Penyebab kekacauan informasi
Era digital membawa tantangan baru yang berkelanjutan, sekaligus perubahan struktural untuk industri berita, khususnya terhadap teknologi, media sosial, serta penyebaran misinformasi dan disinformasi. Jurnalisme sedang diserang “badai besar” virtual dari konvergensi yang membawa “kekacauan informasi”.
“Badai besar” yang dimaksud meliputi:
- Munculnya propaganda komputasi1Clarke, R. & Gyemisi, B. (2017). Digging up facts about fake news: The Computational Propaganda Project. OECD. (diakses 01/04/2018). dan penggunaan ketidakpercayaan sebagai senjata2UNESCO (2017). States and journalists can take steps to counter ‘fake news’. UNESCO, Paris. (diakses29/03/2018).;
- Disrupsi digital terhadap periklanan, menyebabkan ambruknya model bisnis tradisional media berita, dan pengurangan tenaga kerja secara massal;
- Kegagalan iklan digital untuk mendukung jurnalisme sebagai pengganti iklan cetak (Google dan Facebook penerima utama penjualan iklan digital3Kollewe, J. (2017). Google and Facebook bring in one-fifth of global ad revenue. The Guardian, 2 Mei 2017. (diakses 29/03/2018).);
- Konvergensi digital mengubah bisnis pemesanan, produksi, publikasi, dan distribusi konten, yang secara signifikan meningkatkan tekanan tenggat waktu dan menambah jumlah tenaga kerja yang hilang;
- Pelecehan secara daring terhadap para jurnalis (terutama perempuan), sumber mereka, dan khalayak mereka4Lihat Modul 07;
- Media sosial menempatkan khalayak di garis depan pencarian dan distribusi konten5Nielsen, R.K. & Schroeder, C. K. (2014). The Relative Importance of Social Media for Accessing, Finding and Engaging With News in Digital Journalism, 2(4) (diakses 29/03/2018)., serta menjadikan mereka kolaborator dalam produksi berita. Meski menawarkan banyak manfaat, tapi hal ini melemahkan kekuatan media berita sebagai “penjaga gerbang” dan memengaruhi standar verifikasi informasi6Posetti, J. & Silverman, C. (2014). When Good People Share Bad Things: The Basics of Social Media Verification dalam Posetti (Ed) Trends in Newsrooms 2014 (WAN-IFRA, Paris). (diakses 29/03/2018).;
- Harapan khalayak akan berita “on-demand”, ramah gawai, dan terlibat secara real-time di media sosial, memberi tekanan pada pekerja berita yang sudah menghadapi menipisnya sumber daya dalam siklus pemberitaan;
- Penerbit berita berjuang untuk mempertahankan khalayak seiring kemudahan dalam penerbitan yang memberdayakan setiap orang atau entitas membuat konten, melewati peran “penjaga gerbang” tradisional, dan bersaing untuk mendapatkan perhatian—termasuk politikus kuat yang berusaha menyerang kredibilitas liputan kritis7Cadwalladr, C. (2017). Trump, Assange, Bannon, Farage… bound together in an unholy alliance. The Guardian, 28 Oktober 2017. (diakses 29/03/2018).;
- Terbatasnya pengaruh dan keuntungan bisnis dari banyak perusahaan media digital untuk mengisi kekosongan yang diakibatkan oleh pudarnya surat kabar;
- Erosi kepercayaan terhadap jurnalisme dan organisasi media arus utama menyebabkan khalayak semakin menjauh, laba menipis, dan mendorong penyebaran “kekacauan informasi”.
A. Runtuhnya model bisnis tradisional
Penurunan cepat pendapatan iklan tradisional—model pendanaan yang mendukung jurnalisme komersial selama hampir dua abad—dan kegagalan iklan digital untuk menghasilkan laba yang cukup telah mengarah ke era eksperimen untuk membuat bisnis jurnalisme bisa berkelanjutan.
Namun, jatuhnya industri berita semakin cepat. Penurunan oplah surat kabar, restrukturisasi dramatis, dan PHK massal kian lazim di ruang berita media digital. Perilaku konsumen media yang berubah dan menjamurnya media sosial, bersama kehadiran ponsel pintar dengan segala aplikasinya, juga mendorong pindahnya khalayak dari produk berita tradisional ke model berbagi informasi antar-pengguna.
Dampaknya terkait “kekacauan informasi” antara lain:
- Menipisnya sumber daya ruang redaksi (staf dan anggaran), yang mengarah pada lebih sedikit pengawasan terhadap sumber dan informasi, dan lebih sedikit peliputan “di lapangan”;
- Tekanan tenggat waktu yang meningkat, ditambah dengan berkurangnya proses kontrol kualitas dan hilangnya pekerjaan, sementara permintaan untuk mengolah konten terus berlanjut demi memberikan suplai kepada laman dan saluran media sosial;
- Lebih sedikit waktu dan sumber daya untuk fungsi “cek dan keseimbangan” (termasuk pengecekan fakta reporter dan penyuntingan);
- Terlalu mengandalkan “native advertising”8“Native Advertising” adalah istilah dalam industri media yang mengacu pada konten pesanan berbayar yang menyerupai liputan. Praktik ini dianggap etis jika media secara jelas menuliskan bahwa itu iklan. Tapi penulisan itu dikhawatirkan akan membuat pembaca tidak tertarik, sehingga sebagian media memilih untuk tidak transparan. yang tidak disebutkan sebagai iklan tapi menguntungkan secara keuangan dan judul “clickbait” yang berisiko semakin mengikis kepercayaan khalayak.
B. Transformasi digital ruang redaksi
Dekade 2000-an telah mengguncang sebagian besar dunia media9Nielsen, R. K. (2012). The Ten Years That Shook the Media World: Big Questions and Big Trends in International Media Developments (Reuters Institute for the Study of Journalism, Oxford) (diakses 29/03/2018)., yang mengganggu pola dan proses pembuatan, distribusi, dan konsumsi berita seiring mulai berlakunya Era Digital. Ini menyajikan peluang dan tantangan yang belum pernah terjadi.
Transformasi digital dari industri berita dan kecakapan jurnalistik sekarang dipahami sebagai proses tiada henti. Kebutuhan ini didorong oleh perubahan perilaku khalayak (distribusi konten antar-pengguna, akses on-demand) dan teknologi (media sosial, Realitas Virtual, Kecerdasan Buatan, dan aksesibilitas ponsel pintar10Untuk analisis global tentang tren media digital, lihat Reuters Institute for the Study of Journalism’s (RISJ) Digital News Report, Edisi 2018.). Ada kebutuhan berkelanjutan untuk pengembangan kemampuan digital awak media.
Dampaknya yang terkait dengan “kekacauan informasi” antara lain:
- Konvergensi media: banyak jurnalis sekarang ditugasi memproduksi konten untuk berbagai platform secara bersamaan (dari gawai hingga media cetak), yang semakin menghabiskan waktu yang tersedia untuk liputan proaktif, sebagai lawan dari mode reaktif seperti mereproduksi konten humas tanpa pengawasan yang memadai;
- Jurnalis semakin dituntut untuk menyunting dan menerbitkan konten mereka sendiri tanpa tinjauan yang memadai dari pihak lain11Lihat studi kasus Australian Community Media (ACM): Robin, M. (2014). Who needs subs? Fairfax turns to reporter- only model Crikey (diakses 29/03/2018). (Catatan: metode ini sekarang diterapkan di semua publikasi Fairfax Media di tingkat regional, rural, dan komunitas).;
- Tenggat waktu di Era Digital yang selalu “sekarang”, meningkatkan risiko terjadinya kesalahan;
- Publikasi terlebih dulu di media sosial sudah jamak terjadi, dengan jurnalis mengunggah berita mereka di akun medsos pribadi dan/atau milik medianya untuk memenuhi permintaan khalayak akan berita real-time. Praktik ini mencakup “live tweeting”, video “Facebook Live”, dan tindakan jurnalistik lainnya yang tidak selalu melibatkan pengawasan editorial (seperti siaran langsung), yang berpotensi menghasilkan pola pikir “terbitkan dahulu, cek nanti”;
- Kebergantungan pada analisis data sederhana yang berfokus pada jumlah klik artikel dan pengunjung unik laman, alih-alih “menit perhatian” dan “waktu yang dihabiskan” (penanda yang lebih berguna bagi jurnalisme bentuk panjang dan berkualitas), yang digunakan sebagai justifikasi harga yang lebih tinggi untuk iklan digital yang semakin langka dan murah;
- Praktik “clickbait” (dipahami sebagai penggunaan judul yang menyesatkan untuk membujuk pembaca mengeklik tautan) yang dirancang untuk mengundang kunjungan khalayak, tapi dianggap berhubungan dengan pudarnya kepercayaan terhadap jurnalisme profesional;
- Mengejar viralitas dengan mengorbankan kualitas dan akurasi. Ini adalah masalah yang kemungkinan diperburuk oleh penggunaan “mesin sebagai tolok ukur”;
- Kemunculan unit pemeriksaan fakta di ruang redaksi, dan sebagai hasil dari proyek pengembangan media.