Beranda  »  Artikel » Pantau Media   »   Singkirkan Kekerasan dari Layar Kaca

Singkirkan Kekerasan dari Layar Kaca

Oleh: Melekmedia -- 29 Maret, 2022 
Tentang: , ,  –  Komentar Dinonaktifkan pada Singkirkan Kekerasan dari Layar Kaca

Batman Robin meme

Apapun alasannya kekerasan tidak bisa dibenarkan. Apalagi dipamerkan di layar kaca yang bisa ditonton jutaan pemirsa di seluruh dunia.

Terutama karena ini bukan fiksi. Ini berlangsung di ajang Oscar 2022. Will Smith naik panggung dan menampar Chris Rock lantaran melempar guyonan sensitif tentang Nyonya Smith terkait kondisi kesehatannya. Disiarkan secara langsung, ditonton jutaan pasang mata, Senin (28/3/2022).

Insiden itu menjadi kepala berita di mana-mana. Menggeser capaian spektakuler Troy Kotsur yang berhasil menjadi aktor tuli pertama pemenang Academy Awards di bidang akting. Lawan mainnya di film CODA (2021), Marlee Matlin, aktris tuli pertama pemenang Piala Oscar pada 1987.

Sederhana saja memaknai peristiwa itu. Chris Rock adalah komedian, ia berusaha menghibur kalayak lewat guyonan. Sayang, ia kelewatan. Kondisi kesehatan Jada Pinkett Smith adalah bahan guyonan tak patut.

Adapun Sang Suami, bereaksi seperti anak kecil. Apapun alasannya, memamerkan kekerasan di panggung terbuka bukanlah sikap seorang gentleman. Pria terhormat tak seharusnya menjawab dengan kekerasan.

Will Smith akhirnya mohon maaf, menyatakan aksinya tak bisa dibenarkan. Ia membuat pernyataan di akun Instagram (29/3/2022). Sebelumnya ia sempat minta maaf di panggung Oscar saat menerima piala untuk kategori Aktor Terbaik 2022 lewat King Richard (2021).

Dua-duanya patut belajar dari kesalahan. Kedua aktor jadi teladan bagi para penggemar, harusnya paham apa yang mereka lakukan di atas panggung secara live dikonsumsi publik. Publik bisa menirunya, menjadi pembenaran bagi pelecehan atau kekerasan lain.

Dampak tontonan bukan isu sepele

Kekerasan di media sudah lama jadi sorotan. Banyak riset yang mendukung atau menolak klaim bahwa peningkatan kekerasan di masyarakat berlaku karena peran media. Setidaknya, Michael Moore pernah mengurai silang pendapat ini dalam film dokumenter Bowling for Columbine (2002).

Film dokumenter ini bisa menjadi media untuk belajar tentang kekerasan, bukan mengajarkan kekerasan. Moore dengan lincah mengadu argumen dari dua sisi yang berseberangan, dan menuntut penonton berpikir lebih keras. Pada akhirnya, memang publik yang paling terdampak.

Jangan kaget kalau debat di linimasa Twitter soal Chris vs Will masih panas. Ada si paling jantan yang merasa kekerasan adalah jalan pedang demi membela yang tersayang. Ada pula si paling liberal yang merasa guyonan adalah kebebasan ekspresi yang dilindungi undang-undang.

Semua orang punya hak untuk bersikap. Yang perlu diingat, tontonan kontroversial seperti ini bisa memicu pertanyaan di kalangan anak-anak. “Pap/Mom, kenapa Will Smith menampar Chris Rock?” Jawaban Anda adalah pilihan mereka bersikap pada masa mendatang.

Kalau belum ketemu jawabannya, coba ingat tandukan Zinedine Zidane pada final Piala Dunia 2006. Zidane dan Materazzi, dua pemain yang mencetak gol pada waktu normal di laga itu, mengukir cerita lain yang tak terlupakan. Kasusnya beda, tapi bisa membantu menjawab pertanyaan barusan.

“Saya ingin meminta maaf kepada semua anak yang menonton itu,” kata Zidane dalam sebuah wawancara di TV Prancis. “Tidak ada alasan untuk [membenarkan] aksi itu,” imbuhnya dalam kutipan The Guardian.

“Saya memang minta maaf tetapi tidak menyesali perilaku saya, karena menyesalinya berarti apa yang dia [Materazzi] katakan benar adanya.”

Misteri penyebab Zidane meledak di lapangan sempat jadi buruan media. Marco Materazzi jadi sasaran. Bek Italia itu malah memenangkan sejumlah tuntutan hukum atas kelakuan media yang asal menginterpretasikan provokasinya pada Sang Kapten tim Prancis.

Zizou tahu persis, sepak bola bukan hanya tontonan orang dewasa. Ia sadar betul, perilakunya bukan teladan bagi anak-anak. Ia sadar media bisa jadi pengaruh baik maupun buruk pagi pemirsanya. Pesan yang ia sampaikan pun jelas dan lantang: Kekerasan bukan pilihan.

Sementara legenda Prancis itu bungkam soal hinaan kepadanya, Materazzi akhirnya buka suara. Dalam wawancara yang dikutip Footbal Italia pada 2020 lalu, ia jelaskan penyebab murka Zidane di lapangan.

“Dia berkata pada saya: ‘Jika mau, Anda bisa memiliki kaos saya setelah pertandingan’. Saya menjawab: ‘Saya lebih suka saudara perempuanmu’,” papar Materazzi.

Anda bisa pakai penjelasan ini: Zidane maupun Will Smith membela orang-orang yang dikasihi. Mereka berhak melakukannya. Tapi kekerasan bukan jawaban. Mereka berdua pun mengakuinya. Mereka bisa merespons dengan cara lain.

Maka wajar ketika wasit mengganjar Zizou kartu merah. Prancis pun takluk dari Italia pada final di Berlin’s Olympic Stadium itu. Apakah polemik baru akan muncul bila pihak AMPAS mencabut Oscar untuk Will Smith?

Bagaimana dalam tayangan lain?

Kita bisa menemukan banyak jenis kekerasan di media, baik lewat pemberitaan atau tayangan fiksi seperti film, dan program lainnya. Penting bagi pemirsa untuk membedakan, mana fiksi dan bukan fiksi dalam setiap jenis tayangan.

Memahami bahwa sebuah adegan kekerasan adalah rekaan belaka, memberi impresi berbeda ketika kekerasan benar-benar terjadi. Penjelasan terhadap tayangan fiksi mudah saja; itu semua tidak nyata. Adegan didramatisir untuk kepentingan hiburan.

Bagaimana dengan berita-berita kriminalitas, yang seringkali menayangkan dampak atau bahkan rekaman kekerasan secara vulgar? Berita-berita itu menayangkan fakta, ada kode etik yang mengatur. Misalnya, media tidak boleh mengglorifikasi kekerasan.

Bahwa dalam berita on air bisa menayangkan kekerasan (tanpa diduga akan muncul), harus ada upaya meminimalisir dampaknya. Nyatakan secara lantang bahwa kekerasan adalah salah.

Tetapi bisa ada anomali, seperti kasus Munarman dan Tamrin Tamagola di layar TVOne. Aksi siram teh oleh jubir FPI itu tak disesalinya, bahkan ia merasa perlu melakukan hal tak terpuji tersebut.

Munarman pun mengklaim, banyak yang mendukung dirinya. Ini jelas-jelas contoh buruk—saat perdebatan di ruang publik justru diwarnai kekerasan, lalu dibenarkan. Bagaimana bila anak-anak mengajukan pertanyaan tentangnya?

Tayangan di media punya sistem rating, menentukan mana yang layak ditonton oleh kategori usia tertentu. Tayangan dengan tingkat kekerasan eksesif, bukan tontonan anak-anak.

Warga perlu makin waspada, karena kekerasan tak hanya ada di layar kaca televisi. Layar yang lain, komputer rumahan ataupun telepon genggam, bisa menawarkan konten serupa. Layar ini bisa diakses anak-anak dengan mudah.

Pengawasan berlaku untuk materi kekerasan di media, misalnya di gim daring. Banyak gim mengandung unsur kekerasan, sebagian tidak menyasar anak-anak. Warga jangan abai pemeringkatan gim sesuai usia.

Kekerasan seperti Oscar 2022, Zizou di lapangan bola, bahkan siraman teh saat diskusi di televisi, memang tak terjadi setiap hari. Bila kelak muncul lagi, tak perlu berdebat panjang. Kekerasan semacam itu harus disingkirkan, bukan hanya dari layar kaca.

*Meme Batman menampar Robin karya Milos Babic via Dribble

Artikel lain sekategori:

Maaf, Anda tak bisa lagi berkomentar.