
Melek media sangat penting pada era informasi belakangan ini, karena memberi kemampuan untuk mengakses, menganalisa, menilai, dan mencipta, serta aktif terlibat dalam era komunikasi yang hampir tanpa batas.
Namun, istilah “melek media” kurang populer dibandingkan dengan “literasi media” atau “media literasi”. Buktinya, pencarian ketiga kata kunci di Google Trends, “literasi media” dan “media literasi” lebih populer dibandingkan “melek media”.
Padahal kita pernah mengenal melek huruf, sebagai tandingan buta huruf. “Melek”, bisa dimaknai melihat, membaca, memahami, atau mampu. Melek media artinya mampu memaknai pesan dalam media, juga mampu mendayagunakan dan memproduksi media sendiri secara etis.
Belakangan ini melek media semakin penting, dengan pesatnya perkembangan teknologi akal imitasi (AI). Maka muncul perluasan istilah, tidak lagi melek media, tetapi mencakup melek media dan informasi. Di dalamnya bisa memuat melek AI.
Tak apalah, jangan bingung. Intinya kita sedang membicarakan barang yang sama, tetapi dengan perluasan seiring perkembangan zaman. Penjelasan tentang daftar kompetensi melek media versi lama bisa Anda baca di sini.
Artikel ini akan membahas apa, mengapa, dan bagaimana sebenarnya melek media, dengan update situasi terkini per 2025. Awalnya adalah banjir informasi—hampir semua orang yang terkoneksi ke internet kini bisa memproduksi medianya sendiri.

Pencarian “melek media”, “literasi media”, dan “media literasi” di Google Trends dalam 12 bulan terakhir (pemutakhiran pada 2021)
Bahkan setelah 5 tahun, tren ini tidak berubah. Kami perbarui lagi datanya pada 2025, dan tren pencarian tentang “melek media” ternyata masih mengkhawatirkan 🙂 Paling tidak, mencarian terkait “media literasi” membaik sejak 2024.

Informasi yang berlimpah menuntut kemampuan mencerap pesan media secara kritis agar bisa membedakan mana yang benar atau tipuan belaka. Di sisi lain, agar tak memproduksi “sampah”, kemampuan membuat media juga harus diasah.
Guru maupun orang tua, di lingkungan sekolah maupun di rumah, menjadi pihak yang pertama kali harus melek media, agar dapat menjadi penuntun bagi anak-anak/muridnya. Terutama sekolah, harus turut mengubah dan mengembangkan cara pandangnya terhadap literasi.
Ini karena sekolah punya banyak ruang untuk membicarakan hal tersebut.
Beberapa ahli dalam video di bawah ini bicara tentang apa itu melek media, dan mengapa ia penting. Mathew Needleman misalnya, menjawab pertanyaan tentang apa yang bisa dilakukan orang tua agar anak-anaknya bisa menjadi melek media.
Mathew mengatakan, anak-anak sebaiknya diajak bicara mengenai media sejak dini. Anak sekarang, sudah lebih sering menonton televisi, bahkan sebelum mereka mengenal baca-tulis. Karenanya penting mendiskusikan mengenai apa yang mereka lihat dan dengar melalui televisi bersama mereka.
Pengertian seputar melek media
Literasi media atau melek media, atau apa?
Istilah yang populer di dunia adalah media literacy. Dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan menjadi literasi media, tapi yang populer “media literasi”. Kata literasi itu sendiri sudah sangat kompleks. Dunia menggunakannya untuk kemampuan dalam “menguasai” sesuatu.
KBBI mencantumkan pengertian kata ini sebagai kata benda yang berarti: Kemampuan menulis dan membaca; pengetahuan atau keterampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu; kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup.
Literasi dalam dunia pendidikan sering dikaitkan dengan kemampuan calistung: Baca, tulis, hitung. UNESCO pun memperkaya definisinya tidak hanya pada kemampuan baca-tulis, tetapi termasuk kemahiran yang memungkinkan warga negara terlibat adalam pembelajaran sepanjang hayat, dan mampu berpartisipasi dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Maka, “literasi media” atau melek media tidak sekadar tentang “membaca media”, tetapi juga “menulis media”, dan “berhitung dengan media”—apapun bentuk medianya. Dengan kata lain, melek media termasuk memahami isinya, mampu menganalisis, dan memproduksinya.
Kata “melek media” hanyalah istilah lain, istilah populer yang ingin membumikan istilah “literasi” agar tak terdengar terlalu saintifik. Pun, kata melek tak diartikan hanya sekadar “melihat”.
Apa yang dimaksud “media”?
Kata “media” dalam melek media atau media literasi dimaksud, bukan sekadar “media massa” seperti koran, majalah, atau televisi, atau media berita di ranah online. Media, kata jamak dari medium, adalah sarana penyampai pesan saat berkomunikasi.
Marshall McLuhan mendeskripsikan kata media sebagai “perpanjangan indera manusia”. Dulu televisi menghadirkan pemandangan dari tempat yang jauhnya ribuan kilometer. Berkat internet, komputer bisa dipakai berkomunikasi, bukan sekadar kalkulator yang hanya bisa dipakai berhitung. Komputer pun jadi media perpanjangan kita untuk melihat, mendengar, memahami kondisi dunia.
Media kini merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan anak-anak kontemporer. Apalagi sejak kehadiran internet, teknologi komunikasi mengalami revolusi besar-besaran. Di sebagian besar negara industri, sejumlah survei menunjukkan bahwa anak-anak menghabiskan lebih banyak waktu untuk menonton televisi daripada di sekolah, atau bahkan untuk aktivitas lain selain tidur.
Jika Anda menambahkan waktu yang mereka curahkan untuk film, majalah, permainan komputer, dan musik populer, jelaslah bahwa media merupakan pengisi waktu senggang yang paling signifikan. Media sekarang telah menggantikan keluarga dan sekolah sebagai kanal sosialisasi utama.
Melek Media di era Akal Imitasi
Artikel kami perbarui karena pada 2025 ini, eranya sudah sangat berbeda bila dibandingkan dengan 2010 saat artikel ini ditulis. Oleh UNESCO, konsepnya pun sudah makin lebar menjadi Melek Media dan Informasi (Media & Information Literacy – MIL).
OECD punya konsep yang lebih spesifik menjurus ke AI: Media & Artificial Intelligence Literacy (MAIL) yang rencananya akan menjadi salahs atu tes tambahan dalam PISA 2029. Isinya mirip MIL dengan perluasan pada isu-isu seputar AI.
Tidak semua anak harus menjadi data scientist atau insinyur AI. Mayoritas akan menjadi pengguna AI. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan harus membekali generasi muda dengan kompetensi universal: Melek AI, fokusnya pemahaman umum, pemikiran kritis, dan kesadaran etis.
Kemampuan berkolaborasi dengan AI secara efektif, misalnya melalui prompt engineering, lebih praktis dan relevan bagi mayoritas siswa. Mereka perlu memahami cara berinteraksi dengan AI secara efektif dan efisien untuk meningkatkan produktivitas dan kreativitas.
Apa semua orang harus jadi ahli media?
Tidak perlu, Anda tidak perlu menjadi seorang ahli media untuk menjadi melek media (dan informasi). Menjadi melek media bukan tentang menjadi ahli, tetapi cukup pada tingkatan “memahami”. Apalagi sekarang informasi juga dipengaruhi oleh keberadaan teknologi AI.
Anda hanya perlu paham, bahwa di setiap pesan yang disampaikan melalui media, ada agenda di baliknya. Memahami agenda tersebut, Anda akan tahu bagaimana menyikapinya secara tepat—secara proporsional. Pun media yang dibuat oleh AI, melibatkan faktor pembentuk pesan.
Karena itu pula, dalam kurikulum pendidikan formal maupun non-formal, melek media dan informasi tidak perlu muncul sebagai mata pelajaran baru. Ia bisa disisipkan dalam berbagai aktivitas pembelajaran dalam mata pelajaran lainnya. Tentu, akan menuntut kemampuan khusus dari guru.
Dalam era teknologi informasi yang berkembang demikian cepatnya, kita membutuhkan informasi untuk bertahan, juga mampu memproduksi informasi dengan benar. Kita harus “masuk” terlibat di dalamnya dalam kehidupan sehari-hari, tetapi harus bisa mengendalikannya.
Kuncinya pada kemampuan berkomunikasi melalui berbagai jenis media. Melek media dan informasi, termasuk melek AI, dibutuhkan di era demokrasi sebagai kemampuan dasar warga negara dalam memilah dan memilih informasi melalui beragam media.
Dengan begitu, warga secara bertanggung jawab dapat memahami media, dan memproduksi medianya sendiri secara tepat. Terutama dengan segala kemudahan yang ditawarkan AI.
*Photo by Esa Oksman from Freeimages
Ooo.. jadi media literacy 2.0 itu seperti yang dijelaskan di paragraf terakhir di atas begitu? Baru tahu saya. 🙂
Kuncinya pada penguasaan informasi… dari berbagai bentuk media. 😀