
Kelompok kejahatan siber terorganisir transnasional di Asia Timur dan Tenggara memperluas operasinya ke luar kawasan merespons peningkatan tekanan penegak hukum. Temuan ini dimuat dalam laporan Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC) per 21 April 2025.
Laporan berjudul “Inflection Point: Global Implications of Scam Centres, Underground Banking and Illicit Online Marketplaces in Southeast Asia” mengungkap bagaimana sindikat kejahatan Asia beradaptasi dengan represif penegakan hukum melalui ekspansi geografis yang agresif.
“Kami melihat ekspansi global kelompok kejahatan terorganisir Asia Timur dan Tenggara,” kata Benedikt Hofmann, Perwakilan Regional UNODC untuk Asia Tenggara dan Pasifik.
Menurutnya, ekspansi ini mencerminkan perluasan alami seiring pertumbuhan industri dan upaya mereka mencari cara baru untuk berbisnis. Diperlukan strategi “lindung nilai” terhadap risiko masa depan jika gangguan terus berlanjut dan intensitasnya meningkat di kawasan.
Kompleks penipuan terkenal di zona ekonomi khusus (SEZ) dan perbatasan—di Kamboja, Laos, Myanmar, dan Filipina—kini pindah setelah ditarget penegak hukum. Alih-alih menghilang, operasi ini kembali, bahkan meluas hingga ke Afrika, Asia Selatan, Timur Tengah, dan sejumlah pulau Pasifik.
Evolusi Kejahatan: Era “Crime-as-a-Service”
Laporan UNODC mengidentifikasi transformasi signifikan dalam cara kelompok kriminal beroperasi. Mereka kini berevolusi menjadi aktor ancaman siber yang lebih canggih, didukung oleh:
- Jaringan pencucian uang melalui mata uang kripto dan perbankan bawah tanah
 - Pasar online gelap yang memfasilitasi perdagangan data curian
 - Teknologi deepfake dan AI untuk penipuan yang lebih sophisticated
 - Malware dan layanan kejahatan digital yang tersedia sebagai “crime-as-a-service”
 
Pasar online gelap baru memungkinkan para pelaku kejahatan untuk bertemu dan menjalankan bisnis mereka secara bebas, mengadopsi inovasi teknologi sophisticated yang memungkinkan mereka beradaptasi dengan tindakan represif.
Menurut estimasi terbaru UNODC, ratusan pusat penipuan skala industri meraup US$40 miliar per tahun. Kesuksesan mereka didorong kemampuan mencuci uang melalui mata uang kripto dan perbankan bawah tanah, mengumpulkan hasil kejahatan dan menyusup ke sistem perbankan global.
Penyebaran jaringan kriminal sophisticated ini ke area dengan tata kelola paling lemah telah menarik pemain baru, diuntungkan oleh dan memicu korupsi, serta memungkinkan industri ilegal terus berkembang dan terkonsolidasi.
Integrasi kecerdasan buatan generatif telah mengubah lanskap kejahatan siber secara dramatis. Kompleks penipuan di Asia Tenggara kini menggunakan AI generatif untuk mengoperasikan chatbot multibahasa, memungkinkan satu penipu berinteraksi dengan banyak korban secara bersamaan.
Terjadi peningkatan lebih dari 600% dalam penyebutan konten terkait deepfake yang menargetkan kelompok kriminal di Asia Tenggara pada paruh pertama tahun 2024.
Kelompok kriminal menggunakan AI untuk menciptakan identitas digital palsu yang lengkap dengan foto, konten media sosial, KTP palsu, dan jejak digital online untuk meyakinkan korban bahwa mereka nyata dan dapat dipercaya.
“Integrasi kecerdasan buatan generatif oleh kelompok kriminal transnasional yang terlibat dalam penipuan berbasis siber adalah tren yang kompleks dan mengkhawatirkan,” kata John Wojcik, Analis Regional UNODC.
“Perkembangan ini tidak hanya memperluas cakupan dan efisiensi penipuan berbasis siber; tetapi juga menurunkan hambatan masuk bagi jaringan kriminal yang sebelumnya tidak memiliki keterampilan teknis.”
Platform seperti Telegram menjadi pusat penyedia layanan kejahatan siber yang menawarkan berbagai tools ilegal, dari pengumpulan data, malware-as-a-service, hingga alat penipuan berbasis AI. Ekosistem ini memungkinkan bahkan peretas pemula untuk melakukan kejahatan siber tanpa keahlian khusus.
Pelaku kejahatan menggunakan “phishing kits” atau platform siap pakai—berupa website berbahaya dan template email—untuk mengirim ribuan bahkan jutaan phishing. Mereka juga memanfaatkan botnet, jaringan komputer terkendali terinfeksi malware dan menyebarkannya secara massal.
Rekomendasi UNODC
Yang mengkhawatirkan, keterlibatan kelompok kriminal dari bagian lain dunia juga meningkat. Studi ini mengungkap tidak hanya ekspansi dan akselerasi operasi penipuan siber, tetapi juga sinergi baru yang terbentuk antara kelompok kriminal dan semakin banyak penyedia layanan serta inovator yang baru-baru ini ikut terlibat.
“Konvergensi antara akselerasi dan profesionalisasi operasi-operasi ini di satu sisi dan ekspansi geografis mereka ke bagian baru kawasan dan seterusnya di sisi lain menghasilkan intensitas baru dalam industri ini—yang perlu disiapkan oleh pemerintah,” tegas Hofmann.
Saat pelaku ilegal dari kawasan dan sekitarnya menjadi pemimpin dalam penipuan berbasis siber, pencucian uang, dan perbankan bawah tanah di pasar global, dampaknya dirasakan di seluruh dunia.
Laporan ini, yang merupakan bagian dari serangkaian analisis ancaman regional yang diproduksi UNODC, menyediakan daftar rekomendasi. Di antaranya penguatan pengetahuan dan kesadaran.
UNODC menekankan pentingnya meningkatkan pemahaman tentang modus operandi kejahatan siber yang terus berevolusi.
Ini termasuk edukasi publik tentang taktik penipuan terbaru, pola rekrutmen korban perdagangan manusia untuk kerja paksa dalam kompleks penipuan, serta kesadaran akan teknologi baru seperti AI dan deepfake yang digunakan pelaku kejahatan.
Rekomendasi khusus untuk penghancuran arus keuangan kejahatan, melalui:
- Peningkatan koordinasi intelijen keuangan antar negara untuk melacak aliran dana ilegal
 - Penguatan investigasi keuangan dengan fokus pada pembekuan dan penyitaan aset hasil kejahatan
 - Kolaborasi regional dan internasional dalam pemulihan aset (asset recovery) lintas batas
 - Pengawasan ketat terhadap penyedia layanan aset virtual (VASP) dan platform kripto yang digunakan untuk pencucian uang
 
UNODC juga merekomendasikan penguatan kerangka hukum yang mencakup:
- Regulasi lebih ketat terhadap zona ekonomi khusus (SEZ) yang rentan disusupi jaringan kriminal
 - Penutupan celah hukum dalam skema “citizenship by investment” yang disalahgunakan pelaku kejahatan untuk menghindari penangkapan
 - Perlindungan data pribadi dan infrastruktur digital yang lebih kuat
 - Undang-undang anti-pencucian uang yang lebih ketat dengan fokus pada mata uang kripto
 
Di tingkat operasional, rekomendasi UNODC mencakup:
- Penguatan kerja sama penegakan hukum lintas batas melalui mekanisme seperti Emergency Response Network (ERN) yang telah menunjukkan hasil positif
 - Peningkatan kapasitas investigasi digital untuk menghadapi kejahatan siber yang semakin sophisticated
 - Koordinasi dengan sektor swasta, terutama perusahaan teknologi dan penyedia layanan komunikasi, untuk mencegah penyalahgunaan platform mereka
 - Operasi penyelamatan korban perdagangan manusia yang dipaksa bekerja di pusat penipuan
 
Pendekatan Regional ASEAN
Laporan ini dibangun di atas Roadmap Kerja Sama Regional ASEAN untuk Mengatasi Kejahatan Terorganisir Transnasional dan Perdagangan Orang yang Terkait dengan Kasino dan Operasi Penipuan di Asia Tenggara.
Temuan-temuan laporan ini telah dipresentasikan kepada pembuat kebijakan, lembaga penegak hukum, mitra internasional, akademisi, dan ahli lainnya, dengan tujuan mendorong dialog dan memajukan upaya untuk mengatasi kejahatan terorganisir secara lebih efektif.
“Konvergensi antara profesionalisasi operasi-operasi ini dan ekspansi geografis mereka menghasilkan intensitas baru dalam industri kejahatan siber—yang perlu disiapkan oleh pemerintah dengan respons yang terkoordinasi dan komprehensif,” tutup Benedikt Hofmann.
*Photo by FlyD via Unsplash

        
        
        
        

