Beranda  »  Artikel » Literasi Baru   »   Belajar Melek AI dari Korea Selatan

Belajar Melek AI dari Korea Selatan

Oleh: Melekmedia -- 19 Agustus, 2025 
Tentang: ,  –  Komentar Anda?

a young child is looking at a tablet

Korea Selatan kembali jadi sorotan, bukan hanya karena teknologinya yang melesat, tetapi juga lantaran kebijakan melek media yang kini memasuki babak baru: Era kecerdasan buatan atau akal imitasi (AI).

Menurut artikel di Media & Learning (Agustus 2025), Korea Press Foundation (KPF) meluncurkan beragam program melek media atau media literasi yang dirancang khusus menghadapi banjir informasi digital, disinformasi, hingga fenomena AI generatif.

Pada tahun 2025 ini, lebih dari 900 sekolah ditargetkan ikut serta, sementara tahun lalu tercatat lebih dari 46 ribu siswa sudah terlibat. Program itu tidak hanya berbicara tentang cara membaca berita, tetapi juga meluas ke video, iklan, bahkan konten yang diproduksi AI.

Lebih jauh lagi, KPF mengembangkan kurikulum yang customized—mulai dari literasi AI atau Melek AI, pendidikan media di sekolah multikultural, sampai materi untuk siswa berkebutuhan khusus.

Korea Press Foundation (KPF) adalah lembaga publik yang didirikan pada 1 Februari 2010 oleh pemerintah Korea Selatan dengan tujuan utama mendukung dan mengembangkan jurnalisme serta industri media di Korea.

KPF bekerja sama dengan sekolah dan pendidik menjalankan program melek media, yang meliputi topik seperti berita, video, iklan, dan AI, dengan tujuan memperkuat kemampuan peserta didik dan masyarakat dalam memahami dan merespons lingkungan digital secara kritis.

Ada program khusus seperti “AI Literacy Classroom” untuk siswa sekolah menengah pertama dan program “Ronnie’s Media Explorers” untuk siswa sekolah dasar tingkat bawah. KPF juga menyelenggarakan pelatihan profesional bagi guru.

Bentuknya bisa kuliah online dan program akademik intensif untuk meningkatkan kompetensi guru dalam melek media dan AI, serta menyediakan lebih dari 3.000 bahan ajar dan rencana pelajaran yang disesuaikan berdasarkan usia dan tipe peserta didik.

Selain sekolah, KPF mengadakan kampanye keterlibatan publik dan kesadaran, seperti kompetisi cek fakta (Checkathon), kontes membaca berita dan menulis jurnal berita, serta berbagai format pertunjukan dan acara partisipasi publik untuk mendorong pemahaman melek media dalam kehidupan sehari-hari.

Di bidang pelatihan guru, program terbaru yang dilaporkan pada 2025 adalah pelatihan literasi berita dan AI menggunakan platform analisis seperti “BigKinds” dan AI generatif “BigKinds AI” yang dilakukan bersama Kementerian Kebudayaan, Olahraga dan Pariwisata Korea.

Pelatihan ini ditujukan untuk guru SD, SMP, dan SMA dengan pelatihan gratis yang mencakup teori dan praktik penggunaan data besar dan AI untuk memperkuat literasi berita dan AI di sekolah.

Melek AI dalam Kurikulum

Sejak diluncurkannya Strategi Nasional AI 2019, Korea Selatan resmi memasukkan AI literacy atau Melek AI sebagai bagian dari tujuan pendidikan nasional. Kurikulum 2022 yang direvisi menekankan pentingnya pemahaman siswa tentang dasar-dasar AI, data, hingga etika penggunaan.

Sebuah studi yang dimuat KoreaScience merinci pengukuran AI literacy mencakup enam domain: Dampak sosial, pemahaman AI, perencanaan penerapan, pemecahan masalah, literasi data, dan etika AI. Menurut riset Kim & Lee di laman itu, pengukuran menggunakan skala Likert 0-5.

Instrumen ini memungkinkan guru menilai pemahaman siswa secara sistematis, dari sekadar mengenali konsep AI hingga mengkritisi dampak sosial dan etisnya. Meski demikian, belum ada hasil yang dipublikasikan.

Meski secara formal, Melek AI sudah menjadi elemen penting kurikulum pendidikan dasar di Korea Selatan, dan implementasinya berjalan bertahap—penerapannya di lapangan masih beragam, dengan banyak sekolah baru pada tahap awal atau pilot project.

Buku Teks AI di Kelas-Kelas

Sejak Maret 2025, sekolah dasar dan menengah di Korea mulai menerapkan buku teks digital berbasis AI. Menurut laporan The Straits Times, sekitar 30 % sekolah dasar—1.800 dari total 6.339—sudah menggunakan buku teks AI untuk kelas 3 dan 4 dalam pelajaran Matematika dan Bahasa Inggris.

Pemerintah menargetkan seluruh sekolah menggunakannya pada 2028, meskipun ada mata pelajaran seperti seni, musik, dan etika yang masih dikecualikan. Buku teks ini mampu menyesuaikan tingkat kesulitan dengan kemampuan tiap siswa.

Selain menyesuaikan materi pembelajaran sesuai kecepatan dan gaya belajar masing-masing siswa, juga bisa membantu guru memantau perkembangan siswa secara real-time melalui dasbor digital sehingga guru dapat memberikan intervensi yang lebih cepat dan tepat sasaran.

Meski menjanjikan manfaat besar, inovasi ini mengundang kekhawatiran orang tua terkait paparan teknologi berlebih dan ketergantungan siswa pada perangkat. Orang tua khawatir dampaknya pada perkembangan otak, konsentrasi, dan kemampuan memecahkan masalah anak-anak.

Lagipula, setelah ada perubahan kekuasaan dan pengaruh parlemen serta oposisi, status buku digital AI ini diubah dari “buku teks resmi” menjadi “materi pelengkap.” Artinya, penggunaan buku ini tidak lagi wajib dan menjadi keputusan lembaga sekolah masing-masing.

Laboratorium Hidup

Sebelum penerapan buku teks AI ini, pada 2023 diberitakan bahwa pemerintah Korsel menunjuk 351 sekolah SD hingga SMA sebagai digital leading schools. Di sekolah-sekolah ini, siswa tidak lagi membawa buku cetak.

Semua aktivitas belajar dilakukan lewat perangkat digital, termasuk diskusi, latihan soal, hingga eksperimen flipped learning di mana siswa belajar teori di rumah lewat AI, lalu di kelas untuk diskusi dan kerja kelompok.

Beberapa sekolah menguji coba robot pengajar AI dalam pelajaran Bahasa Inggris. Robot ini bisa bercakap dengan siswa, memberikan umpan balik, sekaligus mengurangi rasa malu ketika siswa berlatih percakapan.

Dari hasil eksperimen saat itu menunjukkan sejumlah kemudahan, seperti siswa tidak lagi perlu membawa tas berat berisi buku teks karena cukup menggunakan satu perangkat digital. Cara berinteraksi juga berubah.

Dengan teknologi, siswa tidak perlu angkat tangan untuk menjawab pertanyaan guru, cukup memasukkan jawaban melalui perangkat digital yang terhubung langsung dengan perangkat guru.

AI juga mereduksi beban kerja guru, seperti dalam menilai tugas dan menganalisis tingkat kesulitan soal serta kemampuan belajar siswa.

Infrastruktur vs Guru

Transformasi ini tentu butuh infrastruktur besar. Pemerintah Korea mengalokasikan ratusan juta dolar untuk menyediakan satu perangkat per siswa, memperkuat jaringan internet sekolah, dan menempatkan tutor digital di setiap kantor pendidikan wilayah (Trade.gov).

Layanan pendukung seperti KERIS (Korea Education & Research Information Service) juga menyediakan platform nasional—mulai dari EDUNET hingga perpustakaan digital—untuk memastikan guru dan siswa mendapat akses konten yang konsisten.

Namun, kunci tetap ada pada guru. Bank Dunia menekankan: Tanpa guru yang percaya diri, AI hanya akan menjadi gimmick teknologi. Pemerintah menyiapkan program pelatihan berskala nasional, bahkan membentuk komunitas praktik profesional agar guru bisa berbagi pengalaman.

Meski begitu, survei The Straits Times menemukan bahwa 98,5 % guru mengaku pelatihan yang diberikan belum cukup menjelang peluncuran buku teks AI. Artinya, ada kesenjangan antara ambisi kebijakan dan kesiapan di lapangan.

Kurikulum AI dan Etika

Ada pula pembahasan mengenai kemungkinan memasukkan AI sebagai mata pelajaran khusus. Di beberapa sekolah, siswa sudah diperkenalkan pada dasar-dasar AI. Di antaranya pembelajaran mesin, persepsi, interaksi bahasa natural, serta diskusi etika tentang deepfake dan privasi.

Sementara itu, riset di KoreaScience menekankan perlunya indeks literasi media era AI agar efektivitas kebijakan bisa diukur secara berkala. Tidak kalah penting adalah tantangan sosial. Misalnya potensi bahaya berkembangnya deepfake di tengah masyarakat.

Studi di jurnal Kosim menyatakan melek media tidak cukup hanya soal “membaca kritis”. Harus ada penguatan kapasitas publik, aturan jelas untuk platform digital, serta penerapan teknologi deteksi yang dapat membantu warga mengenali konten manipulatif.

Korea Selatan tampak ingin memastikan masyarakatnya tidak hanya menjadi pengguna AI, tetapi juga warga digital yang kritis. Dari program KPF, buku teks AI, sekolah percontohan, hingga riset akademik, ada jejak jelas menuju ekosistem literasi media yang komprehensif.

Namun, apakah semua itu akan benar-benar melahirkan generasi yang tahan terhadap disinformasi dan mampu mengendalikan AI—bukan dikendalikan AI—masih menjadi pertanyaan terbuka.

*Photo by Shashank Verma via Unsplash

Artikel lain sekategori:

Komentar Anda?


Topik
Komentar
Materi Kursus