Beranda  »  Tata Laksana » Untuk Guru   »   Memanfaatkan AI di Sekolah

Memanfaatkan AI di Sekolah

Oleh: Melekmedia -- 22 Agustus, 2025 
Tentang: ,  –  Komentar Anda?

man in brown button up shirt holding black smartphone

Artificial Intelligence atau Akal Imitasi (AI) mengubah lanskap pendidikan modern. Dari ChatGPT hingga Grammarly, berbagai alat AI di sekolah kini digunakan guru di seluruh dunia untuk meningkatkan efektivitas pengajaran. Namun, AI membawa manfaat sekaligus tantangan.

Untuk memahami kompleksitas penggunaan AI di sekolah, mari kita lihat beberapa kasus nyata yang terjadi di sekolah-sekolah yang telah diangkat sejumlah media. Di New York, Jennifer Goodnow, seorang guru ESL, kini dengan mudah dapat mengadaptasi bacaan kompleks.

Menggunakan ChatGPT, kini ia dapat mengadaptasi sebuah materi menjadi beberapa tingkat dengan berbagai tingkat kesulitan untuk siswa yang kondisinya beragam dalam mapel English as a Second Language. Sesuatu yang dulu membutuhkan berjam-jam kerja manual.

Demikian pula, guru matematika mulai menggunakan AI untuk membuat salindia presentasi dan memperkuat kosa kata, meskipun menghindari penggunaan AI untuk perhitungan langsung karena keterbatasan teknologi.

Yang paling menggembirakan, siswa berkebutuhan khusus dengan IEP (Individualized Education Plans) kini dapat mengakses materi yang sama dengan format yang disesuaikan – teks disederhanakan, struktur kalimat dipecah, atau ditambahkan elemen visual dan audio.

Namun, tidak semua tentang kisah mulus. Seorang siswa diminta menganalisis lagu “America” dari West Side Story, tetapi ia malah menyerahkan analisis tentang lagu Simon & Garfunkel dengan judul sama—menunjukkan penggunaan AI tanpa verifikasi yang tepat.

Lebih mengkhawatirkan lagi, beberapa siswa mulai menggunakan AI di skeolah tidak hanya untuk menyelesaikan tugas, tetapi juga untuk berpikir, mengaburkan batas antara alat bantu dan pengganti proses kognitif. Situasi ini memaksa guru mengubah pendekatannya.

Guru yang lain, Johnson mengembangkan strategi deteksi baru dengan menggunakan Google Docs dengan version history untuk melacak proses penulisan siswa secara real-time, bukan hanya menilai hasil akhir. Ia bisa memantau apa yang dikerjakan anak didiknya.

Ia juga mengajak siswanya kritis, bahwa AI bisa berhalusinasi. Johnson menunjukkan bagaimana ChatGPT menjawab salah ketika ditanya jumlah huruf ‘R’ dalam kata “strawberry“, membuktikan ketidakandalan AI dalam tugas-tugas yang tampaknya sederhana.

Chamberlain, seorang guru Language Arts, mengakui perubahan filosofinya: “Tiga tahun lalu, saya akan melemparkan buku kepada mereka. Sekarang lebih seperti, ‘Tunjukkan prosesmu. Di mana peran aktif kamu dalam ini?’,” jelasnya yang dimuat The Wired.

Data Microsoft 2025 menunjukkan realitas yang menarik: Mayoritas pendidik sudah menggunakan AI setidaknya sekali; Terdapat peningkatan tahunan dalam penggunaan AI; Gap besar antara penggunaan dan pemahaman mendalam masih ada.

Di sisi lain, ada orang tua yang mengkhawatirkan pengaruh penggunaan AI di kelas anaknya. Kesenjangan antara penggunaan dan pemahaman ini menciptakan tantangan dalam implementasi AI di sekolah.

Sejumlah Keuntungan AI di Sekolah

Umpan balik instan dan personalisasi

AI memungkinkan siswa mendapat umpan balik segera dan detail tentang pekerjaan mereka. Menurut University of Illinois, teknologi ini dapat memberikan feedback yang membantu siswa memahami kekuatan dan kelemahan mereka.

Umpan balik secara real time ini pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar dan membantu guru menentukan fokus pembelajaran selanjutnya. Beberapa contoh praktis dari lapangan:

  • Jennifer Goodnow (Guru ESL, New York): Memasukkan bacaan kompleks seperti esai atau kutipan buku ke ChatGPT dan meminta untuk membuat versi terpisah untuk siswa tingkat lanjut dan pemula dengan pertanyaan sesuai tingkat pemahaman mereka.
  • Adaptasi untuk Siswa Berkebutuhan Khusus: Guru menggunakan AI generatif untuk menyederhanakan struktur kalimat, menyorot kosakata kunci, atau memecah bacaan padat menjadi bagian yang lebih mudah dicerna untuk siswa dengan IEP (Individualized Education Plans).
  • Mengadaptasi multi-format: Beberapa alat AI dapat mengubah format materi untuk menyertakan visual atau audio, membantu siswa mengakses konten yang sama dengan cara berbeda.

Otomatisasi tugas administratif

AI dapat mengambil alih tugas-tugas rutin seperti penilaian, penjadwalan, dan manajemen data. ClassPoint melaporkan bahwa institusi pendidikan dapat menghemat anggaran dengan mengurangi sumber daya yang diperlukan untuk operasi efisien, sehingga meningkatkan efektivitas biaya.

  • Sistem penilaian: Menilai ujian pilihan ganda dan soal terstruktur secara otomatis.
  • Melacak kehadiran: Sistem absensi berbasis pengenalan wajah, meski masih kontroversial.
  • Pengelolaan jadwal: AI yang membantu menyusun jadwal optimal berdasarkan ketersediaan ruang dan guru.

Personalisasi pembelajaran

AI memungkinkan guru menciptakan pengalaman belajar yang disesuaikan dengan kebutuhan individual setiap siswa. Walden University menekankan bahwa AI dapat memberdayakan pendidik, mempercepat pembelajaran, dan mempersonalisasi pengalaman pendidikan dengan cepat dan mudah.

  • Amanda Bickerstaff (CEO AI for Education): AI digunakan dalam persiapan mengajar, untuk menghasilkan salindia, memperkuat kosakata matematika, atau membimbing siswa melalui langkah-langkah tanpa langsung menyelesaikan masalah.
  • Diferensiasi pembelajaran: Guru dapat dengan mudah mengubah satu materi menjadi berbagai tingkat kesulitan, seperti yang dilakukan guru dalam mengadaptasi bacaan kompleks.
  • Dukungan aksesibilitas: AI membantu siswa dengan kesulitan membaca atau pemrosesan informasi dengan menyederhanakan teks dan menyediakan format alternatif.

Bantuan kreatif dan perencanaan pembelajaran

AI membantu guru dalam curah pendapat dan pengembangan ide untuk rencana pembelajaran. Mastery Coding mencontohkan bagaimana guru dapat menggunakan ChatGPT untuk membuat konten pembelajaran sesuai usia siswa dan membantu berkomunikasi dengan orang tua.

  • Membuat RPP: Menghasilkan kerangka pembelajaran yang objektif, dan aktivitas yang terstruktur. dengan perintah yang tepat, bisa membantu guru menemukan kata kerja operasional dalam menyusun tujuan pembelajaran.
  • Membuat konten: Membuat lembar kerja, kuis, dan materi pembelajaran interaktif.
  • Membantu komunikasi: Menulis email undangan untuk orang tua tentang pertemuan guru-ortu.

Tantangan dan Kekhawatiran Penggunaan AI

Tantangan utama di Indonesia adalah akses. Tidak semua sekolah di Indonesia, terutama di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar), memiliki akses internet yang stabil atau perangkat keras yang memadai seperti komputer dan laptop.

Kondisi ini menciptakan “kesenjangan digital”, di mana sekolah yang memiliki infrastruktur teknologi yang baik akan semakin maju, sementara yang tidak memiliki akses akan tertinggal. AI membutuhkan infrastruktur yang kuat dan stabil untuk dapat berfungsi secara efektif.

Berkurangnya interaksi manusia

University of Illinois memperingatkan ketergantungan berlebihan pada AI dapat mengurangi interaksi guru-siswa dan hubungan interpersonal, serta menghilangkan aspek sosial-emosional pembelajaran. Jika interaksi ini berkurang, keterampilan sosial dan perkembangan interpersonal siswa akan terpengaruh.

Amanda Bickerstaff dari AI for Education menjelaskan bahwa “Large language models are really bad at computation.” Guru matematika cenderung lebih skeptis karena AI kurang efektif dalam perhitungan matematis. Sebagai gantinya, guru matematika menggunakan AI untuk tugas-tugas pendukung seperti membuat slide atau memperkuat kosakata matematika tanpa menyelesaikan masalah secara langsung.

  • Berkurangnya tatap muka: Siswa lebih banyak berinteraksi dengan AI daripada guru.
  • Sesi pembimbingan berkurang: Hilangnya bimbingan personal yang hanya bisa diberikan manusia.
  • Kecerdasan emosional: Kurangnya pembelajaran empati dan keterampilan sosial.

Masalah privasi dan keamanan data

University Canada West menyoroti bahwa pengumpulan dan penyimpanan data siswa menimbulkan masalah etis dan keamanan yang serius. Sejumlah studi juga menunjukkan orang tua khawatir pengaruh AI di kelas, termasuk kekhawatiran tentang eksploitasi data.

Di Indonesia, kasus kebocoran data sudah terjadi berulang-ulang. Ini menunjukkan ada kompetensi ayng bermasalah dalam hal penggunaan teknologi pengumpulan dan penyimpanan data. Risiko semakin tinggi bila dilakukan di sekolah dengan sumber daya IT yang rendah.

  • Kebocoran data : Informasi pribadi siswa dapat diretas atau disalahgunakan.
  • Pelabelan oleh algoritma: Siswa dapat “dilabeli” berdasarkan data AI dengan cara yang merugikan.
  • Pengumpulan data: Ketidakjelasan tentang bagaimana data siswa dikumpulkan dan digunakan.

Bias algoritma dan ketidakadilan

AI dapat mencerminkan atau memperkuat bias yang ada dalam data. University Canada West mencatat bahwa sistem AI mungkin mengandung bias yang dapat mempengaruhi penilaian atau perlakuan terhadap siswa tertentu.

  • Bias gender: AI yang menilai esai dengan standar berbeda berdasarkan nama penulis.
  • Bias ras: Sistem pengenalan wajah yang kurang akurat untuk siswa dengan warna kulit tertentu.
  • Bias sosial-ekonomi: Algoritma yang menguntungkan siswa dengan akses teknologi lebih baik.

Ketergantungan berlebihan pada teknologi

EdTech Magazine melaporkan adanya optimisme tentang peningkatan produktivitas AI di tengah kekhawatiran tentang penggunaan yang tidak tepat oleh siswa. Over-reliance pada teknologi dapat mengurangi kemampuan berpikir kritis dan kemandirian siswa.

Seperti kisah Johnson, seorang guru yang meminta siswa menganalisis lagu “America” dari West Side Story namun siswanya malah menyerahkan laporan tentang lagu Simon & Garfunkel dengan judul yang sama. Ini menunjukkan siswa menggunakan AI tanpa memverifikasi hasilnya.

Johnson pun mengajari siswanya tentang halusinasi AI dengan meminta ChatGPT menghitung berapa huruf R dalam kata “strawberry” – yang sering dijawab salah oleh AI. “Siswa perlu melihat bahwa mereka tidak bisa selalu percaya pada AI,” katanya.

  • Menyurutnya pemikiran kritis: Siswa kurang mengembangkan kemampuan analisis mandiri.
  • Keterganatungan: Ketidakmampuan menyelesaikan tugas tanpa bantuan AI.
  • Integritas akademik: Peningkatan kecurangan akademik dengan bantuan AI.

Misinformasi dan kesalahan algoritma

Walden University menekankan bahwa risiko bias, misinformasi, dan isolasi siswa memerlukan pengawasan yang cermat. AI dapat menghasilkan informasi yang salah atau menyesatkan yang dapat membingungkan proses pembelajaran.

  • Kesalahan fakta: ChatGPT dapat memberi informasi yang salah dengan tingkat kepercayaan tinggi.
  • Kesalahan algoritmik: Sistem penilaian otomatis yang salah menilai jawaban siswa.
  • Salah paham konteks: AI yang tidak memahami nuansa budaya atau konteks lokal.

Pelajaran Penting

Dari cerita di Wired dapat disimpulkan telah terjadi perubahan mencolok pada pendekatan guru dalam menghadapi realitas AI. Chamberlain, misalnya, mengakui transformasi filosofinya dari “memusuhi” penggunaan AI menjadi lebih terbuka dan mengubah pendekatan.

Perubahan dari pendekatan punitif ke investigatif ini mencerminkan evolusi pemikiran pendidik yang menyadari bahwa memahami proses pembelajaran lebih penting daripada sekadar menghukum.

Namun, tantangan deteksi penggunaan AI tetap menjadi masalah nyata. Mendeteksi penggunaan AI masih mengandalkan apa yang disebut sebagai “game of vibes” karena alat pemeriksa plagiarisme terbukti tidak dapat diandalkan dalam mengidentifikasi konten yang dihasilkan AI.

Ketidakpastian kebijakan juga menambah kompleksitas situasi, di mana pemerintah daerah yang mengelola sekolah enggan membuat aturan tegas karena teknologi AI berkembang jauh lebih cepat daripada kemampuan regulasi untuk mengikutinya.

Karena itu diperlukan strategi implementasi yang bijak: Tetap bisa menggunakan atau memanfaatkan AI di sekolah, tanpa tergerus oleh bias atau larut dalam penggunaan berlebihan yang dapat memicu ketergantungan pada teknologi.

Upaya ini akan membutuhkan pelatihan guru secara berkelanjutan. Investasi dalam pelatihan guru tentang penggunaan AI yang efektif dan etis menjadi kunci sukses implementasi. Guru harus dibuat melek AI sebelum siap menggunakannya.

Dari sisi sekolah, perlu mengembangkan pedoman yang jelas tentang kapan dan bagaimana AI boleh digunakan, seperti yang dicontohkan dalam syllabus policies dari University of Texas. Bila perlu, gunakan pendekatan hybrid, terutama bila belum yakin untuk menerapkan secara luas.

Terakhir, meski catatannya masih akan terus bertambah, menegakkan transparansi dan akuntabilitas. Memastikan bahwa orang tua dan siswa memahami bagaimana AI digunakan dalam proses pendidikan mereka. Ini dapat mengurangi kekhawatiran dan penolakan.

Kunci keberhasilan terletak pada keseimbangan: Memanfaatkan kekuatan AI untuk meningkatkan efisiensi dan personalisasi pembelajaran, sambil mempertahankan elemen manusia yang tak tergantikan dalam pendidikan.

Yang terpenting, guru tetap menjadi pusat dari proses pendidikan, dengan AI berperan sebagai alat bantu, bukan menggantikan peran vital mereka dalam membentuk masa depan siswa. Ini bukan tentang manusia versus AI, tapi tentang manusia yang diberdayakan AI.

*Photo by Husniati Salma via Unsplash

Artikel lain sekategori:

Komentar Anda?


Topik
Komentar
Materi Kursus