Beranda  »  Artikel » Media Baru   »   Bisnis Amis di Panggung OnlyFans

Bisnis Amis di Panggung OnlyFans

Oleh: Melekmedia -- 25 Maret, 2022 
Tentang: , ,  –  Komentar Dinonaktifkan pada Bisnis Amis di Panggung OnlyFans

OnlyFans Shutterstock

Sorotan demi sorotan tak menyurutkan bisnis OnlyFans. Media sosial ini populer berkat pekerja seks yang pindah lapak tersebab pandemi. Benarkah ia untuk memajang konten-konten pornografi berbayar?

Nama OnlyFans ramai (lagi) lantaran kasus penangkapan kreator asal Indonesia yang populer dengan nama Dea OnlyFans. Lewat pemberitaan, pihak manajemen Dea membenarkan penangkapan tersebut.

Polisi menyebut penangkapan Dea bermula dari patroli siber oleh timnya. “Iya (ditangkap) dari patroli siber,” kata Dirkrimsus Polda Metro Jaya Kombes Auliansyah Lubis kepada Detikcom, Jumat (25/3/2022). Ia ditangkap sehari sebelumnya di Malang, Jawa Timur.

Kombes Auliasyah hanya bilang Dea ditangkap karena konten video porno. Ia belum menjelaskan apakah konten dimaksud beredar di OnlyFans atau platform lainnya.

Dea yang sebelumnya populer di Instagram, Twitter dan kanal siniar Deddy Corbuzier, disebut-sebut kerap membagikan foto diri setengah telanjang dan foto-foto cosplay atau berbalut kostum tertentu.

Berdasarkan pengakuannya kepada Deddy, perempuan 20-an tahun asal Malang ini awalnya iseng, ingin tampil dengan cosplay dan menyukai berpose seksi. Akun Dea kini sudah punya ratusan pelanggan.

Dea bukan satu-satunya yang populer di panggung itu. The Connell Twins, Youtuber blasteran Australia-Indonesia yang tinggal di Australia, juga “sukses” menjual konten seksi lewat OnlyFans.

Apakah OnlyFans panggung konten pornografi? Pada dasarnya media sosial ini tidak khusus untuk konten dewasa. Ia mempromosikan diri sebagai “platform berlangganan konten”.

Pengguna bahkan dapat ngobrol dengan idolanya, bila mampu bayar. Dengan audiens lebih dari 150 juta, OnlyFans ingin memonetisasi segala konten. Termasuk pornografi.

konten positif kominfo onlyfans
Tangkapan layar hasil pencarian domain onlyfans.com di situs trustpositif.kominfo.go.id

Sejak aktif pada 2016, OnlyFans yang berbasis di London, Inggris, mengklaim secara rutin membayar $5 miliar atau sekitar Rp72 triliun per tahun kepada para pembuat konten yang menerbitkan video, gambar, dan/atau tulisan.

Konten berbau pornografi bukan daya tarik satu-satunya. Sejumlah selebriti, musisi, dan akan terus bertambah, memanfaatkan OnlyFans untuk menjual konten eksklusif—meski bukan NSFW (konten khusus dewasa).

Sebut saja Angelina Renee White (Blac Chyna). Ia adalah bintang acara reality show di Amerika Serikat, pengusaha, juga model. Dari konten ekslusif di akun OnlyFans, Chyna menghasilkan $20 juta per bulan dari biaya berlangganan $19,99. Pengikutnya sekitar 16 juta di panggung itu.

MrQ, situs web perangkat lunak game yang berbasis di Inggris, pernah menelusuri pendapatan pengguna OnlyFans. Menurutnya, penghasilan mereka lebih baik dari para dokter, pengacara, atau guru. Ini sudah dikurangi komisi 20 persen untuk OnlyFans.

Platform ini naik daun setelah pekerja seks pindah lapak ke situs tersebut, lantaran sulit beroperasi selama pandemi Covid-19. Di Indonesia, lonjakan minat terhadap topik OnlyFans dalam setahun terakhir berkat penampilan Dea di siniar Deddy Corbuzier, pada 9 Maret 2022.

screen shot 2023 02 01 at 11.13.30

Bisnis amis di OnlyFans

Maraknya tontonan pornografi eksplisit berbayar memicu sorotan pada OnlyFans. Pada Agustus 2021, merekapun mengumumkan rencana untuk melarang konten seksual eksplisit dipublikasikan di panggungnya. Tapi seminggu kemudian niat itu batal, karena kontroversi malah makin besar.

Pendiri dan CEO OnlyFans, Timothy Stokely, awalnya menyalahkan pihak bank atas larangan tersebut. Ia mengaku mendapat tekanan dari bank bila platform-nya menampilkan konten seksual eksplisit. Panggung berbayar membutuhkan peran bank untuk memproses transaksi di situs.

Kebijakan itu batal lantaran munculnya reaksi keras dari pekerja seks dan pihak lain yang menggunakan situs tersebut untuk mencari nafkah. Lewat kicauan di Twitter, OnlyFans pun berdalih:

“Kami telah mendapat jaminan yang diperlukan untuk mendukung komunitas pembuat konten yang beragam dan menangguhkan perubahan kebijakan yang rencananya berlaku 1 Oktober 2021.”

Majalah The Economist menyebut bisnis ini “sebuah revolusi untuk pekerja seks”. Pada 2020 lalu mereka pernah menulis bagaimana potensi OnlyFans dalam menghasilkan uang bagi kreatornya. Oh ya, di OnlyFan ada dua kategori “pengguna”: Kreator dan Penonton.

Agar sukses mendulang uang di OnlyFans tidaklah mudah. The Economist mengisahkan seorang ibu 33 tahun yang akhirnya sukses di OnlyFans setelah bertualang dengan konten “panas” di majalah serta program acara tengah malam di televisi.

Menurut Brooks, demikian namanya, produksi konten di OnlyFans harus disiplin bak tentara. Setiap hari harus punya tema berbeda, sesuai tren yang sedang hangat. Jadwalnya pun ketat, menjaga penggemar tetap aktif terlibat. Ia beberapa kali berpose dengan pakaian dalam, sebelum orang mulai bosan, bahkan rela berpose topless, tapi tidak lebih.

Brooks percaya bahwa ia sukses menjual kontennya bukan semata karena “penampilan tubuh”. Ia memilih kesimpulan bahwa kesuksesannya di OnlyFans karena profesionalisme belaka. “Saya memperlakukannya sebagai sebuah bisnis,” kata dia.

OnlyFans profil web
Tangkapan layar dari situs resmi OnlyFans, tentang cara kerja OnlyFans

Meski ada yang sukses, hitungannya tetap minoritas. Sebagian yang sukses itu mungkin bisa mendapat penghasilan ratusan ribu dolar per bulan. Tapi bila menghitung semua pembuat konten yang ada, perkiraannya sekitar $180 per bulan. Hitungan itu dipublikasikan dalam sebuah blog pada 2020.

Dalam sebulan, pendapatan tertinggi Brooks bisa mencapai £30.000. “Itu benar-benar kerja banting tulang. Duitnya luar biasa, tapi berat secara mental,” katanya kepada The Economist.

Bukan hanya soal bisnis seks, pekerja panggung (gig worker) seperti ini memang kontroversial. Banyak indikasi ketidakadilan, eksploitasi dan masalah di sekitar tempat kerja serta yang terkait keselamatan dan kesehatan kerja.

Di sisi lain, pengelola platform cenderung menghindari tanggung jawab. Mereka mengalihkan risiko kepada pekerja, dengan memposisikan diri mereka secara legal “hanya” sebagai perantara antara pelanggan dan penyedia layanan.

Bukan hanya di OnlyFans, model bisnis yang buram di mata hukum membuat pekerjanya rentan dari sengketa. Kreator sebagai penyedia layanan, dan konsumen yang membayar layanan tersebut, idealnya diatur hukum, agar bila muncul sengketa, urusannya jadi jelas.

“Ikatan kerja” seperti di OnlyFans, belum dijangkau oleh hukum di sejumlah negara, khususnya di Indonesia. Ambil contoh ojek online (ojol). Keberadaan ojek online masih menimbulkan perdebatan, apakah statusnya merupakan pekerja atau mitra.

Menurut putusan Supreme Court UK (Inggris Raya) pekerja ojek online yang juga disebut gig worker telah diputuskan statusnya sebagai “pekerja”. Hasil penelitian menunjukkan peraturan perundang-undangan Indonesia belum dapat mengakomodir keberadaan ojol sebagai pekerja.

Perjanjian kerja sama antara perusahaan aplikasi dan mitra pengemudi ojol bukanlah perjanjian kerja karena tidak terdapat unsur upah. Perjanjian tersebut berupa kemitraan dengan pola bagi hasil.

Nasib Dea, bisa setali tiga uang dengan para ojol. Ia bisa dituntut secara hukum, bahkan masuk penjara. Sementara, platform yang turut menikmati 20 persen dari yang ia hasilkan, tak perlu berbuat apa-apa. Nama OnlyFans mungkin ada dalam tuntutan, tapi tak terjamah oleh hukum Indonesia.

Belum jelas benar kasus apa yang diperkarakan. Sejumlah sumber menyebut ada kompilasi video porno yang melibatkan Dea beredar di internet. Apakah video tersebut termasuk kontennya di OnlyFans, juga masih misteri.

*Foto dari charnsitr/Shutterstock.com

Artikel lain sekategori:

Maaf, Anda tak bisa lagi berkomentar.