Beranda  »  Artikel » Media Baru   »   Dunia Maya, Hutan Belantara

Dunia Maya, Hutan Belantara

Oleh: rahadian p. paramita -- 14 Januari, 2010 
Tentang: , ,  –  3 Komentar

Dunia Maya

Setelah kasus Bu Prita, beberapa kasus soal pencemaran nama baik merebak. Kasus-kasus dari dunia maya menunjukkan belum tumbuhnya kesadaran bermedia sosial, bak tersesat di hutan belantara.

Aktivitas di dunia maya mengundang hukuman pidana, mulai dari email pribadi, milis, jejaring atau media sosial, blog, dan sejenisnya. Dan kita tahu biangnya, UU Informasi dan Transaksi Elektronik!

Terakhir saya temukan di internet adalah tentang ‘sesuatu‘ yang kemudian menjadi HOAX terkait salah satu produk minuman terkemuka di Indonesia ini. Sesuatu yang tadinya eksperimen kreatif di ruang semi tertutup, jadi bumerang karena bocor tanpa membawa konteks aslinya.

Itu hanya contoh kasus. Yang ingin saya bicarakan sebenarnya tentang literasi. Literate, yang dalam bahasa aslinya berarti having or showing education or knowledge, typically in a specified area, seringkali kita terjemahkan menjadi literasi, yang kadang menjadi sempit dalam akronim ca-lis-tung.

Dalam hal ini, literasi yang berkaitan adalah Literasi Media, atau Melek Media. Lebih spesifik lagi adalah Literasi Internet (baca: Dunia Maya). Dari sebuah web tentang literasi media, Center for Media Literacy (CML) medialit.org, ada kalimat seperti ini:

It’s not enough to know how to press buttons on technological equipment: thinking is even more important.

Berpikir itu jauh lebih penting, betul kan? Ketika berhadapan dengan teknologi dunia maya, yang kerjanya cuma klak-klik sana-sini, seringkali memang ‘berpikir’ menjadi aktivitas yang terlewatkan.

Nemu sesuatu, adrenalin bereaksi, tekan Ctrl+C, Ctrl+V, lalu klik sini, klik sana, dan weesss… Dalam sekejap Anda bisa mengirim informasi ke jutaan manusia lain di dunia.

Sensor bisa sangat minimal, sehingga kalau yang membacanya pun tanpa ‘berpikir dengan sehat’, entah apa jadinya.

Literasi media, dunia maya, oleh UNESCO sudah disebut sebagai tantangan baru yang perlu dihadapi. “We must prepare young people for living in a world of powerful images, words and sounds.” – UNESCO, 1982.

Dalam web medialit.org, Anda juga bisa temukan visi mereka yang senada dengan UNESCO. CML didedikasikan untuk visi baru literasi untuk abad ke-21: kemampuan untuk berkomunikasi secara kompeten di semua bentuk media serta untuk mengakses, memahami, menganalisis, mengevaluasi, dan berpartisipasi dengan gambar, kata, dan suara yang kuat yang membentuk budaya media massa kontemporer kita.

Memang, CML percaya keterampilan literasi media ini penting bagi anak-anak dan orang dewasa sebagai individu dan sebagai warga masyarakat yang demokratis.

Dunia maya yang belantara

Dunia Maya

Di hutan belantara, Anda bisa berjumpa dengan macam-macam binatang dan tumbuhan. Ada yang berbahaya, ada pula yang tidak. Semuanya tergantung seberapa paham kita dengan hutan yang kita masuki.

Makanya, seorang jagawana bukanlah orang sembarangan. Ia seharusnya tahu betul seluk beluk hutan yang dijaganya.

Sebagai turis asing yang tidak tahu apa-apa perlu menyewa mereka untuk menjadi guide. Kalau tidak, maka berdo’alah supaya bisa keluar dari hutan itu hidup-hidup.

Internet, atau dunia maya tak ubahnya seperti hutan belantara itu. Kita bukanlah penduduk aslinya.

Hanya sebagian orang di dunia ini yang memang menjadi ‘penduduk asli’ dunia itu. Mereka yang tahu betul seluk beluknya. Dan kita—misalnya saya—adalah ‘pendatang’ yang sempat beberapa kali tersesat juga.

Saya lupa membaca peta atau peringatan yang dipasang, terkadang memang malas, karena ditulis dengan bahasa yang bukan bahasa emak saya.

Di hutan belantara ini, banyak aturan baru yang belum sama-sama dipahami penghuninya. Ada contoh menarik pada artis yang nama belakangnya “Maya” juga.

Marah berlebihan karena suatu insiden, si Maya mengekspresikannya kepada dunia infotainment melalui akun di Twitter. Kontan kicauan itu meruyak kemana-mana karena follower teh ‘Maya’ ini lebih dari 100 ribu…

Infotemnt derajatnya lebih HINA dr pd PELACUR, PEMBUNUH!!!may ur soul burn in hell,” tulis Luna dalam akun Twitternya, seperti detikhot kutip Rabu (16/12/2009)…

Rupanya saat itu ada insiden kecil. Luna merasa kepala Alea terkena kamera salah satu infotainment. Presenter ‘Dahsyat’ itupun menunjukan wajah kesal.

Marah, dan mengutuk, sebenarnya lumrah saja. Namanya juga manusia, punya batas kesabaran. Apalagi kalau sampai bersinggungan dengan sesuatu yang ‘sensitif’ menurut si pelaku.

Yang lucu kalau persoalan seperti ini kemudian jadi persoalan serius, maju ke pengadilan, dan akhirnya menyebabkan seseorang harus masuk penjara.

Terkadang orang marah kan karena frustasi. Karenanya ia butuh dukungan, butuh ada orang yang datang dan bertanya, “Ada apa , nduk?”.

Ia hanya butuh didengarkan. Kalau orang yang butuh perhatian, dituntut ke pengadilan, tidak heran kasus bunuh diri meningkat. Kita jadi orang-orang yang tak punya hati, empati.

Bandingkan dengan kasus Prita. Kekesalan yang ditulisnya melalui email, adalah sebuah tindakan ‘frustasi’ atas perlakuan tidak adil, dan tidak ada yang membelanya.

Setelah beberapa waktu, dan publik mau ‘mendengar’ keluhannya, kita tahu siapa sebenarnya yang perlu dibela, khan? Negara kok rasanya kurang kerjaan banget, urusan kecil antar anak manusia begini, harus di-intervensi.

Lagipula, PWI, pihak yang mengajukan tuntutan, kok sepertinya tidak memahami esensi UU ITE secara benar.

Dulu, waktu UU ITE diajukan ke MK, meski ditolak, hasil dari persidangan itu bisa memperjelas kedudukan Pasal 27 ayat (3) yang angker itu. Pasal itu berbunyi begini:

Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Ada beberapa catatan berkaitan dengan pasal itu. Di antaranya, pasal ini hanya bisa digunakan oleh perorangan, bukan lembaga/badan hukum. Tidak dikenal pencemaran nama baik lembaga.

Ilustrasinya adalah putusan Hoge Raad pada Maret 2009 yang membebaskan seseorang dari tanggung jawab atas pencemaran nama baik sekelompok orang atas dasar orientasi keagamaannya.

Pertimbangan hukum Hoge Raad dalam perkara a quo adalah karena pencemaran nama baik tersebut hanya mengkritik institusi, bukan orang per orang/individu.

Sehingga, ketika PWI mengajukan tuntutan, siapa orangnya yang merasa terzolimi? Korps wartawan?

Selain penjelasan MK, Depkominfo sendiri melalui Konferensi Pers-nya soal Prita, menjelaskan bahwa pasal tersebut memuat unsur “dengan sengaja” dan “tanpa hak ”.

Unsur tersebut menentukan dapat tidaknya seseorang dipidana berdasarkan pasal ini. Artinya, kalau pelaku dengan sengaja dan tanpa hak atas info tersebut, mempublikasikannya di depan umum, maka ia bisa dimungkinkan terkena pasal ini.

Lha, bagaimana dalam kasus teh Maya ini?

Kasus tersebut memberi kesan, bahwa aturan tentang kebebasan berekspresi di dunia maya masih dipahami secara sepotong-sepotong oleh banyak pihak. Inilah salah satu dosa terbitnya UU Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengandung banyak pasal sumir.

Bertahan hidup di hutan belantara

Contoh-contoh di atas, akan terus bertambah, dan pada akhirnya tidak ada yang diuntungkan. Prita vs OMNI, sekarang Luna Maya vs PWI, dan ada rencana juga memperkarakan Mieke Amalia vs PWI, named it. 

Daftarnya akan semakin panjang. Siapapun yang ‘menang’ di depan hukum dalam kasus seperti ini, pada dasarnya jadi korban UU yang serba sumir dan ternyata tidak dipahami oleh warga negara secara benar.

Entah karena UU ini kurang sosialisasi, atau karena kita seringkali tidak mau tahu tentangnya.

Literasi media atau melek media, menjadi penting dalam hal ini. Terutama, ketika paradigma media terus berubah. Pemahaman tentang sosial media, yang digadang sebagai media mutakhir, tampaknya masih rendah.

Sebagian besar kita cuma mengonsumsi platform itu, tapi tidak paham betul peruntukannya. Dalam kasus Luna Maya, adalah Twitter.

Twitter, didefinisikan sebagai micro blogging. Diambil dari aktivitas nge-blog, yang dikecilkan dalam bentuk tweet, atau kicau.

Namanya juga berkicau, tentu tidak berlembar-lembar, sehingga Twitter yang hanya memberi ruang 140 karakter, pantas menyebut dirinya micro blogging.

Twitter dikategorikan sebagai social media. Lalu apa bedanya dengan media massa?

Berikut ada paparan menarik, dari blog atomicpoet.wordpress.com, yang mengemukakan argumennya tentang perbedaan media sosial dengan media massa.

Agar tidak terlalu abstrak, ia memberi beberapa contoh tentang apa itu media sosial: mengirim tautan melalui email ke sahabat, memberi suara positif pada sebuah cerita di Digg, atau mengomentari foto di Flickr.

Ini adalah contoh media sosial karena semuanya adalah cara orang berinteraksi dengan media secara sosial. Kebalikan dari media sosial adalah media massa.

Tidak ada interaksi khalayak dengan media massa. Satu dimaksudkan untuk mengkonsumsi siaran, dan konsumen tidak berinteraksi dengan penyiar. Televisi, surat kabar, dan radio adalah contoh dari paradigma media massa.

Di media sosial, kita memperbincangkan, mendebat, bahkan bisa menggugat, pada saat informasi itu sampai ke tangan kita.

Isi dari sebuah pesan dan aktivitas sosial seperti memperdebatkan, memberi rating/pamor, atau menyebarluaskan kembali informasi itu, adalah satu paket dalam definisi media sosial.

Selain itu, pengguna media sosial tidak punya kewajiban mematuhi kode etik jurnalistik yang mengatur agar setiap konten diklarifikasi dan diverifikasi kebenarannya.

Produk jurnalistik adalah kerja banyak pihak, bukan pekerjaan individual seperti di media sosial. Cara merespons sengketa karya jurnalistik juga harus melalui mekanisme yang telah diatur Dewan Pers.

Di sinilah letak perbedaan yang signifikan antara media massa dengan media sosial.

Kemarahan Luna Maya di Twitter, bisa kita pandang sebagai reaksi atau komentar terhadap suatu peristiwa (kasus). Kasusnya adalah (menurut Luna Maya) tersenggolnya si anak yang tak berdosa oleh kru program TV itu.

Kalau kita mau ikut merespons, sebaiknya dudukkan dulu persoalannya. Jangan memberi komentar atas komentar, tanpa memahami persoalannya.

Sekali lagi, memahami jauh lebih penting, baru kemudian bereaksi. Itulah salah satu prinsip dalam berjejaring dalam sosial media yang patut dipahami bersama.

Ingin mendukung atau mengutuk aksi Luna, adalah hak publik. Tetapi bila ingin memperkarakannya ke pengadilan, harus jelas dulu apakah unsurnya terpenuhi.

Jangan sampai semua bentuk ekspresi publik jadi bahan untuk diperkarakan ke meja hijau, dan justru mengekang kebebasan berekspresi yang justru difasilitasi oleh media sosial itu sendiri.

UPDATE:

Ternyata laporan PWI Jaya ke Polisi pada Kamis, 17 Desember 2009 terhadap Luna Maya, atas nama R Priyo Wibowo, mewakili Komunitas wartawan Infotainment yang berada di bawah naungan PWI Jaya.

Oh ya, saya baru aja berkunjung ke web-nya si produsen yang bikin penyanggahan atas isu HOAX yang menyerang mereka. Ini salah satu kutipannya:

“Situs ensiklopedi terkemuka dan terpercaya di dunia maya tersebut menjelaskan bahwa Hydroxylic acid atau disebut juga Dihydrogen Monoxide adalah nama ilmiah AIR (water = H20). Jadi, kita tidak perlu bereaksi berlebihan, karena semua makanan dan terutama minuman pasti mengandung air.”

Yang mereka maksud situs ensiklopedi terkemuka dan terpercaya adalah Wikipedia.org. Saya cuma mau bilang, bahkan situs ‘besar’ seperti wikipedia.org, belum tentu dapat dipertanggungjawabkan isinya secara ilmiah.

Jurnal penelitian ilmiah dari universitas atau lembaga penelitian yang sah-lah yang lebih patut dirujuk.

Coba bandingkan dengan link berikut ini, tentang hydroxylic acid. Anda juga bisa tengok sebuah tulisan di kompasiana.com yang mengomentari kasus ini, tapi jadi ‘mendakwa’ si penulis sebagai pembohong.

Padahal, tak ada niat kesana, hanya persoalan teknis yang tidak dipahami sehingga lasut arahnya, jadi sebuah kebohongan publik.

Ternyata bukan cuma orang kita saja kok yang masih ‘buta’ atau tidak menyadari ganasnya rimba belantara dunia maya.

Bahkan seorang istri diplomat Inggris, yang bakalan jadi calon petinggi di MI6 (agen rahasia Inggris yang terkenal lewat James Bond). Cek beritanya di New York Times online, On Facebook, a Spy Revealed (Pale Legs, Too).

Artikel lain sekategori: