Beranda  »  Artikel » Media Baru   »   Metaverse di Antara Semesta Nyata dan Maya

Metaverse di Antara Semesta Nyata dan Maya

Oleh: Melekmedia -- 12 November, 2021 
Tentang: ,  –  Komentar Dinonaktifkan pada Metaverse di Antara Semesta Nyata dan Maya

Metaverse

Publik mengenal metaverse karena aksi Facebook menamai perusahaan induknya, “Meta“. Jauh sebelum Mark Zuckerberg mendaku, istilah ini telah digadang sebagai semesta pendamping dunia nyata.

“Pendamping dunia nyata”, terdengar seperti film fiksi ilmiah. Bagi yang pernah menonton Ready Player One (2018) atau trilogi The Matrix (1999 & 2003), kedua film mungkin bisa membantu untuk mengenal metaverse.

Dalam Ready Player One, manusia bisa punya kehidupan lain lewat semesta maya dengan menjalankan misi tertentu. Cerita fiksi ini menggambarkan kontes antara daya pikat realitas virtual (VR) lewat headset dan kehidupan nyata yang tampak mengerikan.

Manusia lebih suka menghabiskan waktunya dalam simulasi daripada berurusan dengan realitas mereka. Gambaran yang terasa dekat sekali dengan kenyataan hari ini: Orang-orang sering mengabaikan dunia di sekitarnya, membenamkan diri di layar ponsel, kacamata VR, komputer, atau peranti lainnya.

Beda lagi dalam trilogi The Matrix–yang kemudian merilis sequel tambahan. Film yang pada zamannya sering disalahpahami ini, menggambarkan dunia saat dikuasai mesin. Saat itu, manusia hanyalah budak mesin yang diperas energinya. Supaya anteng, otak manusia diberi dunia virtual yang disebut The Matrix.

Dalam The Matrix, manusia tidak bisa memilih untuk hidup di semesta yang mana. Semesta maya yang diciptakan mesin adalah pilihan utama, sengaja dibuat dengan tujuan mengendalikan umat manusia. Manusia pun lebih “sibuk” di dunia maya, sehingga fisiknya bisa tertanam di ladang energi yang menyuplai mesin.

Jadi metaverse lebih mirip yang mana? Sebagian bisa mirip Ready Player One, tapi sebagian lainnya mirip The Matrix. Belum ada definisi yang dinilai cocok dan memuaskan semua (banyak) orang.

Adapun istilah ini berasal dari zaman digital awal: Diciptakan oleh penulis Neal Stephenson dalam novel tahun 1992, berjudul Snow Crash. Kemudian ditata ulang sebagai Oasis dalam novel Ernest Cline Ready Player One (2011).

Betul, judul film yang sama memang mengadopsi novel tersebut tujuh tahun kemudian.

Lalu para pemain crypto mengklaim mereka sedang membangunnya. Para pemain gim bahkan sudah lama hidup dalam semesta meta semacam itu. Dunia seni mengkomersilkannya. Veteran web mencoba menyelamatkannya. Tapi dunia macam apa itu metaverse?

Sekelumit riwayat metaverse

Sebuah penelitian pada 2003 mengenal istilah metaverse sebagai produk mirip VR hari ini. Penelitinya membuat desain lingkungan imersif kolaboratif masa depan. Mereka menyebutnya layar berbasis proyektor yang dapat diskalakan, terkalibrasi sendiri, imersif, dan mendukung model kolaborasi baru.

Christopher O. Jaynes dkk, yang mengerjakan Metaverse, mengaku nama itu terinspirasi novel Neal Stephenson. Tujuannya menyediakan lingkungan yang terbuka, tidak terikat, dan imersif kepada pengguna dengan memanipulasi indra visual agar percaya hambatan tradisional ruang dan waktu telah disingkirkan.

Matthew Ball, seorang pemodal ventura dan penulis esai, tidak (atau belum) menawarkan definisi yang memuaskan. Ia hanya menawarkan karakternya, dan apa-apa yang sering dikira metaverse, padahal menurutnya bukan. Misalnya, ia menyebut metaverse bukanlah dunia maya, ruang maya, atau realitas maya.

Di sisi lain ia menduga metaverse menjadi pengalaman yang melingkupi baik dunia fisik maupun digital, jaringan atau pengalaman pribadi dan publik, dan platform terbuka dan tertutup. Lebih terdengar seperti dunia di antara maya dan nyata, bukan dunia paralel selain dunia nyata.

Adapun Mark Zuckerberg kepada CNET mengatakan: “Kami ingin semakin banyak orang mengalami realitas virtual dan melompat ke metaverse serta memiliki pengalaman sosial di dalamnya”. Ia mengacu pada semesta realitas virtual Horizon buatan Facebook, yang dijelajahi menggunakan headset VR Oculus (juga) milik Facebook.

Lalu ada Decentraland. “Decentraland adalah platform realitas virtual terdesentralisasi yang didukung oleh blockchain Ethereum. Di panggung Decentraland, pengguna dapat membuat, merasakan, dan memonetisasi konten dan aplikasi mereka,” demikian penjelasan di situs resminya.

Mungkin konsepnya mirip Second Life, tetapi lebih terdesentralisasi. Second Life dimiliki dan dioperasikan oleh perusahaan privat, Linden Labs. Sedangkan Decentraland rencananya akan selalu dimiliki para pengguna, bisa mengelola aset, membangun, dan melakukan apa pun sesuka hatinya.

Ruang 3D terbatas yang dapat dijelajahi (tanpa kaca mata VR) dalam Decentraland disebut LAND, aset digital yang tidak dapat dipertukarkan dan dikelola dengan kontrak (smart contract) melalui Ethereum. LAND terbagi menjadi wilayah lebih kecil yang disebut persil, diidentifikasi dengan koordinat kartesius (x,y).

Paket ini dapat dimiliki secara permanen oleh anggota komunitas dan dibeli menggunakan MANA, token cryptocurrency milik Decentraland. Kepemilikan ini memberi pengguna kontrol penuh atas lingkungan dan aplikasi yang ingin mereka buat, bisa adegan 3D statis hingga gim yang lebih interaktif.

Meskipun Decentraland sering digambarkan sebagai solusi VR, panggung mereka bisa diakses tanpa headset VR. Saat ditanya tentang penggunaan kaca mata khusus ini, tim resmi Decentraland menyatakan, “Kami tidak fokus pada VR, kami memastikan pengalamannya menyenangkan di semua platform: Desktop, Seluler, dan VR…”

Lebih detail mengenai konsep desentralisasi di Decentraland, dapat dibaca di artikel mereka. Secara ringkas, platform ini tidak akan “down” karena setiap server dikendalikan secara demokratis melalui sistem DAO (Decentralized Autonomous Organization).

Akan kemana arah metaverse

Hingga saat ini, metaverse bisa dikatakan masih terbatas sebagai platform interaktif. Dari berbagai contoh, dari Decentraland hingga Horison, atau bahkan Fornite atau Roblox, pada dasarnya menyediakan ruang interaksi antar-pengguna. Bentuk interaksinya bisa bermacam-macam.

Pembeda paling fundamental dari berbagai platform yang sudah ada, adalah sistem pengelolaan dan kepemilikan aset dalam semesta meta itu. Inilah pertanyaan kritis yang juga diajukan Forbes: Siapa yang akan atau seharusnya mengendalikan metaverse?

Perusahaan teknologi besar sangat fasih menghasilkan pengalaman pengguna yang menggiurkan, tetapi harus dibayar dengan risiko eksploitasi data pribadi dan kontrol yang terpusat.

Teknologi blockchain menawarkan tata kelola yang desentralistis, risikonya pengalaman pengguna tidak bisa dijamin optimal. Mengandalkan konten atau item buatan pengguna semata, sulit mengendalikan kualitasnya.

Contohnya saat Roblox, perusahaan publik berpendapatan $924 juta pada 2020, mengadakan festival musik virtual pertama di platformnya. Pengalaman virtual di konser “World Party” ini tidak hanya menampilkan musisi, tetapi juga menawarkan permainan, tenda virtual, bahkan jumpa fans.

Dengan sistem produksi yang profesional, bermodal jutaan dolar, konser virtual di Roblox terasa “paripurna” untuk ukuran konser virtual. Mengandalkan pengalaman peluncuran album bintang pop asal AS, Ava Max yang dihadiri 1.156 juta pengguna, Roblox tidak sedang beruji-coba.

Pada saat bersamaan, Decentraland, mengadakan Festival Metaverse pertamanya. Mereka menjelaskan Festival Metaverse sebagai perayaan musik, budaya, dan kreativitas di dunia sosial virtual selama empat hari. Ada sejumlah nama besar di sana sebagai sponsor, salah satunya Yahoo!.

Berbeda pengalaman dengan Roblox, konser di Decentraland terkesan “semenjana”. Meski dilengkapi juga serangkaian games, stan penjual merchan, atau ruangan khusus VIP, dan “toilet” daring, kualitas penampilannya tidak semulus Roblox.

Jangan lupa, daya tarik dari metaverse adalah interaksi yang bisa dimonetisasi. Seperti juga di dunia nyata, bila ada orang-orang berkumpul, peluang bisnis terbuka lebar. Hal yang sama berlaku pada gim-gim yang mendatangkan uang karena transaksi properti digital, seperti jual beli perlengkapan tempur, hingga perpanjangan nyawa.

Kuatnya transaksi di balik semesta meta ini membuat reputasinya kerap dicap sebagai marketplace belaka. Meski banyak platform metaverse memberi akun gratis untuk bergabung, transaksi aset virtual pada panggung itu berbasis blockchain dan perlu menggunakan mata uang kripto khusus.

Beberapa platform berbasis blockchain memerlukan token kripto berbasis Ethereum untuk bertransaksi, seperti MANA untuk Decentraland dan SAND di The Sandbox, atau Robux di Roblox.

Di Decentraland, transaksi bisa berupa jual beli karya seni NFT, biaya nonton pameran atau konser virtual. Mereka juga dapat menghasilkan uang dengan memperdagangkan LAND, yang harganya telah melonjak selama beberapa tahun terakhir.

Di Roblox, pengguna dapat menghasilkan uang dengan memungut bayaran untuk mengakses game online yang mereka buat, atau untuk memainkannya Jual beli properti pun bisa sebagai NFT, item digital seperti gambar, video, atau item perintilan lain dalam game.

Adapun di Sandbox yang juga semesta game, bisa mentraksaksikan properti game antar-pemain. The Sandbox yang disebut “blockchain gaming platform“, menyediakan tiga produk utama: Pembuatan 3D gim, pembuatan karakter untuk gim, dan marketplace untuk jual-beli aset-aset atau akses ke aset digital tersebut.

Skandal Facebook yang belakangan terungkap, seharusnya memberi petunjuk bagaimana sebaiknya metaverse dijalankan. Apakah pengguna rela menyerahkan kontrol kepada segelintir orang di balik perusahaan teknologi penguasa metaverse, demi kenyamanan dan kepuasaan berselancar di dunia baru tersebut?

*Photo by Ron Lach from Pexels

Artikel lain sekategori:

Maaf, Anda tak bisa lagi berkomentar.