Paradoks “The medium is the message” kontroversial lantaran pesan dalam media dianggap tidak lebih penting dari medium yang membentuk peradaban. “Medium adalah pesan”, eh gimana?
Pernyataan ini lahir dari seorang profesor Bahasa Inggris di University of Toronto, Kanada. Dialah Marshall McLuhan, garda depan interpretasi media, dan pemaknaannya secara sistemik.
Definisi media, sifat jamak dari medium, baginya sangatlah luas; mencakup teknologi apa pun yang memperluas jangkauan tubuh dan indera manusia.
Dia menjelaskan media adalah “setiap perpanjangan dari diri kita.” Seperti palu “memperpanjang” lengan saat ingin memukul, atau roda yang “memanjangkan” kaki sangat ingin berpindah.
Perpanjangan ini belum berlaku pada manusia prasejarah, atau suku-suku pedalaman, yang masih menjaga “kemurnian”. Menghadapi dunia melalui indera pendengaran, penciuman, sentuhan, penglihatan, dan rasa.
Inovasi teknologi melahirkan perpanjangan dari kemampuan manusia, mengubah kemurnian ini. Perubahan tersebut pada akhirnya membentuk tatanan baru dalam masyarakat.
Itulah mengapa McLuhan menyebut semua media–apapun pesannya–memengaruhi manusia dan masyarakat. Masyarakat dibentuk oleh sifat media yang digunakan daripada pesan yang dikandungnya.
Media merevolusi dunia
Buku McLuhan, Understanding Media: The Extensions of Man (1964), bukanlah buku pertamanya, tetapi menjadi buku yang laris sepanjang masa. Dalam buku inilah “medium adalah pesan” dituliskan.
Menurutnya ada tiga babak perkembangan inovasi teknologi: Pertama adalah penemuan alfabet fonetik dengan dominasi pada penglihatan atau visualisasi (membaca), yang menggeser era komunikasi verbal.
Berikutnya penemuan mesin cetak pada abad-16, yang mengakselerasi dominasi visual. Kemudian penemuan telegraf pada 1844, yang jadi pemicu revolusi teknologi elektronik.
Revolusi teknologi yang kini makin pesat berkat kehadiran internet, “mengembalikan” keseimbangan penggunaan indera dan organ pada manusia. Uniknya, menyatukan manusia di seluruh dunia, menciptakan “global village“.
Ia pun menyatakan setiap kali masyarakat mengembangkan perluasan dirinya (lewat media), tatanan pada masyarakat cenderung diubah untuk mengakomodasi perluasan baru yang berkembang.
Sekali teknologi baru menembus masyarakat, setiap institusi masyarakat akan terkena dampaknya. Teknologi baru, dengan demikian, merupakan agen yang merevolusi. “Revolusi itu, adalah media,” begitu kira-kira.
Problemnya kemudian, banyak yang tak bisa melihat perubahan dimaksud, saking samarnya.
Medium adalah pesan
McLuhan sudah memperingatkan bahwa media (atau medium) dalam pikirannya tidak terbatas pada media massa. Pun “pesan” atau konten yang dimaksud, tidak sekadar informasi yang dikandung dalam media.
Ia melingkupi semua jenis medium (media), dari alfabet fonetik hingga komputer, sebagai perpanjangan manusia yang menyebabkan perubahan mendalam dan abadi dalam dirinya, serta mengubah lingkungannya.
Sedangkan yang ia maksud dengan “pesan” adalah, “perubahan skala, kecepatan, atau pola” yang “diperkenalkan oleh inovasi baru ke dalam hidup manusia”.
Memang cukup membingungkan, bahkan banyak yang salah menafsirkan. Justru, paradoks McLuhan ini muncul karena prihatin dengan pengamatan yang cenderung terfokus pada hal-hal “kasat mata”.
Fenomena tersebut, menyebabkan manusia tidak menyadari adanya perubahan struktural dalam hidupnya. Perubahan yang berlangsung secara sangat halus, atau bertahap dalam jangka waktu yang lama.
Jadi, pesan bukanlah konten dari inovasi, tetapi perubahan dalam dinamika antar-pribadi yang dipicu oleh inovasi tersebut. Sebuah pementasan teater, misal, pesannya bukan soal musik atau lakon yang dipentaskan, tetapi mungkin peningkatan pariwisata berkat pementasan tersebut.
Demikian pula dalam kasus siaran berita, pesannya bukanlah berita yang disiarkan. Bisa jadi pesannya adalah perubahan sikap publik terhadap kejahatan, atau penciptaan iklim ketakutan.
Medium adalah pesan, sejatinya pradoks ala McLuhan. Ia mengingatkan untuk melihat melampaui yang “kasat mata”. Mencari perubahan meski subtil, menggali efek yang diamplifikasi, dipercepat atau diperluas oleh hal baru.
Cikal bakal melek media
Sebagai akademikus, McLuhan mengasah gagasannya di kampus, dan sempat mengembangkan kurikulum berjudul “Understanding New Media“. Isinya prinsip dasar tentang efek sensorik dari berbagai jenis media.
Mungkin, buku inilah kurikulum pertama tentang melek media, jadi cikal bakal pendidikan media di Inggris Raya dan Australia pada akhir 1960 dan 1970-an.
Pendekatan McLuhan mengubah lansekap penggunaan media. Meski, para pendidik di Amerika dan Kanada saat itu terhitung progresif dalam mendayagunakan teknologi; cetak, slide dan proyektor, film 16 mm, televisi, dll.
Sayangnya, belum ada komitmen menggunakan media untuk mencapai keunggulan, kesetaraan, atau keterampilan khusus. Apalagi untuk mengakui perbedaan gaya belajar di antara peserta didik.
Belum ada gagasan yang konkret untuk memanfaatkan inovasi teknologi tersebut dalam rangka mendukung beragamnya cara belajar siswa. McLuhan lah yang mendorong gagasan ini.
…Independent of each other, the key developers of Mamaroneck media projects all referred to the influence of McLuhan whose modest disclaimer for his work was: ‘All I have to offer is an enterprise of investigation into a world that’s quite unusual and quite unlike any previous world for which no models of perception will serve.’ (4)
Salah satu pendukungnya, John Culkin, calon pendeta Jesuit, suatu saat membaca salah satu artikel McLuhan.
Ia tertarik atas berbagai pandangan McLuhan terhadap media. Ia lalu bertekad untuk bertemu McLuhan. Culkin, kemudian dikenal sebagai salah satu pelopor dalam studi melek media.
*Image: The Toronto School Initiative
I liked your post. Cheers