Beranda  »  Artikel » Media Baru   »   Jangan Abai Indikasi Bunuh Diri di Medsos

Jangan Abai Indikasi Bunuh Diri di Medsos

Oleh: Melekmedia -- 7 Maret, 2022 
Tentang: , , ,  –  Komentar Dinonaktifkan pada Jangan Abai Indikasi Bunuh Diri di Medsos

Kesehatan mental Photo by SHVETS production from Pexelspexels shvets production 7176325

Kasus bunuh diri dan disiarkan lewat media sosial (medsos) ditengarai kian marak di berbagai negara. Meski masih misterius kenapa korban memilih cara itu, upaya pencegahan harus tetap berjalan.

Warga Palembang dibuat heboh karena seorang pemuda yang tewas dan menyiarkan dirinya secara langsung di akun Instagram. Korban berinisial EF (23) ditemukan tak bernyawa di ruang tamu kontrakannya, Sabtu, 5 Maret 2022.

Teman korban sempat menyaksikan korban melalui akun Instagram tersebut. Teman berinisial ND ini pun mengontak teman lainnya, NV, untuk mengecek langsung ke rumah kontrakan EF. Sampai di TKP, saksi NV melihat korban sudah meninggal dunia.

Aksi seperti ini bukan pertama kalinya terjadi, khususnya di Indonesia. Dalam sejumlah pemberitaan, bisa ditemukan aksi-aksi serupa jadi kepala berita. Jika Anda merasa atau memiliki teman yang menunjukkan gejala keinginan untuk bunuh diri, jangan ragu untuk mencari bantuan.

Terdapat sejumlah pihak yang menawarkan bantuan, misalnya Komunitas Yayasan Pulih yang bisa dihubungi lewat Instagram di @yayasanpulih dan email di [email protected], atau menghubungi Hotline Kementerian Kesehatan di nomor 1500-567. Dapat pula menghubungi Into The Light Indonesia, komunitas pencegahan bunuh diri dan kesehatan jiwa di Indonesia.

Kasus bunuh diri di Indonesia pada 2019 versi WHO adalah 6.544 setahun, dengan rasio 2,6 orang per 100 ribu penduduk, berdasarkan data yang distandarisasi menurut usia. Pada periode itu, rasio global mencapai 9,0 per 100 ribu penduduk, di antara 2-80 kematian per 100 ribu penduduk. Tidak dijelaskan adakah yang melibatkan media sosial dalam prosesnya.

Catatan di media daring mengungkap di Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan, pada 24 Agustus 2019, seorang pria berinisial DI melakukan bunuh diri di kamar indekosnya dan disiarkan langsung di akun Instagram. Kasus ini heboh keesokan harinya setelah video rekamannya beredar luas.

Pada 2 September 2021, seorang pria menyiarkan aksi bunuh dirinya secara langsung dari Jatinegara, Jakarta Timur, melalui media sosial TikTok. “Aksi itu pertama kali diketahui dari teman korban yang menonton live TikTok korban. Kita langsung datangi lokasi kejadian,” kata polisi di Kompas.com.

Selang dua hari, dari Kota Bitung, Sulawesi Utara, pemuda berinisial BS (17), bunuh diri dengan menyiarkan langsung lewat Facebook (4 September 2021). Korban sempat mengirim pesan via WhatsApp kepada temannya, menuliskan permintaan maaf. Sang Teman yang melihat video korban hendak bunuh diri, langsung menuju rumah korban. Sayang, ia terlambat.

Aksi ini pun sempat jadi “bahan” postingan penyanyi dangdut Aida Saskia. Ia menyiarkan upaya bunuh diri di Live Instagram, Desember 2019 silam. Kecaman lalu ramai dialamatkan kepadanya ketika Sang Manajer mengungkap aksi tersebut cuma prank alias lelucon belaka.

“Lelucon” yang sama sekali tidak lucu itu sempat dikecam dan disayangkan banyak pihak, apalagi pelakunya adalah figur publik. Namun, Aida kemudian mengklarifikasi aksi tersebut bukan lelucon.

Belakangan Aida mengakui aksi tersebut ia lakukan karena sedang kalut, merasa tidak berguna, depresi dan ingin segera mengakhiri hidup. Ia bilang sedang banyak masalah, ditambah klaim mengidap penyakit bipolar selama 15 tahun terakhir.

“Mungkin saat itu situasinya sangat sulit untuk mengatakan apa, atau bicara apa ke media yang bertanya. Spontanitas muncul ide kata ‘prank’ dari Riko yang sudah menyelamatkan nyawa saya,” kata pedangdut berusia 36 tahun di akun Instagram-nya kala itu.

Aktivis dan pendiri komunitas Into The Light Indonesia, Benny Prawira, mengingatkan untuk fokus memberikan bantuan. Walaupun ada klaim prank atau candaan, yang penting baginya tidak ada nyawa yang hilang. Karena, kalau ternyata benar, kecaman dan ejekan bisa membahayakan.

Fenomena bunuh diri di depan publik

Mengapa bunuh diri ditayangkan ke publik? Sejumlah riset mencoba menjelaskan. Sebelum itu, mari tengok kasus yang jadi sorotan dunia. Pertama, tragedi Amanda Todd yang mengirim video di YouTube untuk menceritakan pengalamannya diperas untuk mengekspos ketelanjangan, lalu diintimidasi bahkan diserang secara fisik.

Amanda tidak menayangkan secara langsung, tetapi pada 7 September 2012 membuat “catatan bunuh diri” yang kemudian viral setelah ia ditemukan meninggal dunia pada 10 Oktober 2012. Kisah tragisnya menjadi catatan penting tentang bahaya bullying, dan pemerasan menggunakan foto/video (sextortion), yang berujung serangan fisik.

Kisah tragis lainnya adalah bunuh diri saat siaran langsung di televisi: Christine Chubbuck, penyiar televisi perempuan berusia 29. Dua film oleh aktor berbeda, “Kate Plays Christine”, dan “Christine”, mengisahkannya pada 2016. Kebetulan ini meramaikan Festival Film Sundance 2016, yang menyertakan kedua film dalam ajang tersebut — satu masuk kategori dokumenter, yang lain narasi.

Pagi itu, 15 Juli 1974, Christine tiba di Channel 40, WXLT, stasiun televisi lokal di Florida, Amerika Serikat. Keanehan diawali dengan keputusannya mengubah urutan penayangan acara Suncoast Digest, yang tetiba dimulai dengan berita penembakan, alih-alih wawancara seperti rencana semula.

Tak satu pun rekan Christine—seorang direktur teknis, pembawa acara pria rekannya di panggung, dan dua kamerawati—mempertanyakan perubahan itu. Acara tayang seperti biasa pada pukul 09.30 waktu setempat.

Beberapa menit kemudian tim mengalami kendala teknis. Materi video yang sebelumnya telah direkam, gagal tayang. Beberapa saat mengalami kekosongan, Christine kembali tayang dengan naskahnya sendiri:

“Sesuai kebiasaan WXLT menayangkan secara cepat dan lengkap berita lokal paling berdarah,” kata dia, “TV40 mempersembahkan—untuk pertama kalinya, tayangan eksklusif dalam warna aslinya—sebuah percobaan bunuh diri,” imbuhnya.

Christine lalu mengambil revolver Smith & Wesson kaliber .38 dari tas tempat dia menyimpan boneka — yang digunakannya untuk menghibur anak-anak cacat intelektual di rumah sakit setempat — dan menembak dirinya sendiri di belakang telinga kanan. Ia pun dikonfirmasi meninggal dunia meski sempat dibawa ke rumah sakit.

Ribuan pemirsa menyaksikan bunuh diri yang tayang on air—secara langsung itu. Mungkin perkara bunuh diri pertama yang ditayangkan ke publik, lewat media massa. Hingga saat ini tidak ada rekaman video yang beredar. Diduga kuat pihak keluarga telah meminta penghancuran semua rekaman tragedi tersebut, meski belakangan ada yang mengklaim menyimpan rekamannya.

Tapi mengapa Chubbuck nekat melakukan itu? Kedua film tidak memberikan jawaban yang mudah. Christine tidak meninggalkan “catatan bunuh diri” atau kata-kata terakhir yang menjelaskan alasan di balik pilihannya itu. Spekulasi meruap ada kekecewaan pada kebijakan yang mengandalkan berita penuh-darah untuk mengejar rating.

Koleganya di stasiun TV WXLT pernah menggambarkan bagaimana Christine tidak menyukai pemberitaan “berdarah-darah” demi rating acara televisi. Dia ingin fokus pada konten yang lebih sehat. Namun, Sang Direktur ngotot mengejar rating, dan “darah” adalah cara mencapainya.

Christine Chubbuck dilaporkan mengalami depresi dan memiliki kecenderungan bunuh diri, yang pernah dia bicarakan bersama keluarganya. Beberapa minggu sebelum kematian, Christine menemui psikiater. Ibunya tidak memberitahu tempatnya bekerja, khawatir putrinya akan dipecat.

Pada usia 29, Christine belum menikah. Ia disebut punya masalah dalam hubungan sosial. Meskipun perempuan masa kini (mungkin) tidak mengalami tekanan untuk menjalin hubungan romantis, Christine hidup di era yang berbeda. Dia diledek sebagai “perawan tua” di lingkaran teman dan keluarganya, sebuah gelar yang sangat ingin dia ubah.

Kegalauan Christine disebut berkontribusi besar pada ketidakstabilan mentalnya. Dia mengalami depresi, tetapi ada kesimpangsiuran soal kondisinya. Beberapa percaya dia memiliki serangkaian gangguan kesehatan mental yang tidak terdiagnosis, mulai dari bipolar hingga Asperger.

Setahun sebelum bunuh diri, Christine dilaporkan menjalani operasi pengangkatan salah satu indung telurnya. Dokter memberitahu kesempatannya kecil untuk bisa hamil, dan karena usianya menjelang 30, waktu pun kian menipis. Kondisi yang diyakini semakin memperburuk kesehatan mentalnya.

Perlu membangun kesadaran publik

Bunuh diri yang disiarkan secara langsung menjadi masalah kesehatan masyarakat di banyak negara. Sebuah penelitian tentang kesehatan mental yang terbit pada 2020 menyebut siaran atau streaming bunuh diri secara online diduga adalah sebuah bentuk “teriakan minta tolong”.

Namun, ketika orang berasumsi bahwa orang lain akan mengambil inisiatif untuk berbuat sesuatu, mereka tidak melakukan apa-apa. Hal itu makin merusak kepercayaan korban dan menambah ketidakberdayaan mereka.

Penelitian itu menyatakan masih sulit menemukan bukti ihwal insiden bunuh diri setelah posting Facebook dan/atau sambil siaran langsung di Facebook, di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Mengeksplorasi tren dan fenomena bunuh diri setelah posting Facebook dan live streaming di Bangladesh hingga 2019, mereka menemukan ada masalah hubungan, stres akademik, dan gangguan mental sebagai penyebab umum. Meski, temuan awal riset ini masih butuh pendalaman.

Dalam penelitian ditemukan 19 orang melakukan bunuh diri—baik setelah posting di Facebook yang mengungkapkan niat untuk bunuh diri, atau melakukan bunuh diri secara langsung. Empat orang korban menggunakan Facebook untuk menyampaikan berbagai masalah pribadi seperti pengkhianatan pasangan, atau menentang sistem akademik. Temuan yang juga dilaporkan di berbagai negara.

Untuk mengurangi kemungkinan kematian akibat bunuh diri, penelitian lain pada 2019 menggunakan metode analisis psikolinguistik untuk memfasilitasi deteksi otomatis ekspresi negatif dalam menanggapi bunuh diri di media sosial. Data diambil dari linimasa media sosial asal Cina, Sina Weibo, yang didominasi penggunaan bahasa Cina.

Sebanyak 7.212 komentar terkait bunuh diri dikumpulkan dan dianalisis. Pertama, menyelidiki sifat setiap komentar (negatif atau tidak). Kedua, mengekstrak 75 fitur psikolinguistik dari setiap komentar. Ketiga, mengklasifikasi empat model perbedaan antar-komentar, dengan atau tanpa ekspresi negatif.

Dari sejumlah besar komentar, terdapat empat insiden bunuh diri yang ditemukan. Kecilnya jumlah insiden membatasi generalisasi temuan dari riset ini. Mengingat sejumlah bunuh diri streaming juga terjadi di luar Sina Weibo, hasil yang berbeda dapat ditemukan di platform lainnya.

Kesimpulan ketiga, tidak ada bukti untuk mengonfirmasi bahwa respons terhadap bunuh diri live-stream sama dengan respons terhadap bunuh diri offline. Keempat, pengguna media sosial tidak mewakili populasi umum, dengan demikian hasilnya mungkin tidak berlaku untuk masyarakat umum. Terakhir, tidak jelas apakah temuan dalam penelitian ini dapat diterapkan pada jenis bahasa lain.

Meski banyak keterbatasan dalam temuan, riset ini menegaskan perlunya kampanye untuk mengurangi tanggapan negatif terhadap streaming bunuh diri dan mendukung penggunaan metode analisis psikolinguistik untuk meningkatkan upaya pencegahan bunuh diri.

Mengomentari kasus Aida, Benny Prawira menyampaikan rasa prihatinnya. Walau sempat mengecam figur publik yang tak sepatutnya melakukan prank bunuh diri, Benny bilang kasus ini penting sebagai refleksi bersama.

“[…] kondisi ini yah merupakan hasil dari kurangnya pemahaman terkait gangguan jiwa dan kesehatan jiwa serta masih tingginya stigma gangguan jiwa. Sehingga, akhirnya ketika hal ini terjadi semua orang panik, bingung, dan mulai bilang aja prank,” kata Benny kepada detikcom (12/12/2019).

Menurutnya masyarakat Indonesia masih membutuhkan lebih banyak edukasi tentang kesehatan jiwa. Terutama apabila menengok respons negatif yang tak mengacuhkan kondisi Aida dan menganggap ia hanya mencari perhatian saja.

Ahli kejiwaan dr. Andri mengimbau pengguna medsos tidak boleh ikut-ikutan membagikan siaran bunuh diri di media sosial. Hal ini akan memberikan dampak psikis bagi setiap orang yang menonton, terlebih lagi jika orang tersebut tidak sehat secara mental.

WHO dalam salah satu dokumen tentang implementasi pencegahan bunuh diri, menyebut empat intervensi yang bisa dilakukan dalam kasus bunuh diri:

  1. Membatasi akses ke sarana bunuh diri;
  2. Berinteraksi dengan media untuk pelaporan bunuh diri yang bertanggung jawab;
  3. Menumbuhkan kecakapan hidup sosio-emosional pada remaja; dan
  4. Identifikasi dini, penilaian, kelola, dan tindak lanjuti siapa saja yang dipengaruhi oleh perilaku bunuh diri.

Media punya peran dalam pelaporan kasus bunuh diri, karena itu penting untuk berinteraksi dengan media dalam hal pelaporan yang bertanggung jawab atas kasus bunuh diri. Pemberitaan media tentang bunuh diri bisa menyebabkan peningkatan bunuh diri karena imitasi –- terutama jika laporan itu menyangkut selebritas atau menggambarkan metode bunuh diri.

Di tingkat kebijakan, negara harus bekerja dengan media nasional (dan penyelenggara media sosial) dan di tingkat lokal bekerja sama dengan media lokal seperti koran lokal atau stasiun radio.

Perlu memantau liputan bunuh diri dan menawarkan kisah sukses pemulihan orang-orang terkenal dari tantangan kesehatan mental atau keinginan untuk bunuh diri. Termasuk meningkatkan kesadaran media untuk mengidentifikasi dan menghapus konten berbahaya.

*Photo by SHVETS production from Pexels

Artikel lain sekategori:

Maaf, Anda tak bisa lagi berkomentar.