Beranda  »  Artikel » Pantau Media   »   Quo Vadis Media Daring Indonesia

Quo Vadis Media Daring Indonesia

Oleh: rahadian p. paramita -- 5 November, 2016 
Tentang: , ,  –  Komentar Dinonaktifkan pada Quo Vadis Media Daring Indonesia

Media daring

Perjalanan media daring di Indonesia sudah nyaris dua dekade. Dimulai dengan memindahkan konten cetak ke dunia maya, media daring berkembang seiring munculnya gagasan membuat breaking news ala daring.

Teknologi internet mendukung gagasan tersebut. Tak seperti media cetak yang proses produksi konten dan reproduksinya butuh waktu, di ranah daring berita bisa diproduksi seketika.

Namun, seperti dikemukakan peneliti dari Program Studi S-2 Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Kuskridho Ambardi, kecepatan memproduksi berita tak berjalan seiring dengan akurasi dan kedalamannya.

Ini terungkap pada ajang Obsat yang digelar di gerai makanan cepat saji “Es Teler 77” di bilangan Jakarta Selatan (3/9/2015). Diskusi terbuka itu bertema “Potret Media Daring Indonesia” (daring atau dalam jaringan – online).

Dijelaskan dalam presentasi Dodi –demikian Kuskridho disapa–memproduksi berita secara cepat bagi media daring tak mudah dipraktikkan. Cepat tanpa mengorbankan akurasi, butuh jumlah personel tak sedikit.

Ambil contoh The New York Times, media yang punya reputasi baik, di ranah cetak maupun daring. Versi daringnya memproduksi sekitar 350 berita sehari, namun mempekerjakan 1.100 orang jurnalis. Dengan rasio itu, dapat diasumsikan satu berita New York Times dikerjakan oleh kurang lebih tiga orang.

Sementara, media daring juga harus bersaing kecepatan dengan media dan jejaring sosial. Ini terjadi dalam kasus pengeboman di Hotel Marriot dan Hotel Ritz Carlton, Kuningan, Jakarta, pada 17 Juli 2009 silam.

Saat itu, yang pertama mengabarkan terjadinya bom kepada dunia justru Daniel Tumiwa lewat akun Twitter-nya @DanielTumiwa. Dikisahkan jurnalis VIVA.co.id Indra Darmawan, Daniel (sekarang CEO di situs belanja daring OLX Indonesia) diburu awak media dalam dan luar negeri karena kicauannya itu.

Pembicara lain dalam diskusi, Rustika Herlambang, menyatakan bahwa informasi yang cepat dan akurat adalah konsekuensi tak terhindarkan. Menurut Communication and Partnership Director lembaga pemantauan media daring “Indonesia Indicator” itu, dalam masyarakat modern dan terbuka, berita harus cepat, namun akurat.

Saat ini, menurut pemantauan Indonesia Indicator, media daring Indonesia menampilkan potret kenyataan di lapangan, tetapi juga persepsi, hal-hal yang sebenarnya belum terjadi. Tuntutan untuk berproduksi telah memaksa awak media mengangkut peristiwa “apa saja” sebagai bahan berita.

Jurnalisme daring, ketika tradisi bertemu inovasi

Wakil Ketua Dewan Pers, Imam Wahyudi yang hadir pula dalam acara Obsat, menyatakan internet hanyalah salah satu platform atau panggung media. Apapun bentuk panggungnya, media tetap harus bekerja dengan prinsip jurnalisme. Memverifikasi berita agar akurat menjadi jantungnya.

Ia bahkan mengklaim, “media yang tidak menerapkan jurnalisme, tidak bisa disebut sebagai pers”.

Jurnalisme atau kewartawanan, adalah pekerjaan mengumpulkan, menulis, menyunting, dan menerbitkan berita dalam surat kabar. Mungkinkah empat tahap mendasar dalam jurnalisme ini diterapkan di dunia daring?

Sebelum menjawab pertanyaan itu, istilah digital journalism atau online journalism masih sering dipertukarkan. Untuk memperjelas rujukan yang digunakan, tengoklah tulisan profesor dari College of Social Sciences, Universitas Hawai, Kevin Kawamoto.

Ia mengupasnya lewat buku kumpulan esai berjudul “Digital Journalism: Emerging Media and the Changing Horizons of Journalism” (2003).

Menurutnya, digital journalism (jurnalisme digital) agak sulit didefinisikan. Supaya mudah, ia menggambarkan jurnalisme digital sebagai praktik jurnalisme dalam konteks yang baru.

Jurnalisme sebagai aktivitas, sudah dikenal sejak zaman Julius Caesar berkuasa di Roma, sedangkan digital adalah konteks kekinian yang muncul seiring berkembangnya teknologi informasi.

“Sebuah perpaduan antara tradisi dan inovasi,” begitu kesimpulannya.

Kawamoto pun mencoba merumuskan jurnalisme digital sebagai, “penggunaan teknologi digital untuk meneliti (menggali informasi), memproduksi, dan menyampaikan berita atau informasi kepada masyarakat yang semakin melek komputer”.

Inilah kompromi terbaiknya, untuk menangkap fungsi jurnalisme, sekaligus mengakui peranti mutakhir dalam pertukaran informasi oleh masyarakat.

Lanjut membaca: Halaman 1 » Halaman 2 » Halaman 3

Artikel lain sekategori:

Maaf, Anda tak bisa lagi berkomentar.