Beranda  »  Artikel » Media Baru   »   Di Balik Debat Desentralisasi Web 3.0

Di Balik Debat Desentralisasi Web 3.0

Oleh: Melekmedia -- 26 Desember, 2021 
Tentang: , ,  –  Komentar Dinonaktifkan pada Di Balik Debat Desentralisasi Web 3.0

Blockchain

Web 3.0 disebut-sebut sebagai anti-tesis Web 2.0. Katanya ia pro-privasi, dan anti-monopoli. Meski begitu, belum ada definisi yang baku tentangnya.

Akun mantan CEO Twitter, Jack Dorsey, diblokir oleh sesama raksasa internet dan pengusaha teknologi sekaligus pemodal ventura Marc Lowell Andreessen. Insiden berawal dari debat ihwal Web 3.0 (atau sering ditulis dengan “Web3”).

Singkatnya, Dorsey berkomentar negatif soal Web3 (demikian ia menuliskannya), sebuah fenomena yang dijuluki sebagai “masa depan internet”. Dorsey menyatakan keprihatinannya lantaran proyek-proyek Web3 menurut hemat dia tak lagi memenuhi konsep desentralistik.

Ia mendaku penguasaan web generasi baru ini mengarah pada segelintir entitas yang akan mengendalikan internet. “Kalian bukan pemilik ‘web3.’ Para pemodal ventura (VCs) dan mitranya (LPs) yang berkuasa. […],” begitu kira-kira penggalan kicauan Dorsey.

Jangan salah sangka, Dorsey bukan anti Web3. Kritiknya justru mempertegas inisiatif yang sedang dikerjakannya. Bluesky, proyek riset Twitter tentang ekosistem web sosial terdesentralisasi.

“Kami mencoba melakukan bagian kami dengan mendanai inisiatif seputar standar terbuka sistem desentralisasi untuk media sosial. Nanti kami pun akan merujuk pada standar itu untuk mengelola percakapan publik di internet,” jelas Dorsey saat itu.

Sepertinya debat yang seru. Namun, banyak hal baru dan sulit dimengerti seputar Web3. Apalagi istilah-istilah lain bermunculan, seperti Web 3.0, desentralisasi, metamesta atau metaverse, dan entah apa lagi. Apakah Web 3.0 sama dengan Web3 seperti yang dimaksud Jack?

Perlu melacak perjalanan panjang teknologi di internet ini untuk melengkapi konteks. Misalnya tentang riwayat world wide web (www) sejak pertama muncul sebagai antar-muka yang ramah pengguna. Jangan khawatir, Anda tak harus fasih tentang keruwetan blockchain dan yang melingkupinya.

Seperti kata Olga Mack, pengusaha dan dosen blockchain di University of California, Berkeley: “Ketika menyalakan lampu, apakah Anda mengerti bagaimana listrik dibuat? Anda tidak perlu tahu bagaimana listrik bekerja untuk memahami manfaatnya. Sama halnya dengan blockchain.”

Tapi bila tak sabar dan ingin langsung ke pembahasan mengenai debat Dorsey tentang Web 3.0, silakan lewati saja bagian kilas balik di bawah ini, dan langsung ke bagian akhir artikel.

Linimasa menuju Web 3.0

Kejayaan Web 2.0 digadang mulai berakhir. Web 2.0 dengan partisipasinya dikritik banyak pihak karena sejumlah kelemahan. Sorotan utama pada fakta bahwa data pengguna tersimpan di server milik perusahaan (secara terpusat), dan rentan pembobolan atau penyalahgunaan.

Netizen mungkin bebas membuat konten, dan menyebarkannya lewat berbagai aplikasi media sosial, tapi bila peladen milik perusahaan itu mati, lenyaplah semuanya. Partisipasi yang dulu diimpikan dinilai semu, pada akhirnya menuruti aturan si pemilik peladen yang mencari keuntungan.

Lewat pembelajaran mesin, Facebook, Google, atau Twitter, misalnya, mengeksploitasi data pengguna yang tersimpan di server mereka agar pengguna betah. Bila mereka betah, mengundang lebih banyak uang dari iklan untuk perusahaan-perusahaan tersebut.

Perusahaan pada akhirnya “menjual” informasi tentang pengguna kepada pengiklan. Semakin banyak pengguna, berarti lebih banyak uang untuk mereka. Maka banyak yang bilang, “pengguna adalah produk” merupakan paradigma Web 2.0.

Dari sisi keamanan, bukan sekali-dua peladen-peladen milik perusahaan media sosial atau perusahaan lain sejenis dibobol maling. Jumlah data pengguna yang tersebar pun mencapai ratusan juta banyaknya. Ini menimbulkan risiko bagi hak asasi, khususnya dalam isu privasi data.

Web 3.0 (atau Web3) lalu disebut-sebut sebagai anti-tesisnya. Katanya ia pro-privasi, dan anti-monopoli. Meski begitu, belum ada definisi yang baku tentangnya. Bagaimana teknologi www sampai pada situasi saat ini?

Sebagai gambaran, coba tengok salah satu contoh aplikasinya dalam media sosial bernama Mastodon.

Web 1.0: Satu arah

asdasda

Web 1.0 mengacu pada tahap pertama dari evolusi WWW yang dilahirkan Sir Tim Berners-Lee pada 1989. Sir Tim adalah Direktur World Wide Web Consortium (W3C), sebuah organisasi standar web yang didirikan pada 1994 agar teknologi web dapat dioperasikan secara massal (spesifikasi, pedoman, perangkat lunak, dan alat).

Awalnya hanya ada beberapa pembuat konten di internet, sebagian besarnya adalah pengguna (konsumen konten). Laman web terdiri dari halaman statis yang di-hosting di peladen web milik ISP, atau di layanan hosting gratis.

Dengan teknologi yang masih sangat terbatas, penyedia konten pun jadi terbatas. Karena itu, cenderung disebut “read-only web”. Pengguna hanya bisa mengonsumsi. Tidak semua netizen punya kemewahan mempublikasikan konten di internet. Hanya mereka yang memiliki akes berlebih yang menguasainya.

Era ini bertahan kurang lebih pada kurun 1991 hingga 2004. Cri lain era ini, selain web yang statis, adalah semua yang tampil di laman sudah disediakan, tanpa pemrosesan lebih lanjut. Semua berkas sudah disiapkan lewat sistem pengelolaan di peladen.

Laman pun dibuat dengan mekanisme “Server Side Includes” atau “Common Gateway Interface” (CGI), yang bekerja secara statis, tidak seperti Perl, PHP, Python atau Ruby yang kini populer. Bingkai (frames) dan tabel menjadi tulang punggung tata letak tampilan laman saat itu.

Web 2.0: Partisipatif tapi Sentralistik

Iterasi kedua perjalanan WWW ini memungkinkan pengguna membuat konten. Web 2.0 juga disebut web sosial partisipatif. Era ini memungkinkan interaksi dan kolaborasi, terutama melalui media atau jejaring sosial. Populer pula dengan julukan “read-write web“.

Adalah Darcy DiNucci yang pertama menelurkan istilah “Web 2.0” ini pada 1999, dalam artikelnya “Fragmented Future”. Meski begitu, istilah ini populer berkat Tim O’Reilly dan Dale Dougherty pada akhir 2004.

Beberapa platform awal berbasis Web 2.0 di antaranya YouTube, Facebook, dan Amazon. Karena teknologi CMS seperti WordPress, aktivitas menulis blog, membuat toko e-niaga, menjadi sangat populer.

Web 2.0 membawa perubahan mendasar, karena orang dapat berbagi perspektif, pendapat, pemikiran, dan pengalaman mereka melalui berbagai alat dan platform daring. Namun, pertukaran tersebut terjadi hanya di platform masing-masing. Pengguna Twitter lazimnya berinteraksi di aplikasi atau web Twitter, dan seterusnya.

Lima fitur utama Web 2.0: (1) Pemilahan informasi secara bebas, memungkinkan pengguna untuk mengambil dan mengklasifikasikan informasi secara kolektif; (2) Konten dinamis yang responsif terhadap input pengguna; (3) Arus informasi antara pemilik situs dan pengguna situs melalui evaluasi dan komentar daring.

Kemudian, (4) Maraknya teknologi API (Application Programming Interface) yang memungkinkan penggunaan mandiri melalui berbagi data antar-mesin; serta (5) Akses web yang meluas, dari basis pengguna internet tradisional hingga berbagai pengguna yang lebih luas.

Kelemahan utama teknologi ini, kian terpusatnya data pengguna dan aktivitas di peladen-peladen milik perusahaan pengelola layanan, baik layanan media sosial maupun layanan lainnya yang relevan.

Inilah yang melahirkan istilah sentralistik. Kendali data pengguna ada di tangan pengelola, sehingga mengundang kecemasan bila terjadi kebocoran atau penyalahgunaan.

Perbedaan teknologi WWW
Ilustrasi perbedaan era WWW dari singlegrain.com
Web 3.0: Desentralistik atau Web Semantik (?)

Web 3.0 sering dikaitkan dengan dunia 3D. Meski begitu, konsep paling menonjol adalah desentralisasi internet. Tak seperti penyimpanan data era Web 2.0, Web 3.0 menawarkan sistem penyimpanan data tersebar secara peer-to-peer, yang (bisa saja) diatur oleh sistem blockchain.

Bila era sebelumnya pengguna menjadi produk, beberapa pihak memprediksi pada era Web 3.0 pengguna akan benar-benar menjadi pemilik konten. Korporasi pun akan dijalankan oleh grup terdesentralisasi yang dikenal sebagai DAO (Decentralized Autonomous Organization).

Tapi tunggu dulu, Web 3.0 tidak semata tentang blockchain. Istilah Web 3.0 disebut pertama kali oleh jurnalis The New York Times, John Markoff, pada medio 2006. Secara filosofis, mengembalikan www pada definisi Sir Lee (2001) tentang konsep semantic web, saat tak ada otoritas (tunggal) yang menguasai “kehidupan” situs web di internet.

Ini menjadi salah satu fitur utama untuk membantu mendefinisikan Web 3.0. Konsep web semantik meningkatkan teknologi permintaan untuk membuat, berbagi, dan menghubungkan konten melalui pencarian dan analisis berdasarkan kemampuan untuk memahami arti kata, bukan sekadar kata kunci atau angka.

Metode ini dianggap lebih cocok dari perspektif mesin, sekaligus dianggap pas dengan cara manusia memproses informasi. Web semantik berjanji membangun “dunia informasi” dengan cara yang lebih masuk akal dari pada yang dapat dicapai Google lewat skema mereka.

Sir Lee dan rekannya yang menulis gagasan ini, memimpikan sebuah kondisi saat mesin dapat menghubungkan semua konten di internet lewat data meta (metadata) yang melekat padanya.

Data meta, data tentang data, ini seperti memeriksa berkas di komputer lewat aplikasi pengolah berkas. Di sana bisa ditemukan data tentang siapa yang membuat berkas, kapan dibuat, seberapa besar, dst. Saat ini, teknologi serupa berlaku di situs web dalam format XML.

Sebuah web atau salah satu artikel dari web itu bisa dikenali mesin siapa pembuatnya, apa temanya, dll. lewat data meta yang menyertainya. Dengan mengoleksi dan memproses data meta ini, “agen” Web 3.0 bisa menghubungkan konten yang relevan di internet.

Tim Berners-Lee bersama tim di MIT lalu mengembangkan Solid, diklaim sebagai proyek desentralisasi data. Dalam kutipan aslinya di situs resmi Solid dituliskan: “Solid is a specification that lets people store their data securely in decentralized data stores called Pods.”

Proyek ini bertujuan mengubah secara radikal cara kerja aplikasi web, mengembalikan kepemilikan data kepada pemiliknya yang sah, serta meningkatkan privasi. Solid tidak menggunakan blockchain, tetapi diklaim dapat berinteraksi dengan web berbasis blockchain.

Lewat Solid, data pribadi tak disimpan di server pengelola aplikasi, semisal aplikasi media sosial. Semua data pribadi disimpan oleh penggunanya, lewat aplikasi yang disebut Pod. Anda bisa punya Pod yang berbeda untuk urusan pribadi, dengan Pod untuk urusan kantor. Apapun aplikasi yang Anda pakai, bisa mengakses Pod tersebut, tetapi kepemilikan Pod tetap pada user—bukan pemilik server.

Bila ditambahkan kecerdasan buatan, menemukan sesuatu yang “relevan” tak sekadar sesuai kata kunci di mesin pencari–layaknya Google atau mesin sejenis bekerja. Relevansi lebih dalam dan kompleks, karena data yang dianalisis bukan sekadar dari kata kunci.

Dari riwayat singkatnya, Web 3.0 lebih dekat dengan web semantik ala Berners Lee dkk, dengan visi desentralisasi lewat Solid Pod. Sementara desentralisasi lewat rantai blok dan turunannya, lebih pas disebut Web3. Inilah yang dimaksud Jack Dorsey dalam kicauannya di awal tulisan ini.

Web3 sebagai evolusi Web 3.0

Jangan bingung bila di banyak artikel, penggunaan istilah Web3 dan Web 3.0 dipertukarkan. Tulisan inpun “terpaksa” diubah susunannya dengan menambah penjelasan (2/4/2022).

Dalam tulisan di Reworked, ditunjukkan bagaimana istilah Web3 adalah versi “lebih mutakhir” dari Web 3.0. Tulisan Siobhan Fagan itu merujuk Lemuel Park, co-founder sekaligus CTO dari BrightEdge.

Lemuel Park bilang bahwa “Web3 adalah evolusi dari Web 3.0”. Konsep desentralistik melekat dalam Web3 dengan fokus pada teknologi blockchain, enkripsi, dan mata uang kripto. Lebih dari itu, melibatkan kecerdasan buatan (AI), penggunaan VR serta AR, dan tentu saja, metaverse alias semesta meta.

Istilah Web3 konon diinisiasi Dr. Gavin Wood, yang digelari “The Father of Web3” sekaligus pendiri Polkadot dan Parity Technologies. Dalam wawancaranya di Wired, Gavin pada 2014 pun awalnya menggunakan istilah Web 3.0. Saat itu, ia baru saja turut mengembangkan Ethereum, cryptocurrency terbesar kedua setelah Bitcoin.

Kini ia menjalankan Web3 Foundation, mendukung teknologi terdesentralisasi. Wood, juga menyinggung kesalahan Web 2.0. Dapat disimpulkan bahwa gagasan Web3 pun ingin “memperbaiki” Web 2.0 yang monopolistik: Web3 membebaskan dunia dari dominasi tersebut.

Sementara Web semantik dalam Web 3.0 mengundang skeptisisme karena adopsinya terlalu lamban. Bahkan oleh sebagian gagasan ini dilabel utopis. Pasalnya, data meta yang dibuat “secara sukarela” lewat XML selama ini sering disalahgunakan demi mencapai ranking terbaik di mesin pencari.

Perilaku tak elok ini dituding jadi penghalang besar dalam perkembangan Web 3.0. Sulit mengharapkan semua orang berlaku jujur saat memasukkan data meta tentang situsnya, atau tentang dirinya. Padahal, metadata adalah komponen utama. Bila tak ada data meta, maka sirnalah gagasan web semantik yang didambakan.

Kritik lainnya menyebut, teknologi web semantik yang memerlukan upaya manual untuk mencatat “metadata” itu terlalu menyulitkan. Padahal, tanpa penanda (tag) tersebut, jejaring ini akan gagal. Kebangkitan Machine Learning (pembelajaran mesin) dengan deep learning dan teknologi AI lainnya, membuat konsep web semantik dinilai kian tidak relevan.

Solid menjawab kritikan tersebut. Di web resminya, bisa dijumpai optimisme mereka bahwa web semantik tetap akan bertumbuh, bahkan Solid adalah jawabannya. Teknologi Solid digadang membuat data lebih berdaya-guna, dan lebih independen dari aplikasi.

Di sisi lain, Web3 yang mendaku sebagai iterasi berikutnya dari internet, menghubungkan data secara desentralistik untuk memberi pengalaman baru bagi pengguna—lebih cepat dan personal.

Bila Web 2.0 didorong oleh teknologi seluler, jejaring dan media sosial, serta teknologi awan (cloud); Web 3.0 menghubung mesin dan memintarkan satu sama lain; Web3 didukung lapisan inovasi teknologi baru, seperti komputasi lokal; desentralisasi; kecerdasan buatan & pembelajaran mesin; serta Blockchain.

Komputasi lokal (edge computing) merujuk pada mekanisme pemrosesan data secara “lokal”, tidak dipusatkan ke peladen utama seperti pada model Web 2.0. Pusat data (data center) dalam jejaring bukan lagi yang utama, tetapi ada stasiun sekunder yang bisa memproses data di “tepian jejaring”.

Pusat data akan “ditemani” serangkaian sumber daya komputasi yang didistribusikan di antara ponsel, laptop, peralatan, atau sensor. Perangkat-perangkat ini diprediksi menghasilkan dan menggunakan data 160 kali lebih banyak pada 2025 dibandingkan pada 2010.

Desentralisasi memungkinkan siapapun penghasil data memperdagangkan data mereka tanpa kehilangan kepemilikan, mempertaruhkan privasi, atau mengandalkan perantara. Tak ada lagi data pribadi yang tersimpan di peladen privat milik perusahaan. Pengguna dapat masuk (login) melalui internet tanpa khawatir dilacak pihak ketiga.

Kecerdasan buatan dan pembelajaran mesin dalam terminologi Web3 diharapkan bisa melampaui capaian pada era sebelumnya. Kecerdasan buatan saat ini dinilai terlalu tergantung pada input data yang diinisiasi manusia, yang rentan bias serta penyalahgunaan.

Blockchain, menjadi lapisan mendasar teknologi di balik desentralisasi, karena mendefinisikan ulang struktur data. Platform ini menyebarkan kontrak cerdas untuk menentukan logika aplikasi bagi Web3. Berikut perbandingan arsitektur Web 2.0 dengan Web 3.0 (Web3) yang dibuat Preethi Kasireddy.

Desentralisasi, atau apa?

Untuk menjernihkan kebingungan tentang istilah Web3 vs Web 3.0, mari dudukkan dulu perkaranya: Keduanya punya visi desentralisasi. Web3 versi Gavin mengandalkan kriptografi dalam blockchain, sedangkan Web 3.0 versi Berners Lee komunikasi antar-mesin dengan Solid Pod-nya.

Nah, mari kembali ke Jack Dorsey yang menuding Web3 kehilangan ruh desentralistik. Kritik tersebut seperti menyerang penyangga kepopuleran Web3 (maupun Web 3.0). Bila tak lagi desentralistik, alias kembali ke konsep sentralistik ala Web 2.0, apalah gunanya?

Dorsey, dalam percakapan melalui akun Twitter-nya, menjelaskan bahwa ia fokus pada sistem yang benar-benar desentralistik. Saat disinggung apakah ia menyentil Ethereum, yang kerap dituding mempraktikkan sentralisasi dalam blockchain, ia membantah.

“Saya tidak anti-ETH (Ethereum),” balasnya lewat kicauan. “Saya anti-sentralisasi, kepemilikan oleh VC, kesalahan tunggal, dan kebohongan yang direkayasa perusahaan. Bila Anda anti-kemapanan, saya jamin bukan Ethereum jawabannya. Jangan dengar atau percaya pada saya, cek saja fundamental-nya,” imbuhnya.

Ia percaya pada Bitcoin (BTC), karena terbukti bahwa tak ada satu pihak atau institusi pun yang memiliki kekuasaan terhadap Bitcoin lebih besar dibanding pihak yang lain. Bahwa ada upaya untuk menguasai, upaya tersebut pada akhirnya gagal.

Saat ini aplikasi desentralistik (DApps) yang berjalan di atas Ethereum jadi panggung utama Web3. DApps dipercaya sebagai aplikasi open-source, terdesentralisasi, dan sangat efisien. Kesannya siapapun bisa ambil bagian, tanpa kontrol terpusat, dan ongkosnya minimal mengingat tak ada perantara yang harus kebagian laba.

Seperti digambarkan Preethi Kasireddy, Web3 mengatasi sejumlah kelemahan dari pendahulunya. Dengan adanya DAO yang dikendalikan komunitas, tak ada satu entitas pun yang bisa berbuat semaunya terhadap aplikasi di atas platform tersebut. DAO pun terbagi-bagi tergantung urusannya, bukan satu forum untuk segala urusan.

Selain itu, ada keuntungan lain saat login untuk masuk ke DApps. Pada Web 2.0 login untuk Twitter, Facebook, atau layanan lainnya harus menggunakan akun tersendiri. Bila mengelola 3-5 jenis media sosial sekaligus, tak mudah menjaga keamanan akun-akun tersebut.

Lewat Web3, cuma butuh satu dompet yang bisa dibuat dalam hitungan detik di blockchain. Akun tersebut bisa digunakan untuk masuk ke semua aplikasi yang berjalan di atas platform blockchain yang digunakan. Semacam “Bitcoin” untuk segala layanan dan aplikasi.

Persis seperti yang diungkapkan Juan Benet, pendiri dan CEO of Protocol Labs. Ia bilang Web3 itu ekosistem web revolusioner—seperti yang Bitcoin (BTC) lakukan terhadap mata uang populer (Fiat). Mata uang kripto, khususnya BTC, digadang mendobrak “aturan lama” dunia keuangan.

Tulisan David Z. Morris dari Coindesk bisa menjelaskan lebih gamblang motif di balik “serangan” Dorsey pada Web3. Intinya, berakar dari skeptisisme pendukung BTC “garis keras” terhadap koin alternatif. Debat Bitcoiner terhadap koin alternatif, selama ini sudah muncul karena isu desentralisasi.

Fundamentalis Bitcoin yang diistilahkan sebagai “Bitcoin Maximalists” pada dasarnya percaya bahwa kekokohan dan universalitas BTC akan menjadikannya mata uang global bersama, dengan akses demokratis yang menguntungkan umat manusia secara keseluruhan.

Hanya Bitcoin yang sejati, bukan yang lain.

Kaum Maksimalis ini–belum tentu berlaku pada semua pendukung Bitcoin–pada umumnya percaya bahwa mata uang kripto lain adalah ancaman terhadap visi besar Bitcoin (“an attack on Bitcoin”). Ini karena kekhawatiran terhadap kompromi pada prinsip desentralisasi dalam blockchain.

Penutup Morris memberi gambaran obyektif atas apa yang terjadi. Pemerhati blockchain pasti mengakui bahwa Bitcoin adalah teknologi yang kokoh dan transformatif. Tetapi banyak juga yang berpikiran terbuka, bahwa sistem yang tidak sekaku Bitcoin juga bisa mendatangkan manfaat.

Patut diingat masa awal revolusi Web 2.0 menjadi disruptor, idealis, bahkan utopis. David Armano, salah seorang yang aktif mempromosikan Web 2.0, mengingatkan agar para pendukung Web3 (maupun Web 3.0) tidak mengulang sejarah: Kenyataan tidak seindah yang dibayangkan.

*Photo by Roger Brown from Pexels | Artikel ini telah dimutakhirkan pada 2 April 2022, menambahkan penjelasan Web3 dan Web 3.0.

Artikel lain sekategori:

Maaf, Anda tak bisa lagi berkomentar.