Beranda  »  Artikel » Literasi Baru   »   Gawai Digital Menggerus Minat Baca

Gawai Digital Menggerus Minat Baca

Oleh: Melekmedia -- 9 Januari, 2023 
Tentang: , ,  –  1 Komentar

Photo by The Lazy Artist Gallery

Dunia maya berjarak tak lebih 1 cm dari ujung jari. Membaca tak lagi sempat. Berpikir pun terlewat.

Center for Media Literacy (CML) menegaskan: “It’s not enough to know how to press buttons on technological equipment: thinking is even more important.” Mikirlah sebelum posting.

Lalu, mengapa hasrat mengeklik bisa sedemikian tinggi, hingga aktivitas berpikir yang sedemikian penting bisa absen?

Kata “berpikir” dalam KBBI daring punya arti: “Menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu…” Kompleksitas berpikir diawali dengan mencerap informasi. Misalkan dalam bentuk teks, maka membaca sangat penting untuk memicu proses berpikir.

Di sisi lain, teknologi digital membuat mengeklik—menekan dan melepas tombol pada tetikus atau pena—niscaya jauh lebih mudah. Karena mengeklik terasa jauh lebih mudah, tak heran banyak netizen terjebak mengeklik (baca: memposting) tanpa berpikir panjang.

Kecepatan mengeklik yang lazimnya memicu persebaran informasi tanpa pemikiran matang, tak sekali-dua menimbulkan petaka. Penegasan CML pun menemukan konteksnya; Aktivitas berpikir jauh lebih penting daripada sekadar latah mengeklik di era digital.

Mengeklik idealnya didahului proses mencerap informasi lewat membaca, lalu menimbangnya sebelum memutuskan ujung jari menari. Sayangnya, tingkat kecanduan pada gawai menyingkirkan tahapan ideal itu.

Isu kecanduan gawai merebak. Wali Kota Bandung, Oded M. Danial (alm), bahkan pernah menggagas pembagian anak ayam pada siswa SD dan SMP. Apakah upaya itu berhasil, tak ada yang tahu. Yang ada hanya klaim sepihak.


Minat orang untuk membaca secara lebih mendalam—lebih komprehensif—semakin langka karena terbiasa membaca “cepat dan beragam”. Setidaknya demikian menurut sebuah riset pada 2019. Riset di jurnal Nature Communications tersebut menunjukkan orang-orang sekarang fokus pada banyak hal – sehingga atensinya berlangsung secara singkat.

Pemodelan dalam riset tersebut menunjukkan bahwa siklus perhatian yang memendek didorong oleh peningkatan arus informasi, yang direpresentasikan oleh tingkat produksi dan konsumsi konten. Banyaknya informasi yang berlalu lalang melalui gawai, dengan kecepatan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, membuat masyarakat terbiasa mencerap banyak informasi.

Rentang perhatian (attention span) memendek, karena dalam waktu yang sama terlalu banyak ragam informasi yang harus dicerap, dan pada saat bersamaan merekapun memproduksi informasi.

“Memproduksi dan mengonsumsi lebih banyak konten menghasilkan pemendekan rentang perhatian untuk tiap topik dan tingkat pergantian yang lebih tinggi..,” demikian sepenggal kutipan dari riset tersebut.

Para peneliti membuat penyangkalan bahwa menyusutnya rentang perhatian temuan mereka mungkin tidak berlaku per individu, tetapi gambaran umum secara kolektif. Meski begitu, seorang ahli sosiologi di bidang komunikasi dan budaya digital memiliki kesimpulan senada ihwal menyusutnya rentang perhatian.

Our attention spans are lowering,” demikian Dr. Julie Albright yang dikutip Forbes (2020). Ia seperti mengamini hasil riset barusan, rentang perhatian kita memang tengah menyusut. Dr. Julie Albright membicarakan tentang media sosial, khususnya fenomena yang muncul di balik populernya TikTok.

Ia mengatakan panggung digital layaknya TikTok — termasuk Instagram, Snapchat, dan Facebook — pada dasarnya mengadopsi prinsip yang sama dengan penyebab kecanduan judi. Penguatan secara acak atau random reinforcement adalah penyebabnya.

“Terkadang Anda menang, terkadang kalah, siklus itu memicu kecanduan,” kata dia. Ketika menggulir layar ponsel untuk sekadar membunuh waktu lewat aplikasi medsos, Anda akan menemukan konten yang menyenangkan—terkadang tidak.

Anda mungkin tersenyum geli saat menemukan konten lucu lalu mengeklik lambang hati, tapi segera beranjak dari konten-konten yang tak disukai. Begitulah linimasa media sosial bekerja sesuai prinsip penguatan secara acak yang dimaksud Dr. Julie.

“Otak kita berubah lantaran interaksi dengan teknologi digital, salah satunya adalah kompresi waktu,” ujarnya. Kompresi waktu, artinya waktu terasa cepat berlalu saking banyaknya peristiwa berlaku.

Generasi digital ini senantiasa merasa terburu-buru, ingin serba cepat karena terbiasa mencerna terlalu banyak topik dalam waktu singkat. Stamina untuk berlama-lama mengunyah satu topik pun melorot.

Terbukti bila remaja atau generasi milenial diminta menonton film-film era 50, 60, atau 70-an. Sebagian besar akan merasa adegannya membosankan, dan tak sabar menanti yang lebih “seru”.


Paparan penelitian dan sosiolog di atas menjelaskan mengapa minat baca—yang membutuhkan rentang perhatian lebih panjang—ikut tergerus. Rentang perhatian mungkin bukan satu-satunya faktor, tapi bisa jadi yang utama.

Mari tengok kebiasaan membaca buku dan penggunaan gawai di Indonesia belakangan ini. Riset Perpustakaan Nasional per 2012-2014 menunjukkan masyarakat Indonesia rata-rata membaca buku selama 2-4 jam per hari.

Capaian itu semakin memburuk dari tahun ke tahun. Riset yang sama pada 2020, mencatat rekor membaca 1 jam 36 menit secara nasional. Tahun berikutnya, turun tipis menjadi 1 jam 34 menit. Bandingkan dengan ukuran UNESCO yang mematok durasi membaca ideal adalah 4-6 jam per hari.

Sementara minat untuk menggunakan gawai tak terbendung. Trennya bahkan meningkat dari tahun ke tahun. Pengguna di Indonesia menghabiskan rata-rata 5 jam 25 menit per hari bergawai ria, menurut Statista (2021). Angka itu melesat dibandingkan pada 2019, dengan rekor “hanya” 3,54 jam sehari.

Kebiasaan yang lahir dari bermain gawai, khususnya mengembara di linimasa media sosial, dapat diduga menjadi penyebab susutnya rentang perhatian. Ini berlaku pada anak, juga pada orang dewasa. Semakin intensif penggunaan gawai, kian serius penurunan rentang perhatian.

Menyisir konten demi konten, mempengaruhi sensasi terhadap keragaman berkat efek random reinforcement. Dalam rentang waktu yang sama, pengguna merasa mendapatkan lebih banyak konten di linimasa media sosial. Kebiasaan ini makin sulit diakhiri karena jeratan efek candu.

Ini membuat aktivitas membaca menjadi terasa membosankan. Alhasil, cukup membaca judul artikel yang melintas di linimasa Twitter, jemari tangan dengan cepat merespons tanpa berpikir panjang. Tak jarang, respons kilat ini menghasilkan penyesalan.

Kecepatan respons tersebut kian dahsyat bila konten dirancang untuk menakut-nakuti, atau menimbulkan kekhawatiran. Konten demikian menyasar emosi, menimbulkan efek amygdala hijack. Hoaks pun merajalela.

Ujung-ujungnya, mengikis minat membaca. Membaca satu buku yang butuh kesabaran dan rentang perhatian lebih panjang, kian tak menarik. Sebangun dengan ketidaksabaran milenial menonton film-film era “kolonial”.

Ini pula yang menjelaskan perilaku klik tanpa mikir pada semua generasi. Jangankan berpikir, membaca saja tidak sempat.

*Photo by The Lazy Artist Gallery via Pexels

Artikel lain sekategori:

Satu Komentar untuk “Gawai Digital Menggerus Minat Baca”

  1. Antyo®

    Serbacepat, serbasekilas, karena informasinya sangat deras, sementara sehari tetap 24 jam. ?