Beranda  »  Artikel » Media Baru   »   Pasukan Siber Ancaman bagi Demokrasi

Pasukan Siber Ancaman bagi Demokrasi

Oleh: Melekmedia -- 17 Maret, 2022 
Tentang: , ,  –  Komentar Dinonaktifkan pada Pasukan Siber Ancaman bagi Demokrasi

Pasukan siber Photo by Sora Shimazaki from Pexels

Kampanye strategis dan terorkestrasi oleh pasukan siber yang disponsori elite melancarkan propaganda politik di media sosial. Tujuannya menyetir opini publik ke arah haluan yang menguntungkan mereka.

“Tren pasukan siber ini akan semakin terorganisasi untuk memengaruhi opini publik, perasaan publik, dan itu justru sangat berbahaya bagi demokrasi,” demikian menurut anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia dalam webinar nasional “Refleksi Akhir Tahun 2021 Penegakan Hukum: Peluang dan Tantangan ke Depan”.

Ingatlah peristiwa pada 2017 silam, saat polisi menggulung sebuah jaringan sindikat penebar ujaran kebencian dan SARA bernama Saracen. Tiga orang, yaitu Muhammad Faisal Tanong (MFT, saat itu berusia 42), Sri Rahayu Ningsih (SRN-32), dan Jasriadi (JAS-32), dianggap sebagai biangnya.

Saracen bisa mendulang puluhan juta untuk setiap proyek secara bulanan. Sebuah sosialisasi program kerja wali kota aktif, nilainya mencapai Rp72 juta per bulan. Dana itu untuk keperluan pembuatan desain website, honor “wartawan” dan koordinator serta bayaran untuk buzzer.

Ujaran kebencian dan hoaks tentang penyerangan ulama dan kebangkitan PKI, yang mengungkap kelompok baru, Muslim Cyber Army (MCA), ternyata berkelindan dengan kelompok ini. Kepolisian menemukan bukti bahwa ada admin MCA yang merupakan mantan admin Saracen.

Perkembangan pasukan siber

Pasukan siber bukan isapan jempol

Riset Andhika Kurniawan Pontoh dari Universitas Indonesia yang dilansir akhir 2021 silam, memperkuat bukti keberadaan propaganda ini. Ia meneliti peran aktor propaganda komputasional seperti akun anonim politik, akun palsu dan bot di media sosial yang mampu memobilisasi publik serta meningkatkan kesan di Twitter.

Tema spesifik yang jadi sorotannya adalah tren tagar #BebaskanIBHRS dan #NegaraDamaiTanpaFPI yang dipicu penangkapan ketua Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab (HRS). Kedua tagar “berseberangan” motif, secara masif “bertempur” di Twitter pada 13-14 Desember 2020.

Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa gerakan automasi bot propaganda komputatif sering kali terlihat melalui duplikasi pesan atau retweet di linimasa, sehingga mampu menghasilkan impresi besar dan dijangkau oleh khalayak Twitter.

Tagar #BebaskanIBHRS tampak lebih sukses mengeksploitasi teknologi ini, dibarengi narasi bingkai yang jelas dalam bentuk ajakan langsung, pilihan kata yang mampu membangkitkan emosi, serta aktor-aktor anonim (atau pseudonim) yang lebih aktif dalam memobilisasi.

Meski begitu, wacana membentuk pasukan siber tak surut, atas alasan apapun. Coba tengok berita dengan kata kunci “pasukan siber”. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ingin membentuk pasukan siber untuk memantau perkembangan dunia maya; MUI Jakarta ingin bentuk pasukan siber; Militansi pasukan siber Prabowo-Sandiaga. Itu hanya sedikit contoh.

Semakin canggih memanipulasi opini

Pasukan siber bukan sekadar “pendengung tanpa nama” (buzzer) dan koordinator mereka—akun palsu dan operatornya, Ada juga pesohor (influencer) ternama, yang mendapat imbalan untuk mempromosikan pandangan atau isu tertentu. Biasanya terkait dengan politik.

Terlepas dari kontroversi vonis terhadap para pelaku dalam kasus Saracen, peristiwa ini menjadi bukti nyata upaya memanipulasi isu dan opini lewat media sosial.

Center for International Governance Innovation (CIGI), lembaga pemikir independen non-partisan asal Waterloo, Kanada, mengingatkan bahwa pada 2022 propaganda komputatif masih akan eksis. Mereka setuju manipulasi opini publik di media sosial seperti ini ancaman kritis bagi demokrasi.

Istilah “propaganda komputatif” merujuk pada bentuk manipulasi politik yang muncul melalui internet. Aksinya melibatkan platform media sosial, agen otonom, algoritme, dan data besar (big data) demi memanipulasi opini publik. Model baru ini digadang sedang meningkat di seluruh dunia.

Kemajuan dalam teknologi komputasi, terutama seputar otomatisasi sosial, pembelajaran mesin, dan kecerdasan buatan membuat propaganda komputasional menjadi lebih canggih dan lebih sulit untuk dilacak pada tingkat yang mengkhawatirkan.

Ancaman global terhadap demokrasi

Manipulasi di media baru

Aksi-aksi seperti dalam riset Andhika Kurniawan di atas, tak bisa disebut alami atau organik. Keduanya disetel sedemikian rupa oleh aktor-aktor tertentu. Siapapun mereka, kelompok ini sering mengacaukan narasi, melakukan propaganda untuk menguntungkan pihaknya.

Beragam taktik yang dikembangkan juga tak mudah dilawan. Jika pengelola platform media sosial tidak mengubah bentuknya, kampanye disinformasi akan terus meningkat.

Meskipun banyak nilai baik dalam teknologi yang menganut “desentralisasi konten”, media sosial harus mengedepankan akuntabilitas, transparansi, keadilan, dan desain bersama untuk mengatasi taktik manipulasi media baru ini.

Ancaman manipulasi opini lewat media sosial tergambar dalam laporan Oxford Internet Institute (OII). Sejak 2016 mereka membuat proyek bertajuk “Computational Propaganda Research Project”, memantau gerakan manipulasi media sosial oleh aktor-aktor, baik yang terkait dengan pemerintah berkuasa, maupun kelompok partikelir.

Bisnis besar propaganda komputasional

Inisiatif OII mencoba menginventarisir strategi yang berkembang, alat, dan teknik propaganda komputasional, seperti penggunaan “bot politik” untuk memperkuat ujaran kebencian atau manipulasi informasi, pengambilan data secara ilegal atau penargetan mikro, maupun pengerahan pasukan “troll” untuk menyerang aktivisme politik atau kebebasan pers.

Laporan “Pasukan Cyber Global” pertama menjelaskan manipulasi media sosial oleh pemerintah dan aktor partai politik. Laporan yang dirilis pada 2018 itu menganalisis tren manipulasi yang terorganisir, kapasitas yang kian berkembang, serta strategi dan sumber daya pendukungnya.

Salah satu temuan pentingnya adalah, manipulasi di media sosial ini bisnis besar. Sejak 2010, partai politik dan pemerintah telah menghabiskan lebih dari $500 juta untuk penelitian, pengembangan, dan pelaksanaan operasi psikologis dan manipulasi opini publik di media sosial.

Upaya di beberapa negara barusan termasuk untuk melawan ekstremisme, tetapi di sebagian besar negara upaya ini melibatkan penyebaran berita sampah dan informasi yang salah selama pemilu, krisis militer, dan/atau bencana kemanusiaan yang kompleks.

Temuan lainnya, di 5 dari 48 negara yang diteliti—sebagian adalah negara di belahan bumi bagian selatan—membuktikan kampanye disinformasi beroperasi lewat aplikasi perpesanan seperti WhatsApp, Telegram, atau WeChat. Saat itu, Indonesia absen dari sorotan.

Laporan berlanjut hingga 2020, berjudul “Industrialized Disinformation 2020 Global Inventory of Organized Social Media Manipulation”. Dalam laporan itu, para penulisnya, Samantha Bradshaw, Hannah Bailey, dan Philip N Howard mengungkapkan, keberadaan pasukan siber semakin meningkat.

Tiga tren utama modus pasukan siber

Pada laporan 2020 aktivitas ini teridentifikasi di 81 negara, termasuk Indonesia. Sebelumnya pada laporan 2019 aktivitas pasukan siber “hanya” terdiidentifikasi di 70 negara. Keberadaan mereka tidak mengenal bentuk rezim suatu negara, baik demokratis atau otoritarian.

Laporan OII tersebut mencatat, pasukan siber menyusun strategi dan teknik propaganda di media sosial, memanipulasi konten, mengambil data secara ilegal, hingga mengerahkan pasukan untuk menekan pihak tertentu, semisal aktivis dan pers.

Laporan 2020 mengidentifikasi makin banyak aktor pemerintah dan politisi yang terlibat. Setidaknya ada tiga tren utama dalam kaitannya dengan aktivitas disinformasi.

Pertama, peningkatan aktivitas pasukan siber. Pada 2020, ditemukan bukti dari 81 negara telah menggunakan media sosial untuk menyebarkan komputasi propaganda dan disinformasi tentang politik. Meningkat dibandingkan laporan tahun lalu, ketika “hanya” mengidentifikasi 70 negara.

Kedua, penyalahgunaan platform media/jejaring sosial. Selama setahun terakhir, perusahaan media sosial telah mengambil langkah-langkah untuk memerangi penyalahgunaan oleh pasukan siber. Facebook dan Twitter antara Januari 2019 dan November 2020 mengungkapkan lebih dari 317.000 akun dan halaman telah dihapus. Hampir US$10 juta telah dibelanjakan untuk iklan politik oleh pasukan yang beroperasi di seluruh dunia.

Temuan ketiga, semakin banyak perusahaan swasta terlibat manipulasi kampanye. Dalam laporan 2020, OII menemukan operasi mereka di 48 negara, menyebar propaganda politik. Sejak 2018 sudah ada lebih dari 65 perusahaan yang menawarkan propaganda komputasional. Secara total, hampir US $60 juta dihabiskan untuk mempekerjakan perusahaan-perusahaan ini sejak 2009.

Pelaku di balik pasukan siber

Lembaga pemerintah

Sementara banyak negara telah menunjukkan peningkatan komputasi kegiatan propaganda di media sosial, atribusi ke aktor tertentu tetap tidak mudah. Dalam laporan OII, dikhususkan pada pasukan siber — baik yang melibatkan pemerintah atau partai politik.

Instansi pemerintah makin doyan menggunakan propaganda komputasional untuk mengarahkan opini publik; terdapat di 62 negara. Termasuk dalam kategori ini adalah kementerian komunikasi atau yang berurusan dengan komunikasi digital, militer, atau kepolisian.

Pada laporan 2020, muncul pula temuan tentang media yang didanai negara via lembaga pemerintah. Beberapa negara bagian menggunakan media yang didanai negara sebagai alat untuk menyebarkan propaganda komputasional, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Antara 2019-2020, contoh kegiatan yang dipimpin pemerintah termasuk Polisi Filipina menggunakan Facebook untuk mempengaruhi narasi tentang aktivitas militer melawan terorisme (Gleicher, 2020b). Selain itu konflik dunia maya di Libya, masing-masing membentuk narasi tentang perang saudara yang sedang berlangsung (Kassab & Carvin, 2019).

Contoh media yang didanai negara termasuk Belarusia, ketika pemerintah mengontrol lebih dari enam ratus outlet berita, banyak di antaranya menunjukkan bukti propaganda dan manipulasi.

Partai politik

Adapun kasus di partai politik dan politisi yang menggunakan propaganda komputasional misalnya di Tunisia. Sebuah halaman Facebook tanpa tautan langsung ke kandidat menggaungkan disinformasi dan konten polarisasi menjelang pemilihan suara (Jouini, 2019; Elswah & Howard 2020).

Kasus lainnya penggunaan oleh Michael Bloomberg, seorang kandidat presiden asal Partai Demokrat di AS. Bloomberg menggunakan akun Twitter palsu untuk kampanyenya, mempekerjakan ratusan operator untuk memamerkan dukungan secara artifisial.

Aktor negara yang bekerja dengan perusahaan swasta atau perusahaan komunikasi strategis partikelir ditemukan di 48 negara. Perusahaan tersebut menawarkan propaganda komputasional sebagai layanan. Nilainya sangat menggiurkan: sejak 2009 setidaknya US $60 juta dihabiskan untuk kontrak propagandis partikelir ini.

Penting untuk diingat, jumlah tersebut hanya yang dikonfirmasi laporan: artinya nilai sebenarnya jauh lebih tinggi. Pada periode 2019-2020, contohnya adalah Archimedes Group yang berbasis di Israel, menjalankan beberapa kampanye di seluruh Afrika, Amerika Latin dan Asia Tenggara.

Masyarakat sipil

Aktor lain yang sering jadi pelaku adalah kelompok masyarakat sipil dan influencer. Contoh dari periode 2019-2020 termasuk “buzzer” Indonesia yang menjadi sukarelawan, terlibat kampanye politik selama Pemilu 2019.

Seperti dilaporkan Potkin & Da Costa (2019) di Reuters, seorang pria paruh baya yang belum menikah, terlibat dalam layanan media sosial mendukung kampanye pemilihan kembali Jokowi. Ia menyaru sebagai “Janda”, seorang ibu rumah tangga dengan 2.000 pengikut Twitter.

Dia adalah salah satu pemimpin dari tim “buzzer”, dinamai berdasarkan dengungan media sosial yang ingin diciptakan kelompok tersebut. Mereka bermunculan di Indonesia menjelang Pemilihan Presiden 2019, di negara demokrasi terbesar ketiga di dunia.

“Area pertempuran kami adalah media sosial. Konten yang kami buat untuk pemilu setidaknya mencapai satu juta orang per minggu,” kata pemilik akun “Janda” yang enggan sebut nama kepada Reuters.

screenshot 2022 03 17 at 12.15.14
Penggalan daftar aktor propaganda komputatif di media sosial di 81 negara – Oxford Internet Institute (2021)

Strategi dan taktik pasukan siber

Akun bot yang dikuratori manusia

Pasukan siber memanfaatkan berbagai strategi, alat, dan teknik untuk menyebar propaganda komputasional. Meskipun propaganda bukan hal baru, kemudahan menjangkau teknologi telah mengubah skala, ruang lingkup, dan tingkat presisi penyebaran disinformasi.

Alat digital yang mereka gunakan terus berubah dan beradaptasi disamping inovasi dalam teknologi. OII mengidentifikasi alat dan taktik umum yang digunakan oleh pasukan siber untuk menilai lansekap ancaman.

Misalnya dari jenis akun. Pasukan siber menggunakan akun asli dan palsu untuk menyebar propaganda komputasional ini. Akun ini juga bisa “dikuratori manusia” atau memanfaatkan otomatisasi.

Akun yang diotomatisi (kadang-kadang disebut sebagai bot politik) sering digunakan untuk memperkuat narasi tertentu, di saat yang lain jadi senjata untuk menenggelamkan isu pihak oposisi.

Praktik makin umum adalah penggunaan akun yang dikuratori manusia, dengan menggunakan otomatisasi tingkat rendah. Akun-akun ini tetap terlibat percakapan, atau perpesanan pribadi melalui platform media sosial. Akun macam ini bisa ditemukan di 79 negara.

Jenis lainnya adalah akun hasil peretasan, hasil curian, atau akun peniruan identitas (termasuk grup, halaman Facebook, atau saluran tertentu), yang dikooptasi untuk menyebarkan propaganda komputasional. Namun, temuan tentang jenis akun ini hanya sebagian kecil yang terlibat.

screenshot 2022 03 17 at 14.38.57
Jenis-jenis akun yang terlibat – Oxford Internet Institute (2021)

Empat kategori pola penyampaian

Dari strategi pesan, teridentifikasi empat kategori pola penyampaian. Yang pertama adalah propaganda pro-pemerintah atau pro-partai. Modus ini menggunakan propaganda komputasional untuk memperkuat secara artifisial pesan yang mendukung kebijakan negara atau partai politik.

Sebuah contoh narasi pro-pemerintah dari 2019-2020 antara lain penggunaan akun bot otomatis di Lebanon yang digunakan untuk secara artifisial memperkuat tagar yang mendukung Sekretaris Jenderal Hizbullah (Atallah, 2019).

Jenis pesan dan strategi kedua melibatkan penyerangan terhadap oposisi atau melakukan kampanye kotor. Satu contohnya pasukan siber dukungan China yang menggunakan platform media sosial untuk meluncurkan kampanye kotor melawan pengunjuk rasa pro-demokrasi di Hong Kong (Shao, 2019).

Jenis pesan dan strategi ketiga meliputi menekan partisipasi melalui trolling atau pelecehan. Pasukan dunia maya semakin mengadopsi kosa kata pelecehan untuk membungkam perbedaan pendapat politik dan kebebasan tekan.

Salah satu contoh dari periode 2019-2020 adalah Guatemala “net center” yang menggunakan akun palsu untuk melabeli individu “teroris” atau “penjajah asing”. Mereka juga menarget jurnalis dengan kosa kata yang terkait dengan perang, seperti “musuh negara” (IACHR, 2020).

Keempat, partai politik yang populis menggunakan narasi media sosial untuk mendorong perpecahan dan polarisasi warga. Contoh terbaru termasuk “peternakan troll” di Nigeria, dengan dugaan koneksi ke Internet Research Agency di Rusia.

Peternakan troll ini menyebarkan disinformasi dan konspirasi seputar masalah sosial untuk mempolarisasi wacana daring di Nigeria. Operasi ini diketahui merupakan bagian dari aksi Rusia yang menargetkan warga Amerika Serikat.

screenshot 2022 03 17 at 14.39.26
Model penyampaian pesan – Oxford Internet Institute (2021)

Empat strategi komunikasi pasukan siber

Pasukan siber juga menggunakan berbagai strategi komunikasi. OII mengkategorikan kegiatan ini ke dalam empat kategori. Jenis pertama adalah penciptaan disinformasi atau media yang dimanipulasi. Ini termasuk kreatif “berita palsu”, meme yang dipalsukan, gambar atau video, atau bentuk konten menipu lainnya secara daring.

Tipe kedua melibatkan penggunaan strategi berbasis data untuk membuat profil dan menargetkan segmen tertentu dari penduduk dengan iklan politik. Contoh, Pemilihan Umum 2019 di Inggris. First Draft News mengidentifikasi bahwa 90% iklan Facebook dari Partai Konservatif pada awal Desember 2019 telah dilabeli “menyesatkan” oleh lembaga pemeriksa fakta, Full Fact.

Jenis strategi ketiga yang diadopsi oleh pasukan siber adalah penggunaan trolling, doxxing, atau pelecehan daring. Di 59 negara, OII menemukan bukti bahwa troll digunakan untuk menyerang lawan politik, aktivis, atau jurnalis di media sosial.

Selain serangan trolling, strategi keempat adalah menyensor pernyataan atau ekspresi di media sosial melalui pelaporan massal konten atau akun (RAS – Report as Spam). Postingan aktivis, pembangkang politik atau wartawan dapat dilaporkan oleh jaringan terkoordinasi dari pasukan siber agar sistem otomatis pengelola media sosial menurunkan, atau bahkan menghapus konten yang ditarget.

Dalam laporan OII, di Indonesia belum ditemukan aksi melaporkan akun secara massal atau RAS. Kenyataannya, aksi ini sudah lama dilakukan. Kasus terbaru, serangan ini menimpa akun Twitter @wadas_melawan. Akun perlawanan dari Desa Wadas yang sedang menolak penambangan itu, sempat disuspensi. Setelah dilaporkan, akun tersebut muncul lagi dengan tanda terverifikasi oleh Twitter.

screenshot 2022 03 17 at 15.19.10
Strategi komunikasi – Oxford Internet Institute (2021)

Gambaran kapasitas pasukan siber

Dengan penelusuran secara komparatif terhadap seluruh perilaku, anggaran, alat, dan sumber daya yang digunakan pasukan siber, OII membangun gambaran komparatif yang lebih besar dari kapasitas organisasi global pelaku manipulasi media sosial.

Setidaknya tiga hal yang bisa menggambarkan kapasitas pasukan siber di tingkat global. Pertama, kapasitas pasukan siber yang tinggi melibatkan sejumlah besar staf, dan pengeluaran anggaran yang besar untuk operasi psikologis atau perang informasi.

Kapasitas pasukan cyber tingkat sedang melibatkan tim yang memiliki bentuk dan strategi yang jauh lebih konsisten, melibatkan anggota staf penuh waktu yang dipekerjakan sepanjang tahun untuk mengontrol ruang informasi. Kategori ini berkoordinasi dengan beberapa tipe aktor, dan bereksperimen dengan berbagai macam alat dan strategi untuk manipulasi media sosial.

Adapun kapasitas pasukan siber yang rendah melibatkan tim kecil yang mungkin aktif selama pemilihan atau referendum, tetapi menghentikan aktivitas sampai siklus pemilu berikutnya. Tim berkapasitas rendah cenderung bereksperimen hanya dengan beberapa strategi, seperti menggunakan bot untuk memperkuat disinformasi. Tim-tim ini beroperasi di dalam negeri, tanpa operasi di luar negeri.

Berdasarkan kategorisasi barusan, temuan terbaru (2021) OII menunjukkan kapasitas tim pasukan siber di Indonesia termasuk berkapasitas sedang atau medium.

screenshot 2022 03 17 at 15.19.30
Kategori kapasitas pasukan siber – Oxford Internet Institute (2021)

*Photo by Sora Shimazaki from Pexels

Artikel lain sekategori:

Maaf, Anda tak bisa lagi berkomentar.