Beranda  »  Artikel » Literasi Baru   »   Mana Lebih Baik: Buku Cetak vs Buku-e

Mana Lebih Baik: Buku Cetak vs Buku-e

Oleh: Melekmedia -- 24 April, 2022 
Tentang: , ,  –  Komentar Dinonaktifkan pada Mana Lebih Baik: Buku Cetak vs Buku-e

Membaca buku pexels kindel media

Membaca buku cetak mulai tersaingi kehadiran buku-buku elektronik (buku-e). Apakah buku-buku digital itu bisa menggantikan buku cetak, khususnya pada anak-anak?

Banyak penelitian buku cetak vs buku-e menyorot dampaknya pada orang dewasa. Misalnya tiga penelitian meta-analisis (Clinton, 2019Delgado et al., 2018Kong et al., 2018) menunjukkan membaca di layar berkorelasi dengan rendahnya kinerja membaca pada orang dewasa, pelajar, dan anak SD-SMP.

Dalam beragam literatur lahirlah istilah efek “keuntungan kertas” dan “inferioritas layar”. Bukti-bukti lain pun mengunggulkan kertas daripada layar untuk pembaca konvensional, tapi belum banyak riset terkait kemampuan membaca anak-anak pra sekolah.

Upaya yang dilakukan May Irene Furenes, Natalia Kucirkova, dan Adriana G. Bus pada 2021 berangkat dari keprihatinan di atas. Mereka pun melacak riset mengenai dampak buku digital terhadap anak-anak.

Melalui penelitian meta-analisis ditemukan sejumlah inkonsistensi pada studi eksperimental perbandingan hasil belajar anak-anak lewat buku-e dan kertas. Penelitian itu meninjau 39 studi yang dilaporkan dalam 30 artikel (melibatkan total 1.812 anak-anak).

May Irene dkk. membandingkan pemahaman cerita anak-anak dan pembelajaran kosa-kata dalam kaitannya dengan membaca di atas kertas versus di layar, keberadaan fitur seperti kamus pada buku-e, dan dukungan orang dewasa untuk anak-anak berusia antara 1-8 tahun.

Perbandingan itu menunjukkan skor pemahaman yang lebih rendah untuk buku digital. Orang dewasa yang membacakan buku cetak lebih efektif dibandingkan dengan anak membaca buku digital secara mandiri.

Kendati demikian, penelitian pada 2021 tersebut menemukan buku digital punya kelebihan. Misalnya penggunaan teknologi yang memperkaya fitur pada buku digital. Meski, distraksi jadi faktor lemahnya.

Pendekatan berbeda pada buku-e

Pandemi yang memaksa anak-anak diam di rumah telah meningkatkan akses terhadap layar digital dibandingkan buku dalam format kertas. Hal ini menimbulkan kekhawatiran sejumlah ahli. Mereka meyakini ada perbedaan saat anak-anak menyerap informasi lewat kertas dibanding media digital.

Naomi Baron, profesor emerita linguistik di American University dan penulis buku, “How We Read Now: Strategic Choices for Print, Screen and Audio,” mengatakan dalam The New York Times (2021), “… setidaknya ada dua komponen pemengaruh; bentuk media dan cara berpikir saat membaca…”.

Maksud Naomi, kita menggunakan layar lazimnya untuk bersosialisasi dan hiburan—kita semua, orang dewasa maupun anak-anak. Kita pun terbiasa menyerap materi online yang sebagian besar dirancang untuk dibaca dengan cepat dan santai, tanpa banyak usaha.

Saat membaca materi yang lebih sulit—yang seharusnya perlu dipelajari secara perlahan dan menyerap secara lebih hati-hati—kita tidak memberikan perhatian yang layak pada materi tersebut. Kita telanjur terbiasa dengan pendekatan untuk konten digital.

Fitur seperti kamus, yang memungkinkan melacak kata dalam bacaan yang dianggap perlu, membuat pembaca terdistraksi dari bacaannya. Gangguan kecil ini mengancam keberlangsungan proses membaca.

Profesor Baron menunjukkan bahwa pada anak-anak yang lebih kecil, masuk akal untuk tetap menggunakan cetakan sebisa mungkin. Buku cetak, katanya, memudahkan orang tua dan anak-anak berinteraksi dengan bahasa, pertanyaan dan jawaban.

“Ini yang disebut ‘membaca dialogis’,” katanya. “Beberapa aplikasi dan e-book memiliki terlalu banyak gangguan atau distraksi,” imbuh dia.

Dr. Tiffany Munzer, seorang dokter anak di Rumah Sakit Anak Mott menyatakan interaksi orang tua saat bersama keluarga lewat membaca adalah hal baik, apa pun media yang digunakan.

“Ada beberapa buku elektronik yang didesain dengan sangat baik,” kata Dr. Munzer sembari merujuk penelitian terhadap salah satu buku rancangan PBS yang menyertakan karakter untuk membimbing orang tua dalam melibatkan anak-anak mereka saat bercerita lewat buku.

Di sisi lain, penelitian menunjukkan banyak fitur di aplikasi yang menonjol secara visual tetapi mengalihkan perhatian dari konten. Ini justru mempersulit anak-anak memaknai konten, makin sulit bagi orang tua untuk membangun dialog sembari membaca.

Doktor spesialis perkembangan perilaku itu telah mempelajari penggunaan buku-e pada anak-anak. Ia menemukan orang tua dan balita berbicara lebih sedikit, dan lebih jarang mendiskusikan cerita dalam bacaan ketika menggunakan buku elektronik dibandingkan dengan buku cetak.

Anak dan balita cenderung dibiarkan menggunakan media dengan layar digital sendirian. Media digital seperti tablet atau ponsel, seolah sudah menjadi teman atau pengasuh bagi mereka.

Membaca butuh bantuan dari medium

Bila seseorang mengasosiasikan pengalaman menjelajah buku pada layar sama dengan penjelajahan web biasa, mereka cenderung terburu-buru tanpa menyerap teks sepenuhnya. Studi menemukan membaca digital melahirkan keyakinan “terlalu percaya diri”.

“Kita membaca [teks] digital lebih cepat, [jadi] kita berpikir harus bisa memahaminya dengan lebih baik,” jelas Lauren Singer Trakhman, yang mempelajari pemahaman bacaan di University of Maryland, College Park.

Saat semuanya ada di ujung jari—kita bisa mendapatkan info apa saja dalam hitungan detik—itu justru menjadi salah satu perangkapnya. Saat semuanya begitu cepat dan mudah diakses, kita tidak lagi benar-benar mencerna apa yang kita baca.

Singer Trakhman pada 2016 meneliti pemahaman membaca mahasiswa setelah mereka membaca artikel versi digital dan cetak. Format tidak memengaruhi pemahaman mereka tentang gagasan utama dalam tulisan, tetapi mereka melewatkan detail saat membaca di layar.

Salah satu faktornya adalah, menggulir teks pada layar akan mengganggu pemahaman lantaran menciptakan tantangan spasial. Buku cetak tidak banyak “menuntut” daripada teks digital. Ia memberi petunjuk spasial dan taktis untuk membantu pembaca memproses kata-kata pada halaman.

Saat membaca, otak kita menyusun peta kognitif. Kita mengingat potongan informasi sebelum paragraf yang sedang dibaca, dan menjalin hubungan di antaranya. Menjadi lebih sulit memetakan kata-kata yang selalu bergerak karena pengguliran.

Contohnya saat membaca komik. Studi pada 2017 menemukan pemahaman membaca menurun ketika pembaca menggulir satu-persatu panil dalam komik alih-alih melihatnya sekaligus dalam satu halaman.

“Kita kehilangan ‘penampung visual’ yang penting,” kata Singer Trakhman dalam BrainFacts.org (2020). Menggulir menuntut lebih banyak kerja memori manusia. Padahal, membaca menuntut memori untuk mengingat apa saja yang baru dibaca.

“Dalam memori kita dapat menyimpan sekitar tujuh item sekaligus, jadi saat membaca kita perlu menghilangkan sebanyak mungkin tuntutan. Ketika harus mengingat apa yang baru saja dibaca dan tidak ada [isyarat] spasial untuk membantu, itu menghabiskan bandwidth,” jelas Singer Trakhman.

Jangan lupakan buku cetak

Pada orang dewasa, perlu upaya mempertahankan informasi teks dari layar dengan memperlambat membaca dan mencatat bagian penting. Mengetik mungkin lebih pas di dunia digital, tetapi tulisan tangan merupakan bantuan memori yang paling unggul.

Tidak berarti buku-e kurang bermanfaat, tetapi butuh pertimbangan medium mana yang pas untuk jenis bacaan tertentu. Saat membaca materi yang sulit atau rumit, sebaiknya pilih buku cetak. Buku digital mungkin bermanfaat untuk materi yang ringan, misalnya tentang hiburan.

Pada anak-anak pra-sekolah, buku digital mungkin memberi interaktivitas yang menarik perhatian mereka. Tetapi, interaksi dengan orang dewasa (orang tua khususnya) masih paling penting. Kebiasaan membaca buku cetak bersama anak sangat penting bagi perkembangan mereka.

Riset May Irene dkk. menyimpulkan, terlepas pentingnya pengembangan kosa kata pada anak yang bisa dicapai oleh buku digital, lebih baik kembali pada tujuan utama membaca buku—membangun makna dan mengelaborasi isi cerita dalam buku.

Dengan kata lain, perancang buku digital perlu berhati-hati dengan tambahan fitur yang mungkin berguna tetapi sempit, seperti penambahan kosa kata baru, alih-alih untuk sesi membaca secara keseluruhan.

Rekomendasi praktis dari para peneliti untuk guru dan orang tua/pengasuh adalah memperhatikan desain buku yang mereka gunakan pada anak kecil, dan memilih buku digital yang fokus pada konten.

Literasi dalam melek media tidak sekadar tentang membaca huruf yang membentuk kata, melainkan menarik kesimpulan dan mengambil makna di baliknya. Dalam berbagai bentuk, baik teks, audio, maupun audio visual.

*Photo by Kindel Media

Artikel lain sekategori:

Maaf, Anda tak bisa lagi berkomentar.