Beranda  »  Sorotan Media   »   Metaverse Merambah Dunia Pendidikan

Metaverse Merambah Dunia Pendidikan

Oleh: Melekmedia -- 31 Mei, 2022 
Tentang: , ,  –  Komentar Dinonaktifkan pada Metaverse Merambah Dunia Pendidikan

metaverse tima miroshnichenko pendidikan

Sejumlah entitas bisnis dan kependidikan berkolaborasi menggarap pendidikan lewat metaverse. Laboratorium luring akan diubah menjadi virtual.

Gagasan ini digarap bareng antara RansVerse, mengklaim metaverse pertama di Indonesia, dengan Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM) Institut Teknologi Bandung (ITB).

Kolaborasi akan dilakukan bertahap. Sebagai langkah awal, beberapa lab yang ada di SBM ITB seperti Laboratorium Manajemen Teknologi atau MOT Lab, akan dibuat dalam semesta maya.

Sasarannya adalah eksplorasi kegiatan pendidikan dengan teknologi baru sehingga lebih relate dengan mahasiswa masa kini, selain itu meningkatkan learning experience mahasiswa.

“Kami berharap kerja sama ini dapat memberikan percepatan pengembangan ekosistem entrepreneurship digital di SBM ITB,” kata Director the GreaterHub SBM ITB, Dina Dellyana dalam keterangan pers Humas SBM ITB, Kamis (26/5/2022).

Di balik RansVerse ada RANS Entertainment sebagai pemilik HAKI, VCGamers pengembang infrastruktur blockchain, Shinta VR pengembang metaverse, dan UpBanx sebagai mitra pembiayaan dan likuiditas.

Kolaborasi Cakap – WIR Group

Sebelumnya diberitakan perusahaan perintis Cakap bekerja sama dengan PT WIR Asia Tbk (WIR Group) juga tengah mengembangkan metaverse.

Kolaborasi ini dipamerkan pada ajang World Economic Forum (WEF) 23-26 Mei 2022 di Davos. WIRG pernah berpartisipasi dalam forum tahunan tersebut, pada WEF 2019 dan 2020.

Kerja sama dua lembaga ini mengembangkan sistem pembelajaran dan pendidikan dua arah, pembelajaran daring interaktif yang diklaim bakal menarik dan memberikan pengalaman baru.

Belum ada penjelasan mendetail mengenai bentuk semesta meta pendidikan ini, yang dalam ulasan Marketeers.com disebut sebagai metacourse.

Cakap merupakan panggungg edtech (teknologi pendidikan) terkemuka di tanah air, memberikan solusi pendidikan keterampilan berbahasa asing dan vokasi melalui teknologi.

Sedangkan WIR Group telah dikenal sebagai perusahaan berbasis teknologi Augmented Reality (AR), Virtual Reality (VR) dan Artificial Intelligence (AI).

Praktik ideal metaverse dalam pendidikan

Ringkasan kebijakan The Brooking Institution menawarkan jalan menuju praktik terbaik pendidikan ke metaverse. Aplikasi pendidikan, sejak menjejak di dunia digital, seringkali tak melibatkan ilmu kependidikan secara “serius”.

Ingatlah pada 1997, saat ponsel Nokia 6110 menawarkan aplikasi seluler pertama (dari sebuah gim bernama Snake). Pada 2007, pasar aplikasi berkembang pesat setelah era iPhone dan kian melesat saat iPad masuk ke pasar pada 2011.

Kemudian pada 2015, saat prinsip pengembangan “aplikasi pendidikan” baru dirilis, pasar sudah dibanjiri oleh lebih dari 80.000 aplikasi. Sebagian besar tak memiliki dasar penelitian terkait bagaimana anak-anak belajar di balik desain atau implementasinya.

Bejibun aplikasi itu dirancang untuk penggunaan orang dewasa, tidak ramah anak. Bahkan, para desainer menggunakan istilah “pendidikan” untuk produk yang menurut banyak ilmuwan hanya memiliki hubungan selintas dengan apa pun tentang mendidik.

Menciptakan produk pendidikan untuk metaverse perlu bermitra dengan pendidik dan ilmuwan untuk memastikan anak-anak mengalami interaksi sosial yang nyata saat mereka menavigasi ruang virtual.

Setidaknya ada empat prinsip dasar yang disarankan agar unsur pendidikan dalam aplikasi “mendidik” itu bisa memenuhi janjinya. Ini berdasarkan konsensus keilmuan pembelajaran anak-anak.

  1. Belajar harus aktif, bukan pasif. Anak-anak belajar paling baik di lingkungan yang “berpikir”. Artinya, gesekan sederhana tidak dihitung sebagai gerakan “aktif” dalam lingkungan pendidikan.
  2. Aplikasi harus menarik alih-alih mengganggu atau sekadar menyertakan lonceng dan peluit ke dalam narasi permainan, pelajaran, atau alur cerita. Banyak aplikasi mengganggu alur cerita dengan kesempatan untuk menyelidiki kosakata (baca: Mana Lebih Baik: Buku Cetak vs Buku-e) dan/atau menyertakan iklan persuasif yang mengalihkan perhatian anak-anak agar membeli aplikasi lain.
  3. Aplikasi harus memanfaatkan sesuatu yang berarti bagi anak. Harus ada titik yang memungkinkan anak-anak menghubungkan konten aplikasi dengan apa yang mereka ketahui, daripada mengangkat cerita atau setting asing.
  4. Aplikasi harus mendorong interaksi sosial di dalam atau di luar ruang aplikasi, tidak “menjebak” anak asyik sendirian.

Selain memenuhi empat prinsip di atas, pembelajaran anak sebaiknya berulang. Aplikasi harus mendorong anak-anak mencapai tujuan pembelajaran melalui sejumlah jalur berbeda, atau memungkinkan pengalaman serupa tetapi lewat berbeda cara.

Terakhir, pengalaman belajar lewat panggung baru ini juga harus menyenangkan, karena anak-anak belajar lebih baik ketika dimotivasi melalui kegembiraan.

*Foto ilustrasi: Tima Miroshnichenko

Artikel lain sekategori:

Maaf, Anda tak bisa lagi berkomentar.