Beranda  »  Artikel » Pantau Media   »   Netizen Indonesia Lebih Percaya Media

Netizen Indonesia Lebih Percaya Media

Oleh: Melekmedia -- 31 Desember, 2021 
Tentang: ,  –  Komentar Dinonaktifkan pada Netizen Indonesia Lebih Percaya Media

Netizen Indonesia percaya media

Lebih dari sepertiga responden Indonesia dalam survei pada 2021 menyatakan percaya berita dari media massa. Capaian ini lebih baik dari hasil pencarian, bahkan terhadap berita yang beredar di media sosial.

Kepercayaan sangat dibutuhkan saat ketidakpastian berlimpah. Bila publik tak percaya media, aktor-aktor jahat leluasa menebar informasi liar dan mencuri perhatian publik. Media sosial “tak bertuan” jadi lahan favorit mereka.

Tak terbayangkan dalam beberapa dekade lalu, tema “kepercayaan” akan menjadi topik perbincangan. Kini, kepercayaan terasa sangat mahal. Terutama karena informasi rentan dipelintir ketika berselancar melalui kanal-kanal media sosial.

Survei “Digital News Report” oleh Reuters Institute pada 2017 menunjukkan kepercayaan pada media di Inggris turun 7 persen dalam setahun. Laporan tahunan Edelman tentang kepercayaan menemukan bahwa lembaga pemerintah, bisnis, media, dan LSM kurang dipercaya di seluruh dunia.

Di sisi lain, politisi bisa seenaknya menggunakan label seperti “berita palsu” untuk merusak legitimasi lembaga media mapan, hanya karena diberitakan secara kritis. Bukan hanya politisi, tabiat ini menular pada mereka yang merasa berkuasa.

Charlie Beckett dari London School of Economic and Political Science menulis, “Kepercayaan adalah hubungan, bukan fakta”. Menurut hematnya publik tidak mempercayai media secara saintifik. Publik percaya pada media karena ceritanya mencerminkan pengalaman hidup mereka.

Saat media tak lagi “dekat” dengan isu publik, hubungan itu sirna. Tak kenal, maka tak sayang. “Saya pikir krisis media arus utama yang sebenarnya saat ini bukanlah kepercayaan. Masalah yang lebih praktis adalah bahwa media arus utama tidak lagi relevan bagi masyarakat,” dia menambahkan.

Beckett setuju dengan Adrian Monck, penulis buku yang diulasnya, bahwa “tuntutan” mempercayai media harus diiringi dengan pelibatan publik. Sudah saatnya lembaga pemerintah atau lembaga publik membuka diri seluas-luasnya, tak lagi eksklusif kepada awak media.

Relevansi media terhadap publik tersirat dalam hasil survei “Digital News Report” pada 2021. Survei daring itu mengungkapkan konsumsi berita digital berdasarkan survei YouGov terhadap lebih dari 92.000 konsumen berita daring di 46 pasar, termasuk India, Indonesia, Thailand, Nigeria, Kolombia, dan Peru.

Responden Indonesia menyatakan sebagian besar mengakses berita dari media sosial (64 persen). Di antara panggung media sosial tersebut, WhatsApp terpopuler. Padahal, aplikasi perpesanan itu mewakili komunikasi privat, bukan kanal lazim untuk media massa.

Maraknya akses berita lewat aplikasi milik Meta itu menggambarkan betapa netizen punya agendanya sendiri, yang bisa jadi berbeda dengan agenda media. Sementara itu, kompromi bisa berujung pada “bencana” yang lain–saat media melayani apapun selera publik meski dianggap “murahan”.

Berita buruknya, media sosial menjadi kanal tersubur dengan hoaks. Laporan Mafindo termutakhir yang dirilis Februari 2021 menunjukkan hoaks paling banyak ditemukan di Facebook (112 konten atau 59,3 persen). Di WhatsApp sebanyak 28 konten hoaks, atau 14,8 persen.

Berita sensasional, seringkali bertalian dengan seks, kriminalitas, dan gosip, marak beredar. Hoaks di bidang politik dan isu kesehatan, menyeruak. Laporan Mafindo itu menyebut hoaks politik sering menyasar pemerintah.

Belakangan, Mafindo juga menemukan kepercayaan masyarakat atas hoaks cukup tinggi, hampir 60 persen dari jumlah pengguna internet di Indonesia. Angkanya pun diklaim mengalami peningkatan setiap tahun. Angka yang menakjubkan, meski mengundang pertanyaan.

Di sisi lain, aplikasi seperti WhatsApp yang jejaringnya bersifat personal (peer to peer) menyulitkan pemeriksa fakta dalam melakukan deteksi. Bisa jadi sebaran hoaks di sana jauh lebih banyak dari yang terungkap lewat laporan netizen.

Media sosial lebih dipercaya?

Menggiurkan untuk segera mengambil kesimpulan bahwa popularitas media berita digeser media sosial dalam hal sumber informasi. Media sosial jadi sumber mengakses berita karena peranti bergerak sangat dekat dengan pengguna. Ponsel nyaris tak pernah lepas dari keseharian, menjadikannya akses yang senantiasa siap-sedia.

Tapi bukan itu yang terjadi. Seperti ditemukan Reuters Institute dalam survei Februari 2021, netizen Indonesia yang percaya pada berita secara umum hanya 39 persen. Capaian itu relatif rendah, tetapi lebih baik dari responden yang percaya pada berita lewat media sosial, hanya 31 persen.

Tingkat kepercayaan di media sosial tersebut, bahkan lebih buruk dari hasil pencarian di internet, misalnya lewat mesin pencari (Google, Bing, dll), yang mencapai 37 persen.

Rendahnya kepercayaan terhadap media, sebagian merupakan akibat dari tekanan keuangan, demikian kesimpulan ringkas London School of Economic and Political Science. Dalam industri yang telah mengalami disrupsi besar-besaran pada model bisnisnya akibat peralihan ke digital, sulit menghindar dari clickbait untuk mengejar uang iklan.

Selain itu, politisasi pun mengikis kepercayaan publik. “Media sekarang terlihat dipolitisasi, tidak dapat memenuhi kewajiban karena tekanan ekonomi, dan mengikuti media sosial daripada membuat agenda,” tulis Richard Edelman menyusul rilis hasil barometer kepercayaan perusahaannya.

Persepsi kolusi antara pemerintah dan media juga semakin tajam selama pemilu, karena pemain alternatif mengklaim “kebenaran” versi mereka diabaikan pers arus utama. Organisasi berita tidak lagi memiliki kemampuan yang sama untuk membentuk opini publik selama kampanye pemilu.

Kabar baiknya, laporan edisi kesepuluh Reuters Institute tahun ini menunjukkan sinyal pemulihan kepercayaan terhadap media berita. Pandemi dalam dua tahun belakangan membuktikan betapa pentingnya informasi yang akurat dan andal saat nyawa dipertaruhkan. Di banyak negara, pemirsa pun beralih ke media tepercaya.

Ini bisa disebut sebagai hikmah pandemi, meskipun angkanya belum cukup meyakinkan. Secara umum, dari seluruh responden survei, kepercayaan pada berita telah meningkat, rata-rata sebesar 6 poin persentase setelah pandemi–menjadi 44 persen dari total sampel.

Ini seperti kembali ke capaian pada 2018, sekaligus membaik bila dibandingkan dengan penurunan kepercayaan pada periode 2020. Finlandia masih menjadi negara dengan tingkat kepercayaan keseluruhan tertinggi (65 persen), dan AS sekarang memiliki tingkat terendah (29 persen).

Survei tersebut kali ini memberi pemahaman lebih dalam tentang betapa berbedanya lingkungan berita beroperasi di luar Amerika Serikat dan Eropa. Misalnya terkait penetrasi internet dan pendidikan. Perbedaan pada kedua aspek membuat perbandingan sejumlah metrik antar-negara kurang bermakna, karena prasyarat yang jauh berbeda.

Berikut ringkasan beberapa temuan terpenting dari survei tahun 2021 ini:

  • Kepercayaan pada berita dari mesin pencari dan media sosial tetap stabil secara luas. Ini berarti bahwa kesenjangan kepercayaan antara berita secara umum dan yang ditemukan di lingkungan telah tumbuh – dengan audiens yang tampaknya lebih mengutamakan sumber berita yang akurat dan andal.
  • Di sejumlah negara, terutama yang memiliki media layanan publik yang kuat dan independen, tampak konsumsi lebih besar dari merek berita tepercaya. Meski, polanya kurang jelas di luar Eropa Barat, saat krisis Covid-19 kurang mendominasi agenda media, atau isu-isu politik dan sosial lainnya memainkan peran yang lebih besar.
  • Berita televisi terus berkinerja kuat di beberapa negara, tetapi media cetak mengalami penurunan tajam hampir di mana-mana karena terdampak lockdown pandemi, mempercepat pergeseran menuju digital.
  • Di beberapa negara publik masih tertarik dengan media berita, tetapi ada tanda-tanda bahwa orang mulai berpaling dan dalam beberapa kasus menghindari berita sama sekali. Minat terhadap berita turun drastis di Amerika Serikat setelah pemilihan Presiden Biden – terutama pada kelompok-kelompok sayap kanan.
  • Di tempat lain, media dianggap kurang adil dalam menampilkan kaum muda (terutama perempuan muda), partisan politik, dan – setidaknya di AS – orang-orang dari kelompok etnis minoritas. Temuan ini memberikan urgensi tambahan bagi mereka yang berdebat untuk ruang redaksi yang lebih beragam dan inklusif.
  • Meskipun lebih banyak pilihan untuk membaca dan menonton berita partisan, mayoritas responden (74 persen) mengatakan mereka masih lebih suka berita yang mencerminkan berbagai pandangan, dan memungkinkan mereka memutuskan apa yang mereka pikirkan.
  • Sebagian besar juga berpikir bahwa media berita harus berusaha netral pada setiap masalah (66 persen), meskipun beberapa kelompok yang lebih muda berpikir bahwa “ketidakberpihakan” mungkin tidak sesuai atau justru tidak diinginkan dalam beberapa kasus – misalnya, pada isu-isu keadilan sosial.

Gambaran di Indonesia

Laporan ini menggambarkan Indonesia sebagai negara dengan media sosial yang sangat populer di kalangan pengguna. TikTok semakin populer di kalangan generasi muda, seperti yang terjadi di tempat lain. Selain itu ada WhatsApp, YouTube, Facebook, dan Instagram.

Banyak politisi dan partai menggunakan komentator berbayar, yang dikenal sebagai “buzzer“, dan akun otomatis untuk menghasilkan propaganda politik menjelang pemilihan umum pada April 2019.

Banyak perhatian telah diarahkan pada penggunaan media sosial untuk menyebarkan disinformasi (biasa disebut hoaks) dan ujaran kebencian. Krisis Covid-19 telah menyebabkan banjir informasi yang salah, mulai dari “bahaya termogun” hingga desas-desus bahwa vaksin dipalsukan dengan daging babi.

Sisi positifnya, Indonesia juga diramaikan LSM multi-pihak yang mendedikasikan diri memerangi disinformasi, seperti Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia, atau Komunitas Anti Hoax Indonesia), dan program lain yang dijalankan warga.

Upaya-upaya warga dan LSM tersebut disebut sangat kontras dengan upaya pemerintah, yang umumnya terlalu berfokus pada penggunaan hukum pidana (UU ITE, dll).

Jangkauan media tradisional (luring) masih didominasi televisi. Dalam tiga pekan terakhir saat pertanyaan survei diajukan kepada responden, TVOne, dan Metro TV menjadi televisi paling sering diakses untuk menonton berita secara mingguan.

Di jajaran media cetak, menyisakan Koran Tempo, Tempo, Media Indonesia, Republika dan Koran Sindo. Ada nama Kompas dalam jajaran ini, tetapi tak begitu jelas apakah yang dimaksud Kompas TV, atau Harian Kompas.

Sementara di jajaran media daring, akses terbesar dikuasai Detikcom, kemudian Kompas.com dan CNN Indonesia. Media yang terhitung pendatang baru seperti Kumparan.com, ada di peringkat ketujuh media paling banyak diakses selama sepekan.

Bila dibandingkan secara umum, media daring dan media sosial merupakan sumber utama responden asal Indonesia dalam mengakses berita. Hampir 90 persen menyatakan media di internet inilah sumber mendapatkan berita.

Media sosial tampak mendominasi. Bahkan saat dipisahkan dari media berita di ranah daring, proporsi pengaksesnya (64 persen) masih lebih besar dibandingkan dengan akses terhadap TV maupun media cetak.

Bila ditelusuri lebih jauh, media sosial yang jadi sumber utama mengakses berita adalah WhatsApp. Ini tak terlepas dari peranti yang digunakan untuk mengakses berita. Maraknya penggunaan ponsel, membuat akses terhadap internet makin intens, dan cara ini pula yang dipakai untuk mendapatkan berita.

Secara umum kepercayaan relatif rendah, hanya 39 persen yang menyatakan mempercayai berita. Meski demikian, kepercayaan pada media yang biasa dikonsumsi sehari-hari, angkanya lebih baik, mencapai 42 persen.

Sedangkan yang menyatakan percaya pada berita hasil pencarian lewat mesin pencari di internet (seperti Google), mencapai 37 persen. Media sosial jadi sumber paling rendah tingkat kepercayaannya, hanya 31 persen yang menyatakan percaya.

Media daring CNN Indonesia, yang dimiliki oleh konglomerat lokal Trans Media, menduduki peringkat tertinggi dalam kepercayaan terhadap jenama media, mencapai 69 persen. Kompas (kemungkinan koran Harian Kompas), ada di peringkat berikutnya, diikuti TVI, lalu Detik.com.

Menariknya, jenama berita tradisional dengan jangkauan terbesar, TVOne, adalah juga jenama media yang tingkat ketidakpercayaannya paling besar 12 persen. Responden tidak mempercayainya, beberapa mengaitkannya dengan gaya pelaporan TVOne yang sensasional.

*Photo by Andrea Piacquadio from Pexels

Artikel lain sekategori:

Maaf, Anda tak bisa lagi berkomentar.