Siswa baru akan menjalani Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) sebelum memulai pembelajaran di sekolah. Isu perundungan terhadap siswa baru biasanya mewarnai pelaksanaan MPLS.
Pelaksanaan MPLS atau pernah populer disebut Masa Orientasi Siswa (MOS) dulu diramaikan dengan beragam perpeloncoan. Misalnya wajib mengenakan atribut-atribut yang tidak mendidik seperti tas karung, aksesoris di kepala yang tidak wajar dan sebagainya.
Itu dulu. Apakah zaman sekarang hal ini masih bisa terjadi?
Bayangkan saat siswa baru diminta membuat konten, baik berupa teks, foto, maupun video, kemudian wajib diunggah ke akun media sosial masing-masing. Syukur bila isinya mengandung pesan-pesan positif, tidak mengumbar data pribadi. Bagaimana kalau isinya mempermalukan siswa?
Di dunia nyata maupun dunia maya, perundungan bisa terjadi. Cyberbullying atau perisakan, perundungan di ranah internet, bukan perkara sepele. Harus ada cara melawannya, atau paling tidak menghindarinya—agar tidak mempengaruhi psikologis atau cara berpikir remaja.
Mulai tahun 2016, segala macam perpeloncoan tidak lagi diperbolehkan dalam MPLS. Apalagi yang menjurus perundungan. Ini ditegaskan dengan terbitnya Permendikbud Nomor 18 Tahun 2016 tentang Pengenalan Lingkungan Sekolah Bagi Siswa Baru.
Aturan ini menjadi panduan dalam pelaksanaan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah atau MPLS. Prinsip-prinsip berikut ini harus ditekankan dalam pelaksanaan MPLS, di antaranya terkait dengan bullying atau perundungan:
1. Mengutamakan aspek pendidikan dan kebermanfaatan
MPLS harus memberikan pemahaman awal mengenai visi-misi, program, dan tata tertib sekolah. Selain itu, kegiatan MPLS juga harus mencakup aspek pembelajaran yang bermanfaat, edukatif, dan kreatif. Dalam MPLS tidak dibenarkan untuk menyuruh siswa menggunakan atribut-atribut yang tidak wajar dan melakukan aktivitas tidak bermanfaat yang tidak ada hubungannya dengan proses pembelajaran di sekolah.
2. Menyenangkan siswa baru
MPLS harus dapat memberikan pengalaman yang menyenangkan bagi siswa baru sehingga bisa mewujudkan peserta didik yang memiliki semangat belajar, produktif, dan penuh rasa tanggung jawab. Dengan pengalaman yang menyenangkan sejak awal, tentu siswa akan terus bersemangat mengikuti pembelajaran di sekolah hingga hari-hari yang akan datang.
3. Menanamkan karakter positif
Satuan pendidikan perlu mengadakan kegiatan MPLS yang dapat menumbuhkan akhlak dan karakter pada peserta didik baru. Hal tersebut juga berkaitan dengan penghormatan pada nilai-nilai kebersamaan, budaya, dan etika yang diterapkan oleh sekolah.
4. Mendorong persamaan hak
MPLS wajib mengedepankan kegiatan yang mengakomodasi kebutuhan semua siswa dengan memegang prinsip persamaan hak. Persamaan hak harus dijunjung tinggi dalam semua kegiatan MPLS.
5. Menjunjung tinggi kesehatan dan keselamatan
MPLS harus melibatkan aspek kesehatan dan keselamatan siswa. Segala upaya harus dilakukan untuk memastikan bahwa siswa berada dalam lingkungan yang sehat, aman, dan bebas dari risiko kecelakaan.
6. Mendorong partisipasi siswa baru
Kegiatan MPLS harus mendorong partisipasi aktif dari siswa baru. Keterlibatan mereka dalam kegiatan MPLS akan membantu menciptakan ikatan yang kuat antar-siswa dan warga sekolah lainnya.
7. Meniadakan tindak kekerasan
Dalam kegiatan MPLS, pihak sekolah wajib memastikan bahwa kegiatan yang dilakukan jauh dari tindak kekerasan, perpeloncoan, dan perundungan (bullying) sehingga MPLS dapat meninggalkan kesan baik pada peserta didik.
Alih-alih berisi perundungan atau perpeloncoan, MPLS harus menjadi ajang positif seperti mengenali potensi diri siswa baru; Beradaptasi dengan lingkungan sekolah dan sekitarnya; Menumbuhkan motivasi, dan cara belajar efektif sebagai siswa baru; Mengembangkan interaksi positif antarsiswa dan warga sekolah lainnya.
Selain itu MPLS juga bisa dimanfaatkan untuk menumbuhkan perilaku positif antara lain kejujuran, kemandirian, sikap saling menghargai, menghormati keanekaragaman dan persatuan, kedisplinan, hidup bersih dan sehat untuk mewujudkan siswa yang memiliki nilai integritas, etos kerja, dan semangat gotong royong pada diri siswa.
Jangan sepelekan perundungan meski terjadi di ranah daring. Bila lingkungan sekolah malah menanamkan nilai-nilai yang salah seperti bebas merundung siswa lain, dampaknya bisa fatal. Kisah Amanda Todd, remaja putri berusia 15 tahun asal Kanada, merupakan salah satu contoh. Kematiannya yang tragis, menyadarkan banyak orang bahwa dampak bullying, tidak main-main.
Tirulah kisah-kisah positif yang sudah ada. Semisal di Gorontalo. MPLS di SMAN 2 Limboto menyampaikan materi tentang Remaja Cakap Digital (Recak Digital) bagi siswa baru. Tidak tanggung-tanggung, 4 instansi terkait didatangkan untuk berkolaborasi. Ada dinas Kesehatan, Dinas Kominfotik, Badan Narkotika Nasional, dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah.
Diskominfotik Provinsi Gorontalo menyampaikan materi “Pemanfaatan Media Sosial Secara Bijak dan Bertanggung Jawab”. Dalam sesi ini dibahas tentang pentingnya remaja memahami 4 pilar literasi digital sebagai panduan di dunia maya.
Keempat pilar ini menjadi penyokong literasi digital Indonesia, yang terdiri dari: Kecakapan Digital (digital skill), Etika Digital (digital etics), Keamanan Digital (digital safety), dan Budaya Digital (digital culture).
*Photo by RDNE Stock project