antara masyarakat terbuka dan rezim despotik yang mengontrol media dan platform online, sambil mengobarkan perang propaganda melawan demokrasi. Polarisasi pada dua tingkat ini memicu peningkatan ketegangan.
Dalam pernyataan resmi, Sekretaris Jenderal RSF, Christophe Deloire, menyoroti “era baru polarisasi” yang mengkhawatirkan.
“Penggunaan media sebagai senjata di negara-negara otoriter menghilangkan hak warganya atas informasi, dan meningkatkan ketegangan internasional. Ujungnya dapat menyebabkan jenis perang baru,” kata dia.
Ia pun menyinggung bagaimana media nasional mempengaruhi iklim demokrasi di suatu negara, lewat kasus Fox News di Amerika Serikat.
“Tren meniru cara kerja ‘Fox News’ pada media dapat menimbulkan bahaya fatal bagi demokrasi karena merusak dasar-dasar kehidupan sipil dan debat publik yang toleran,” imbuhnya.
Polarisasi media telah mengobarkan perpecahan sosial dalam masyarakat demokratis seperti yang terjadi di Amerika Serikat. Meningkatnya ketegangan sosial dan politik didorong oleh media sosial dan media opini baru, terutama di Prancis.
Penindasan terhadap media independen berkontribusi pada polarisasi tajam di wilayah “demokrasi tidak liberal” seperti Polandia, saat pihak berwenang mengkonsolidasikan kontrol atas penyiaran publik dan strategi mereka untuk “menasionalisasi” media milik swasta.
Untuk itu, hemat Deloire, perlu keputusan mendesak menanggapi masalah ini. Dunia perlu mempromosikan Kesepakatan Baru untuk Jurnalisme (New Deal for Journalism), seperti yang diusulkan oleh Forum Informasi dan Demokrasi.
“A New Deal for Journalism” adalah kesepakatan Forum on Information & Democracy pada 2021. Kesepakatan ini dilatarbelakangi oleh gangguan ekosistem media dan persaingan tidak sehat yang sebagian didorong oleh perpindahan ke lingkungan digital, seluler, dan monopoli atas platform.
Keadaan tersebut dinilai membahayakan keberlanjutan jurnalisme, yang pada akhirnya bisa membahayakan demokrasi.
Di antara tiga tema besar rekomendasi yang diajukan kepada pemerintah di manapun di dunia, menyoal tentang keberlanjutan bisnis media.
Pemerintah diharapkan memberi dukungan tidak langsung untuk jurnalisme profesional independen dan media berita, melalui cara-cara yang tidak mempengaruhi kebijakan editorial dan tidak mengikat pada bentuk-bentuk tertentu, seperti:
- Pembebasan PPN dan pajak, keringanan pajak atas peran editorial, dan bentuk kredit pajak lainnya;
- mekanisme bagi warga untuk mendukung media independen yang mereka pilih melalui voucher media, keringanan pajak atas langganan, atau penetapan pajak penghasilan.
Jurnalisme terdisrupsi digitalisasi
Peluncuran indeks Indeks Kebebasan Pers oleh RSF ini bertepatan dengan peringatan World Press Freedom Day atau Hari Kebebasan Pers Sedunia (3 Mei 2022).
Direktur Jenderal UNESCO, Audrey Azoulay, menggarisbawahi pentingnya peran jurnalisme baik dalam konteks COVID-19 atau selama perang dan konflik. Pada masa-masa itulah informasi tepercaya sangat diperlukan.
“Jurnalisme adalah barang publik, yang harus kita pertahankan dan dukung,” katanya dalam pernyataan resmi UNESCO.
Menurut laporan Tren Dunia dalam Kebebasan Berekspresi dan Pengembangan Media versi UNESCO, lebih dari lima dari enam orang di seluruh dunia tinggal di negara yang mengalami penurunan kebebasan pers selama lima tahun terakhir.
Sekitar 400 jurnalis tewas selama periode yang sama hanya karena melakukan pekerjaan mereka.
“Teknologi digital semakin merevolusi lansekap ini,” kata dia. Digitalisasi telah memungkinkan pesatnya pertukaran informasi yang belum pernah terjadi sebelumnya—mendukung jurnalisme lintas batas.
Namun, peluang ini datang dengan tantangan baru. Munculnya platform online telah menggoyahkan pondasi ekonomi media independen dan pluralistik, menjungkirbalikkan rantai nilai dan model bisnis yang ada.
Era digital, dinilai telah menempatkan pekerja media dan sumbernya pada risiko yang lebih besar untuk menjadi sasaran, pelecehan, dan penyerangan—misalnya karena retensi data, spyware, dan pengawasan digital.
Ekspresi kebencian terhadap jurnalis telah meningkat, mempengaruhi jurnalis perempuan pada khususnya.
Penelitian UNESCO menunjukkan bahwa lebih dari tujuh dari sepuluh reporter perempuan yang disurvei pernah mengalami kekerasan daring.
“Dan karena sedikit dari teknologi ini yang diatur secara transparan dan akuntabel, para pelaku kekerasan beroperasi dengan impunitas, seringkali tanpa meninggalkan jejak. Ini harus berakhir,” tegas Audrey.
Ia pun menekankan bahwa kemajuan teknologi perlu didukung oleh penghormatan terhadap kebebasan, privasi, dan keselamatan jurnalis.
Media atau jejaring sosial, menurutnya, harus berbuat lebih banyak untuk mengatasi disinformasi dan ujaran kebencian yang merajalela, sekaligus melindungi kebebasan berekspresi.
UNESCO pun kembali mengingatkan adopsi Deklarasi Windhoek untuk Informasi sebagai Barang Publik di era digital, yang tercetus pada Konferensi Kebebasan Pers Dunia tahun lalu di Namibia.
*Photo by René A. Da Rin