Beranda  »  Artikel » Media Baru   »   Mencemaskan Kemenangan Marcos Jr.

Mencemaskan Kemenangan Marcos Jr.

Oleh: Melekmedia -- 10 Mei, 2022 
Tentang: , , ,  –  Komentar Dinonaktifkan pada Mencemaskan Kemenangan Marcos Jr.

Disinformasi david gomes 2495160

Kembalinya klan Marcos dari paria ke puncak kekuatan politik Filipina dibangun di atas rentetan misinformasi dan disinformasi di media sosial.

Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr. (BBM), putra mendiang diktator Filipina, itu bakal naik tahta kepresidenan. Pembalikan nasib luar biasa bagi dinasti politik yang 36 tahun lalu digulingkan revolusi “People Power”.

Tuan Marcos Jr meraup sekitar 30 juta suara dibandingkan dengan lawannya, Wakil Presiden Leni Robredo, dengan 14 juta suara. Penghitungan resmi belum selesai tetapi sejumlah prakiraan sudah melihat “hilal” kemenangan putra Marcos satu-satunya itu.

Ia adalah anak kedua Ferdinand Marcos, kelahiran 1957, satu-satunya lelaki dari garis keturunan Marcos yang berkuasa pada 1965 hingga 1986. Bongbong sempat menjadi anggota senat periode 2010-2016.

Marcos Jr berusia 29 tahun ketika keluarganya diasingkan ke Hawaii menyusul revolusi “People Power” yang menggulingkan rezim ayahnya pada 1986. Marcos Sr meninggal tiga tahun kemudian, tetapi keluarga Marcos diperbolehkan kembali ke tanah air pada 1991, lalu kembali berjaya.

Kemenangannya dinilai sebagai kemenangan disinformasi dan misinformasi. Sejumlah pihak menuding Marcos Jr dan “pasukannya” membuat propaganda tentang rezim Sang Ayah sebagai zaman keemasan sembari menutupi pelanggaran HAM dan korupsi.

Jurnalis sekaligus peraih Nobel, Maria Ressa, memperingatkan bahwa kemenangan Marcos Jr. berpotensi menyulut gelombang misinformasi yang berimplikasi pada pemilu di AS dan Brasil tahun ini.

“Jika kami jatuh, ini tidak akan terjadi di Filipina saja,” katanya kepada Haslinda Amin dari Bloomberg TV dalam sebuah wawancara pada hari Senin (9/5/2022) ketika para pemilih mulai mencoblos.

Ia mengingatkan tentang “ekosistem informasi global”. Seperti pada 2016, apa yang terjadi pada pemilu di Filipina adalah efek domino pertama yang disusul dengan kasus Brexit, Trump, Bolsonaro (Brasil).

Kini, siklusnya seperti berulang. Brasil akan mengadakan pemilihan pada bulan Oktober, AS pemilihan senat pada bulan November. “Jadi bila kami jatuh, tunggu saja, [hal yang sama] akan datang pada Anda,” katanya lagi.

Embed from Getty Images

Kampanye Marcos Jr diselimuti hoaks

Misinformasi mungkin hal yang umum terjadi di media sosial di mana-mana, tetapi di Filipina efeknya dinilai bisa sangat merusak.

Facebook dapat digunakan gratis di ponsel, meski akses ke internet yang lebih luas, seperti mengakses TikTok, butuh ongkos.

DataReportal melaporkan setidaknya 36 juta orang Filipina menggunakan TikTok. Sementara data yang sama melaporkan pengguna Facebook mencapai setidaknya 84 juta.

Cara kerja kampanye disinformasi di Filipina, terungkap dalam wawancara radio lokal, yang rekamannya bisa diakses di Facebook khususnya mulai menit ke 1:17:30. Seorang pendengar bercerita bagaimana ia memilih Leni tapi bekerja untuk mesin propaganda Bongbong di media sosial.

Dengan infrastruktur digital yang buruk, data seluler yang mahal, dan kualitas melek media di bawah standar, warga Filipina sering mengalami kesulitan mengakses sumber informasi yang diverifikasi.

Sementara, Filipina belum bisa mengesahkan undang-undang tentang “berita palsu”, saat negara-negara lain tengah memperjuangkan undang-undang untuk mencegah kekacauan informasi.

Tim Pemeriksaan Fakta AFP misalnya, melaporkan telah menyanggah banyak mitos seputar keluarga Marcos, khususnya yang beredar di media sosial. Setidaknya ada lima isu paling banyak dibagikan:

  • Percobaan pembunuhan. Dugaan upaya untuk membunuh Marcos Jr memicu media sosial pada awal Februari, beberapa hari sebelum musim kampanye pemilihan presiden dimulai. Kiriman tentang topik itu dilihat hingga lebih dari tiga juta kali. Padahal, pemeriksa fakta AFP menemukan video itu berusia lebih dari enam tahun.
  • Diabaikan oleh media. Selama kampanye presiden, Marcos Jr menghindari sebagian besar wawancara media dan sebagian besar mengabaikan pertanyaan wartawan di rapat umum. Namun, muncul klaim di media sosial mengklaim dialah yang diabaikan media. Sebuah klip tentang hal itu dilihat lebih dari 23 ribu kali di YouTube, lalu video lain di Facebook yang dibagikan 12 ribu kali dan dilihat 555.000 kali. Tim pemeriksa fakta AFP menemukan berbagai outlet berita telah menayangkan sebagian dari wawancara tersebut, sementara organisasi lain menghasilkan laporan berdasarkan pernyataannya.
  • Zaman keemasan. Halaman-halaman pro-Marcos sejak lama berusaha menggambarkan kediktatoran Ferdinand Marcos (senior) sebagai “zaman keemasan” perdamaian dan kemakmuran, daripada rezim yang kejam dan korup yang membuat negara itu miskin. Bahkan ada klaim Marcos dan nasionalis Filipina Jose Rizal mendirikan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional. Pemeriksa fakta AFP memverifikasi bahwa data ekonomi dari tahun-tahun Marcos menunjukkan fakta yang sangat berbeda.
  • Tidak ada penjarahan. Pengadilan tertinggi Filipina mengatakan pada 2003 bahwa pendapatan sah Marcos dan istrinya yang flamboyan, Imelda, selama 20 tahun berkuasa adalah $304.372,43. Namun lebih dari $658 juta ditemukan di rekening bank Swiss, yang diperintahkan pengadilan untuk dikembalikan kepada pemerintah. Itu adalah sebagian kecil dari $10 miliar yang diperkirakan telah dijarah dari kas negara selama rezim. Tetapi klaim akun Facebook pada 2018 yang dibagikan hampir 9.000 kali menyatakan tidak ada putusan pengadilan tentang Marcos mencuri uang negara.
  • Pelanggaran HAM diremehkan. Sebuah video menyesatkan di Facebook selama kampanye pemilihan 2022 berusaha mengecilkan pelanggaran HAM yang dilakukan selama Marcos berkuasa. Kiriman seperti itu dibagikan lebih dari 3.000 kali dan dilihat 184.000 kali. Faktanya, Amnesty International memperkirakan pasukan keamanan Marcos membunuh, menyiksa, melecehkan secara seksual, memutilasi, atau secara sewenang-wenang menahan sekitar 70.000 lawan politik.

Meski koalisi pemeriksa fakta lokal seperti Tsek.PH menyatakan Marcos Jr. mendapat keuntungan paling besar dari kekacauan informasi tersebut, ia membantah menikmatinya. Kepada wartawan dalam sebuah wawancara, ia keukeuh bilang, “Saya tidak melakukannya.”

Embed from Getty Images

Facebook jadi medan tempur Pro-Marcos

Salah satu medan pertempuran utama tim Marcos adalah Facebook. Sejak Marcos Jr kalah tipis dari Leni Robredo dalam pemilihan wakil presiden 2016, halaman-halaman pro-Marcos gencar menyebarkan misinformasi tentang pemilu.

Mereka pun melakukan propaganda seputar trah Marcos, dari soal kekayaan keluarga hingga pencapaian ekonomi selama pemerintahan ayahnya. Robredo, wakil presiden yang maju dalam pemilihan presiden kali ini, pun jadi target serangan.

Aktivitas meningkat drastis menjelang pemilihan 2022. “Sulit bagi kampanye lain untuk bersaing dengan mesin Marcos secara online, karena ini telah dipersiapkan selama enam tahun,” kata Cleve Arguelles, asisten dosen ilmu politik di Universitas De La Salle di Manila.

Di antara lusinan klaim tentang keluarga Marcos yang dibantah oleh AFP, misalnya, adalah pernyataan bahwa sang patriark memperoleh kekayaannya ketika dia menjadi pengacara melalui pembayaran emas besar-besaran dari seorang klien.

AFP juga memeriksa fakta lusinan klaim palsu atau menyesatkan tentang Robredo, termasuk foto dan video yang dipalsukan yang bertujuan untuk menggambarkannya sebagai orang bodoh, tidak ramah terhadap pemilih, bahkan dituduh komunis.

Setidaknya hampir 75 juta interaksi—reaksi, komentar, atau pembagian—dari seratusan lebih halaman (Facebook Page) pro-Marcos yang masing-masing punya sekitar 3.000 pengikut.

Tak sebanding dengan sekitar 39 juta interaksi untuk jumlah halaman yang sama yang mempromosikan Robredo, demikian menurut data dari platform pemantauan media sosial CrowdTangle.

Ketika Robredo mengumumkan pencalonannya sebagai presiden pada 7 Oktober, interaksi di halaman pro-Marcos melonjak menjadi lebih dari 1,8 juta — sekitar sembilan kali rata-rata harian. Halaman Pro-Robredo menerima 487.000 interaksi.

Sudah sepatutnya bila Indonesia mengantisipasi peristiwa serupa berlaku pada Pemilu 2024 mendatang. Sebagian cirinya sudah bisa dilihat di sini, misal maraknya grup-grup atau page di Facebook yang menyebar hoaks—terutama terkait isu politik.

*Photo by David Gomes

Artikel lain sekategori:

Maaf, Anda tak bisa lagi berkomentar.