Beranda  »  Artikel » Media Baru   »   Anonymous is You! Kitalah Anonim itu

Anonymous is You! Kitalah Anonim itu

Oleh: Melekmedia -- 28 Oktober, 2011 
Tentang: , , ,  –  Komentar Dinonaktifkan pada Anonymous is You! Kitalah Anonim itu

Anonymous

Gerakan sosial, biasanya dikomandani aktivis yang membangun jejaring. Kali ini, gerakan anonymous bergerak tanpa komando dari seorang pemimpin yang jelas wujudnya. Bagaimana bisa?

Demonstrasi yang sedang ramai diperbincangkan adalah aksi di Mesir dengan menguasai Lapangan Tahrir. Media sosial menjadi salah satu tulang punggung penyebaran informasi gerakan ini.

Ketika media mainstream sudah terkooptasi kepentingan penguasa, para aktivis bergerilya melalui media sosial. Blog, Facebook, Twitter, menjadi corong yang ampuh dalam menyebarkan gagasan gerakan. 

Tapi media sosial bukan tujuan, ia hanyalah alat. Penelitian di balik fenomena Arab Spring di awal tahun 2011, menguatkan dugaan banyak hal harus dilakukan selain berjejaring sosial di internet

Media sosial memang membantu menjangkau khalayak tertentu, tapi banyak khalayak lain yang harus dijangkau melalui media yang lain pula. Karena itu berjejaring sosial di dunia nyata juga tak kalah penting.

Aktivis gerakan di Mesir itu aktif membangun diskusi di beberapa komunitas, menyebarkan isu melalui para supir taksi, bahkan membuat buku-buku panduan bagaimana menuju lapangan Tahrir, serta rute penyelamatan diri jika terjadi bentrok dengan pihak kemanan.

Di baliknya ada tokoh Ramy El Swissy. Melalui Gerakan Pemuda 6 April–tersebar di Facebook dan Twitter–ribuan orang terpanggil untuk ikut dalam protes. Puncaknya adalah pengunduran diri Husni Mubarak pada 11 Februari 2011.

Berusia 22 tahun, Ramy sudah terlibat isu hak asasi manusia sejak berusia 14 lewat Amnesty Internasional. Tiga tahun kemudian, ia mendirikan Gerakan Pemuda 6 April.

Berawal dari 14 orang anggota di jejaring sosial Facebook, mereka mendirikan sebuah kelompok. Kelompok ini pun berkembang dan jumlahnya mencapai hampir 30 ribu orang. Merekalah kelompok pertama yang menyerukan demonstrasi massa pada bulan Januari.

Anonymous di pusaran gerakan sosial politik

Mungkinkah media sosial sebagai tulang punggung gerakan sosial dan politik, tanpa seseorang atau sejumlah tokoh sebagai pemimpin? Mari tengok kasus Anonymous. Gerakan “tanpa nama”, berisi orang-orang tanpa identitas, bergerak karena ideologi dan tujuan yang sama.

Perannya diakui dalam revolusi Mesir. Situs pemerintah Mesir, beserta situs-situs terkait seperti milik partai berkuasa Partai Demokratik Nasional, diretas dan dipaksa keluar jaringan (offline) oleh komunitas Anonymous. Situs-situs tersebut bahkan masih offline hingga Presiden Husni Mubarak dilengserkan.

Gerakan mereka rajin memanfaatkan jejaring sosial di internet. Beberapa orang mungkin menganggap Anonymous sebagai hacker (hacktivis) yang kerjanya membobol atau merusak situs web orang lain. Itu bukan gambaran yang utuh tentang gerakan Anonymous.

Anonymous sering dikaitkan dengan kegiatan peretasan kolaboratif (hacktivism) sebagai bentuk protes terhadap lembaga pemerintah, entitas komersial, dan lembaga lainnya. Serangan semacam penolakan layanan (DoS) atau serangan penolakan layanan terdistribusi (DDoS), mematikan situs web internet atau layanan berbasis internet lainnya yang dijadikan target.

Peretas yang terkait dengan kelompok tersebut telah mengklaim serangan siber mulai dari lelucon kecil terhadap berbagai perusahaan hingga menutup situs Badan Intelijen Pusat AS, CIA.

Kesuksesan Anonymous yang bergerak tanpa tokoh pemimpin sebenarnya mudah dijelaskan. Anonymous bergerak dengan prinsip “lakukan dan ikuti”. Mereka percaya, melakukan sesuatu adalah awal dari gerakan:

Seseorang akan mengajukan aksi, lalu yang lain boleh bergabung (bila setuju), atau menolak terlibat. Lalu, bendera Anonymous akan berkibar sebagai hasilnya. Tak ada yang mengklaim gerakan itu, selain Anonymous itu sendiri.

Misalnya sebuah komunitas yang mengusung “Dunia yang Bebas dan Adil”. Komunitas ini mempromosikan rencananya secara gamblang.

Di situs whatistheplan.org, mereka membeberkan rencana besar untuk mencapai visi tentang masyarakat yang berkelanjutan, dalam lingkungan saling berbagi pengetahuan, di bawah pemerintahan yang transparan dan berkekuasaan terbatas.

Untuk mencapai visi besar itu, perlu menegakkan beberapa prinsip, yaitu Kebebasan berbicara, Pemerintah yang transparan, dan Mendukung kebebasan individu untuk berkembang. Senjata mereka adalah informasi.

Penyebaran fakta dan sumberdaya jadi alat perjuangan mereka, dalam rangka mendidik pengguna/masyarakat melalui konten yang diviralkan. Demi persamaan derajat, mereka mendorong semangat persatuan dan toleransi.

Anonymous

Anonim, tak bertanggung jawab?

Tak perlu ada pemimpin atau figur yang tampil. Semua pihak dihargai kontribusinya, tak perlu ada klaim dari kanan-kiri, mengklaim pihak paling berjasa dari sebuah gerakan. Anonymous memungkinkan seseorang tetap aman dari pemerintah yang doyan memburu dan menjebloskan aktivis ke penjara.

Bagi Anonymous, bukan “siapa” yang terpenting, tetapi apa gagasannya. Mereka percaya, “Anonymous adalah kita semua”. Di era media 2.0, penyebaran gagasan memang bisa lebih cepat meski anonim. Kalau setuju dengan gagasannya, disebar tanpa bertanya dari siapa. Kecuali kalau gagasan itu dicurigai.

Muncul keberatan dari pihak yang tak suka anonimitas; soal pertanggungjawaban. Anonim dituding tidak bertanggung jawab. Hanya berbekal “lempar batu sembunyi tangan”. Padahal, pangkalnya adalah otoritarianisme.

Paham politik otoriter, bercirikan penekanan kekuasaan hanya pada negara atau pribadi tertentu, tanpa melihat derajat kebebasan individu. Kekuasaan negara lalu seolah tanpa penyeimbang, tanpa pengawasan, karena dikendalikan hanya oleh satu entitas. Kekuasaan yang seolah tanpa batas ini, rentan penyalahgunaan.

Negara otoriter lalu memberangus kritik, kebebasan menyampaikan pendapat, dan memburu aktivis sampai ke liang lahat. Di sinilah Anonymous jadi solusi: Tetap bergerak di bawah radar otoritarianisme.

Rezim yang terganggu dengan gerakan seperti ini sudah pasti tak tinggal diam. Pihak yang tidak suka bisa saja menyusup dan merusak reputasi mereka. Misalnya pemerintah Amerika Serikat, pernah mengobarkan perang cyber terhadap Anonymous. Buat AS, aksi Anonymous dikategorikan sebagai teroris, dan ancaman layaknya keberadaan Uni Soviet di era perang dingin.

Politisi, aktivis, semua punya agenda masing-masing untuk dipertaruhkan. Semua pun bisa mengaku sebagai Anonymous. Apakah agenda itu demi masyarakat luas atau demi kepentingan kelompoknya, publik perlu menelaahnya lebih jauh.

Sebagai alat yang bisa menjangkau massa, media sosial pun diperebutkan. Masyarakat yang kritis memilah dan memilih, tidak akan mudah terlena. Di gelanggang media sosial, banyak isu harus dibedakan, mana pesanan dan mana yang tulus.

Klaim Anonymous sebagai representasi publik, warga yang bersuara di bawah tekanan rezim otoritarianisme, tetap perlu diperiksa. Benarkah “mereka” yang mengaku sebagai “kita”, adalah representasi publik? Atau hanya propaganda satu pihak untuk menggolkan agenda sosial, politik, atau ekonomi mereka.

Guy Fawkes di balik topeng Sang Anonim

Tambahan catatan mengenai simbol anonymous lewat topeng putih itu. Kisah di baliknya adalah Guy Fawkes (13 April 1570–31 Januari 1606) alias Guido Fawkes. Fawkes bukan pemimpin, ia bahkan di luar lingkaran inti gerakan.

Namun, ia jadi tokoh pemberontak terkenal. Terlibat dalam upaya meledakkan Parlemen Inggris pada 1605 karena ingin menegakkan rezim Katolik Roma di era pemerintahan Inggris yang didominasi protestan.

Sosoknya tinggi berjanggut, bersepatu bot, berjubah gelap, dan topi gelap bertepi lebar. Sosok ini dibakar dalam bentuk patung dalam api unggun di Inggris setiap 5 November. Itulah tanggal penyerangan gagal Fawkes dkk.

Fawkes dan topeng yang muncul belakangan menjadi simbol aksinya yang populer dengan sebutan “Gunpowder Plot”. Ketika ditangkap saat menjaga bubuk mesiu, Fawkes mengenakan jubah, sepatu bot, namun tak bertopeng.

Ia sempat diiinterogasi, tapi bergeming. Raja akhirnya mengizinkan penyiksaan demi mengorek keterangan dari Fawkes pada 6 November. Maka pada 7, 8 dan 9 November nama-nama konspirator pun keluar dari mulutnya.

Ia dan para konspirator pemberontakan yang masih tersisa lalu disidang pada 27 Januari 1606, dan dieksekusi di Old Palace Yard, Westminster, pada 31 Januari 1606.

Adapun topeng Guy Fawkes yang ikonik, popularitasnya berasal dari novel grafis dan film V for Vendetta. Kisahnya berubah dari pemberontak pinggiran yang pernah dicerca menjadi simbol perlawanan yang meluas.

Komikus yang pertama menggambarkan topeng itu, David Lloyd, mengatakan kepada The New York Times, “Ini adalah simbol protes yang hebat bagi siapa saja yang menentang tirani.”

Sebelum film V for Vendetta (2005) dan serial televisi pada bertema Fawkes pada 1980-an, kostum dan patung Guy Fawkes hanya populer di Inggris saat Halloween dan perayaan Hari Guy Fawkes setiap 5 November.

Meski topeng itu lekat dengan demonstrasi anti-kemapanan dan kapitalisme, perusahaan media terbesar di AS yang menikmati keuntungan terbesar dari popularitasnya.

Time Warner memiliki hak atas visual topeng tersebut, dan dari 100.000 topeng lebih yang diproduksi setiap tahun (secara legal), merupakan kostum terlaris bagi divisi penjualan mereka.

Artikel lain sekategori:

Maaf, Anda tak bisa lagi berkomentar.