Beranda  »  Artikel » Pantau Media   »   Semburan Dusta Peluntur Fakta ala Rusia

Semburan Dusta Peluntur Fakta ala Rusia

Oleh: Melekmedia -- 27 Februari, 2022 
Tentang: , ,  –  Komentar Dinonaktifkan pada Semburan Dusta Peluntur Fakta ala Rusia

Photo by Matti from Pexels

Semburan dusta Rusia berupaya melunturkan fakta. Propaganda ala Rusia dikenal pada 2014 saat negeri itu mencaplok Semenanjung Krimea, Ukraina. Dalam kondisi perang, kebenaran ikut jadi korban.

Banyak rujukan tentang penyembur dusta – atau firehose of falsehood. Versi ringkas ada di NiemanLab, berupa prediksi jurnalisme 2018. Versi lengkap, tentang propaganda Rusia, ada di laman Rand Corporation, sebuah lembaga tangki pikiran asal Amerika Serikat.

Kini, 8 tahun kemudian, Rusia menyerang Ukraina (lagi). Berulang-ulang para pemimpin Negeri Beruang Merah–demikian mitos soal Rusia yang telanjur akrab di telinga–menyebut mereka ingin melucuti Ukraina “sarang Nazi“, dan membebaskan rakyatnya dari penindasan.

Dalam pidatonya pada 24 Februari 2022, Presiden Rusia, Vladimir Putin, menyebut “operasi militer khusus” ke Ukraina bertujuan “melindungi orang-orang” yang telah “menjadi sasaran intimidasi dan genosida… selama delapan tahun terakhir. Karenanya kami akan berjuang untuk ‘demiliterisasi’ dan ‘denazifikasi’ Ukraina.”

Sulit membuktikan klaim tersebut. Delapan juta rakyat Ukraina jadi korban sejak invasi Nazi pada 1941. Tak berdasar pula menyebut para penutur bahasa Rusia di Ukraina sebagai korban genosida; adapun Nazi yang dia maksud adalah pemerintahan sah pilihan rakyat Ukraina secara demokratis.

Bahwa UU tentang bahasa Ukraina mengecewakan beberapa minoritas, tak ada laporan independen yang memverifikasi bahwa telah berlaku genosida terhadap penutur bahasa Rusia. Rezim Putin dipercaya menjalankan agenda kampanye disinformasi untuk memuluskan niatnya.

Fakta alternatif disebar berulang-ulang, di berbagai media, baik media massa maupun media sosial. Pihak berwenang Rusia tampaknya mulai khawatir rakyatnya muak dengan adegan rudal yang meluluhlantakkan Kyiv lalu mengendalikan narasi dengan memelintir kenyataan.

Pemerintah Rusia pun membatasi Facebook dan Twitter, serta mengancam media independen seperti stasiun TV Rain dan surat kabar Novaya Gazeta. Kedua media rupanya nekat menerbitkan laporan berbahasa Rusia dan Ukraina yang intinya menyebut “Rusia sedang mengebom Ukraina”.

Kepala berita itu jelas bikin Rusia murka. Mereka sudah memerintahkan media untuk hanya menggunakan sumber resmi pemerintah dan tidak menggunakan kata-kata tertentu saat menggambarkan “operasi khusus” tersebut. Menurut situs berita Rusia yang berbasis di Latvia, Meduza, di antara kata-kata yang dilarang adalah: “Serangan, invasi, perang.”

propaganda rusia
Propaganda Rusia/Tito Sigilipoe (Beritagar.id)

Perang di darat, udara, laut, dan dunia maya

Selain rudal balistik yang beterbangan, barisan tank melintasi perbatasan, kapal-kapal perang mendekat lewat laut, dan jet tempur serta bomber di udara Ukraina, jaringan media sosial pro-Kremlin meramaikan perang secara daring. Di Telegram, misalnya, kanal seperti “Donbass Insider” dan “Bellum Acta” beraksi memajukan propaganda pro-Rusia.

Beberapa menit setelah ledakan dilaporkan di Donetsk, Odessa, dan Kyiv, pada Kamis (24/2/2022) kanal-kanal tersebut menyediakan detail, gambar, dan video perang secara real time, dalam bahasa Rusia, Inggris, Spanyol, dan Prancis. Mereka mengglorifikasi bagaimana tentara Rusia menuju perang dan rudal mendarat di luar kota-kota besar Ukraina.

Besaran kampanye disinformasi cukup signifikan hingga badan anti-disinformasi Ukraina menyebut aksi di kanal Telegram semacam itu “terorisme informasi.” Meski tidak begitu jelas apakah ini ulah Kremlin—atau hanya para pemuja Putin—mereka mahir menyebar disinformasi ke media sosial, dari Telegram ke Twitter, Instagram, dan situs lainnya.

Sejumlah media melaporkan, telah melihat upaya bersama dari para pemimpin Rusia dan media pendukungnya untuk mendorong narasi palsu seputar alasan invasi ke Ukraina. Pakar disinformasi mengatakan hal itu akan terus berlanjut lantara tekanan internasional semakin kuat. Perlawanan domestik terhadap invasi Putin ini pun makin merebak.

“Kita akan melihat serangan besar-besaran,” kata Jane Lytvynenko, peneliti senior di Pusat Media, Politik, dan Kebijakan Publik Universitas Harvard, Shorenstein Center. Lytvynenko bilang publik harus bersiap atas berbagai disinformasi dan propaganda, termasuk penggunaan gambar dan video otentik untuk mendorong narasi palsu. “Kita harus bersiap untuk itu,” tegasnya dikutip NBC News.

Situasi ini seperti mengulang momen pada 2014, saat Rusia membanjiri internet dengan akun palsu yang mendorong disinformasi tentang pengambilalihan Krimea. Para ahli bahkan menyebut upaya Rusia kali ini sudah jauh lebih canggih.

Pasukan troll dan bot membangkitkan sentimen anti-Ukraina. Outlet media yang dikendalikan negara berupaya memecah belah khalayak Barat. Video TikTok yang cerdas menyajikan nasionalisme Rusia dengan gambar-gambar menggemaskan maupun menggetarkan.

The Associated Press menghubungi sejumlah analis dan melaporkan peningkatan tajam aktivitas daring kelompok-kelompok terafiliasi dengan Rusia. Upaya ini cocok dengan strategi Rusia menggunakan media sosial dan media massa pelat merah untuk menggembleng dukungan domestik sambil berusaha mengacaukan aliansi Barat.

“Itu bisa saja aksi patriotik warga Rusia yang merasa berjuang di jalan yang benar, atau bisa juga sesuatu yang berafiliasi langsung dengan rezim,” kata Nina Jankowicz, peneliti disinformasi dan pakar Eropa Timur di Wilson Center di Washington. “Rusia telah menyempurnakan taktik ini.”

Laporan Cyabra, perusahaan teknologi Israel yang bekerja untuk mendeteksi disinformasi, menyebut ada peningkatan pesat terkait jumlah akun mencurigakan yang menyebarkan konten anti-Ukraina, sekaligus pro-Rusia. Aksi ini bisa ditemukan dalam berbagai bahasa.

Analisis Cyabra menemukan ribuan akun Facebook dan Twitter yang mendadak posting tentang Ukraina. Peningkatan konten anti-Ukraina itu tiba-tiba dan kian dramatis pada hari-hari sebelum invasi. Pada Hari Valentine, misalnya, posting anti-Ukraina oleh sampel akun Twitter melonjak 11.000 persen dibandingkan beberapa hari sebelumnya.

Para analis percaya sebagian besar akun tidak autentik dan dikendalikan oleh kelompok yang terkait dengan pemerintah Rusia.

Namun, kiriman menyesatkan datang dari berbagai sumber, baik yang “resmi” maupaun pengguna media sosial “biasa”, dari kedua belah pihak. Salah satu contohnya adalah kicauan yang diposting oleh akun terverifikasi Kementerian Pertahanan Ukraina.

BBC melaporkan, cuplikan pertempuran udara disertai kapsi “MiG-29 Angkatan Udara (Ukraina) menghancurkan Su-35 yang ‘tak tertandingi’ milik penjajah Rusia”. Sebenarnya, cuplikan itu dari video game Digital Combat Simulator World. Pun, ini bukan pertama kalinya cuplikan permainan digunakan untuk menggambarkan aksi militer.

Pertempuran di dunia maya, mungkin secara langsung tidak menyebabkan korban tewas. Tapi, dalam situasi perang seperti ini, “adu fakta” jadi taktik kedua pihak bertikai, kebenaran pun jadi korban.

123420393 videogame1

Kampanye sampai ke Indonesia

Tak dinyana, narasi pro-Rusia pun kencang di skena media sosial Indonesia. Kicauan berbahasa Indonesia di Twitter, video-video di Tiktok, atau sekadar copas artikel lewat WhatsApp atau Telegram, marak beredar. Sulit memastikan apakah mereka akun orang Indonesia dan menjadi sewaan Kremlin, atau sekadar korban disinformasi sehingga mendukung Rusia.

Temuan kecil berikut tidak bisa menggambarkan keseluruhan upaya kampanye disinformasi Rusia di Twitter Indonesia. Meski begitu, bisa menggambarkan upaya penggiringan opini terhadap invasi Rusia ke Ukraina, sekaligus mendiskreditkan upaya Ukraina dalam mempertahankan kedaulatannya.

Akun @Teuku10677516 di tengah jejaring dalam gambar di bawah ini tampak aktif berinteraksi dengan akun-akun lain, meramaikan isu-isu pro-Rusia. Penelusuran kicauan dilakukan dalam periode sepekan terakhir, per tanggal 26 Februari 2022.

Dari contoh-contoh kicauannya, tampak video warga sipil perempuan yang aslinya berprofesi sebagai guru angkat senjata ikut membela negaranya. Video ini dinarasikan seolah-olah pemerintah Ukraina menumbalkan warga sipil di medan perang.

“Pemerintah ukraina memerintahkan warganya untuk angkat senjata melawan rusia ketika Rusia melawan & membuat mereka terbunuh ,rusia di tuduh membantai warga sipil ! Bagaimana jika rusia di posisi anda,apa yg anda lakukan?”, kicaunya.

Yang lebih unik, akun tersebut juga menyuarakan penderitaan Palestina yang ditindas Israel. Narasi dukungan terhadap Palestina saat ditindas, sementara di sisi lain mendukung Rusia yang sedang menindas Ukraina, tentu bukan kombinasi yang masuk akal.

disinformasi twitter rusia
Dibuat dengan SocioViz

Bisa jadi, gestur positif terhadap Rusia karena nada tak ramah rezim Putin atas Israel. semisal ihwal pendudukan di Dataran Tinggi Golan. Pemerintah Rusia secara resmi menyatakan tidak mengakui kedaulatan Israel di wilayah yang disebutnya “bagian tak terpisahkan dari Suriah”.

“Kami prihatin atas rencana Tel Aviv untuk memperluas aktivitas permukiman di Dataran Tinggi Golan, yang secara langsung bertentangan dengan ketentuan Konvensi Jenewa 1949,” kata utusan Rusia untuk PBB, Dmitry Polyanskiy, beberapa jam sebelum Tuan Putin melancarkan serangan ke Ukraina pada Kamis (24/2/2022).

Pernyataan keras Rusia tersebut menyusul sikap Israel terhadap rencana menginvasi Ukraina. Israel sebelumnya menyatakan siap mengirim bantuan kemanusiaan untuk Ukraina, dan bersedia terlibat dalam dialog dengan mitranya tentang cara untuk memulihkan jalur diplomatik (Ukraina-Rusia).

Israel berkepentingan untuk menjaga netralitas guna mencegah konflik yang akan mempersulit kelanjutan agresinya terhadap Suriah–sementara kekuatan militer Rusia hadir di sana.

Pihak Ukraina tak berkomentar secara resmi, justru nada sangsi mengemuka terhadap kejelasan sikap Israel. Adapun Duta Besar Israel untuk Ukraina menyatakan kepada Haaretz sikap itu “sudah cukup keras dari biasanya“ walaupun tidak eksplisit mengecam Rusia.

The enemy of my enemy is my friend“, mungkin begitu pikir kaum anti-Israel. Lebih baik mendukung Rusia karena sama-sama menentang aksi sewenang-wenang Israel di Timur Tengah. Tapi, bisa saja narasi itu sekadar kamuflase, menyamarkan agenda utama kampanye disinformasi yang disengaja dilancarkan untuk mencemari ekosistem informasi.

Ingatlah, “whataboutism” adalah teknik Rusia yang sudah dipraktikkan pada 2015 sebagai respons atas “dukungan” Barat saat rezim Viktor Yanukovych yang pro-Rusia diruntuhkan rakyat Ukraina (2014). Metode ini dikenal sejak era Uni Soviet, mengalihkan kritik–seperti pelanggaran atau penyensoran HAM–dengan menghadirkan isu lain agar melupakan sorotan ke Moskow.

Operasi whataboutism pada 2015 dilakukan Rusia pada isu kerusuhan di Baltimore, Maryland, Amerika Serikat. Pada 12 April 2015 seorang petugas Kepolisian Baltimore menangkap Freddie Gray (25), warga Afrika-Amerika hingga leher dan tulang belakangnya terluka dan mengalami koma. Pada 18 April, protes besar-besaran terjadi di depan kantor polisi.

Insiden ini lalu dibingkai sebagai “Revolusi Kulit Berwarna: ‘Afromaidan’ menunggu Amerika” oleh saluran TV Vesti 24 milik pemerintah Rusia. Pengguna Twitter pro-Rusia pun membandingkan Kyiv (2014) vs Baltimore (2015). Akun bernama @Afromaidan, misalnya, menyandingkan gambar dari dua kota dengan kutipan Presiden Obama meski di luar konteks.

Kali ini, semburan dusta ala Rusia diprediksi tak berjalan sebagaimana mestinya. Setidaknya begitu menurut Emerson T. Brooking, analis dari lembaga tangki pikiran AS, Atlantic Council. “Menurut penilaian saya, Rusia jelas kalah dalam pertempuran informasi kali ini,” ujarnya.

*Photo by Matti from Pexels

Artikel lain sekategori:

Maaf, Anda tak bisa lagi berkomentar.