M-01 Kepercayaan pada Jurnalisme (2,5j)?

Ruang redaksi harus berjuang mengemban peran sejarah mereka sebagai penjaga gerbang informasi, yang produknya bisa membantu menentukan kebenaran.

M-02 Kekacauan Informasi (3j)?

Modul ini menyarankan penggunaan istilah misinformasi dan disinformasi, daripada "berita palsu". Di dalamnya akan mengulas berbagai jenisnya dan posisinya dalam spektrum “kekacauan informasi”.

M-03 Tantangan Industri Berita (3,5j)?

Modul ini menguraikan runtuhnya model bisnis media berita komersial di era digital. Bersamaan dengan itu, transformasi digital dan munculnya media sosial telah memungkinkan legitimasi serta penyebaran disinformasi dan misinformasi.

M-04 Melawan Kekacauan Informasi (6,5j)?

Para peserta akan belajar cara mengembangkan dan menggunakan kerangka kerja berpikir kritis dari “Penilaian Reflektif yang Berorientasi” yang melibatkan penggunaan analisis, penafsiran, evaluasi, pengaturan diri, penarikan kesimpulan, dan penjelasan.

M-05 Pemeriksaan Fakta (2,5j)?

Modul ini berupaya membekali peserta dengan metodologi untuk mendeteksi klaim yang faktanya bisa diperiksa dan mengevaluasi bukti secara kritis, sesuai dengan norma dan standar etika.

M-06 Verifikasi Media Sosial (3j)?

Modul ini memperkenalkan berbagai strategi untuk menentukan keaslian sumber, foto, dan video, terutama konten yang dibuat pengguna (user-generated content, UGC) yang dibagikan melalui media atau jejaring sosial.

M-07 Melawan Pelecehan Daring (5j)?

Modul ini melawan upaya disinformasi dan minsinformasi yang menarget jurnalis dan penerbit daring lainnya, termasuk narasumber, yang berusaha memverifikasi atau membagikan informasi dan komentar.
M5.4 Hambatan pemeriksaan fakta

Hambatan pemeriksaan fakta

Sejumlah komentator menyatakan bahwa kita telah memasuki era “pascakebenaran” (post-truth) atau “pascafakta” (post-fact). Istilah-istilah ini ditampilkan dalam judul berita di seluruh dunia pada 2016 dan dipilih sebagai “Word of the Year” oleh Oxford English Dictionary dan Society for the German Language.

Argumentasi yang dibuat oleh “post-truthers” menyatakan bahwa politik dan media telah menjadi begitu terpolarisasi dan terkelompok sehingga warga menolak begitu saja fakta yang tidak mereka setujui.

Pernyataan itu tidak sesuai dengan sejumlah penelitian1Swire, B., Berinsky, A. J., Lewandowsky, S. & Ecker, U. K. H. (2017). Processing political misinformation: comprehending the Trump phenomenon (1 Maret 2017, diakses 28/03/2018). 2Nyhan, B. & Zeitzoff, T. (2018). Fighting the Past: Perceptions of Control, Historical Misperceptions, and Corrective Information in the Israeli- Palestinian Conflict (diakses 28/03/2018). 3Wood, T. & Porter, E. (2016). The Elusive Backfire Effect: Mass Attitudes’ Steadfast Factual Adherence (5 Agustus 20, diakses 28/03/2018). yang menemukan: Ketika dikoreksi, terutama melalui referensi ke pihak berwenang yang dianggap bisa dipercaya oleh khalayak, orang (rata-rata) menjadi lebih terinformasi secara baik.

Pada saat yang sama, absurd untuk mengatakan bahwa fakta adalah karakterisasi yang sempurna dari dunia nyata, dan manusia adalah makhluk yang sepenuhnya rasional yang menggabungkan fakta-fakta baru secara sempurna terlepas dari keyakinan dan pilihan pribadi sebelumnya.

Masing-masing individu datang dengan bias kognitif dan bias lainnya—yang pada dasarnya adalah hambatan mental—yang dapat menghalangi cara menyerap informasi faktual yang baru. Sangat penting untuk menekankan bahwa ini bukan sesuatu yang terjadi pada orang lain, ini terjadi pada kita semua. Penting untuk menyadari keterbatasan upaya pemeriksaan fakta—dan keterbatasan setiap individu yang terlibat di dalamnya.

Selain itu, ada sejumlah bias yang bisa menghambat pemeriksaan fakta. Beberapa di antaranya adalah:

1. Bias konfirmasi

Bias konfirmasi (“Confirmation bias”, dari Encyclopaedia Britannica— diakses 28/03/2018). Yaitu kecenderungan memproses informasi dengan mencari, atau menafsirkan, informasi yang konsisten dengan keyakinan seseorang yang sudah ada. Pendekatan yang bias dalam pengambilan keputusan ini sebagian besar tidak disengaja dan sering berakibat mengabaikan informasi yang tidak mendukung. Keyakinan yang ada bisa mencakup harapan seseorang dalam situasi tertentu dan prediksi tentang hasil tertentu. Orang-orang cenderung memproses informasi untuk mendukung keyakinan mereka ketika masalahnya sangat penting atau relevan dengan dirinya.

2. Penalaran termotivasi

Penalaran termotivasi (“Motivated reasoning“, dari Discover Magazine— diakses 28/03/2018). Yaitu kognisi termotivasi mengacu pada kecenderungan tanpa sadar seseorang untuk menyesuaikan pemrosesan informasi dengan kesimpulan yang sesuai dengan hasil atau tujuan tertentu. Pertimbangkan sebuah contoh klasik. Pada 1950-an, para psikolog meminta subjek eksperimen, yaitu para mahasiswa dari dua perguruan tinggi Ivy League, untuk menonton film yang menampilkan serangkaian keputusan wasit yang kontroversial saat pertandingan sepak bola antara dua tim dari kampus mereka. Mahasiswa dari masing-masing kampus lebih mungkin untuk melihat keputusan wasit sebagai benar ketika itu menguntungkan kampus mereka daripada ketika itu menguntungan pihak lawan. Para peneliti menyimpulkan bahwa dorongan emosional para mahasiswa yang menegaskan kesetiaan mereka kepada kampus mereka menentukan apa yang mereka lihat dalam rekaman itu.

3. Heuristik ketersediaan

Heuristik ketersediaan (“Availability heuristic“, dari Oxford University Press A Dictionary of Psychology— diakses 28/03/2018). Sebuah heuristik kognitif yang melaluinya frekuensi atau probabilitas suatu peristiwa dinilai berdasarkan jumlah hal tentangnya yang dapat dengan mudah diingat. Ini dapat membuat orang melihat klaim yang salah sebagai benar hanya karena mereka dapat mengingatnya dengan mudah. Dalam sebuah percobaan yang dilakukan oleh Lisa Fazio di Vanderbilt University, orang-orang yang diminta untuk mengulang-ulang klaim “kain sari adalah sebuah kilt10” sebanyak enam kali percaya pada kebohongan terang-terangan ini lebih daripada mereka yang mengulanginya hanya sekali. Jurnalisme dapat membantu kepalsuan menjadi dipercaya jika memberitakannya secara tidak kritis. Liputan media tentang teori konspirasi seputar tempat kelahiran Barack Obama, misalnya, bisa jadi ikut memainkan peran dalam menyebarkan kepercayaan bahwa mantan Presiden AS itu tidak lahir di Hawaii.

Perlu dicatat bahwa pemeriksaan fakta adalah sebuah instrumen yang tidak sempurna. Sesuatu dapat 100% akurat, tapi belum memasukkan konteks penting4Sebagai contoh: Yanofsky, D.(2013). The chart Tim Cook doesn’t want you to see. (diakses 28/03/2018).. Fakta selalu dikonstruksi, diurutkan, dan disusun kembali secara bermakna di dalam struktur narasi yang lebih luas yang dapat memberikan arti penting yang berbeda terhadap fakta dasar yang sama.

Kebenaran, lebih dari itu, lebih dari sekadar kumpulan fakta. Pemeriksaan fakta bukanlah alat yang digunakan untuk menutup penafsiran alternatif, tapi hanya menjamin serangkaian fakta yang dapat berdampak pada narasi dan kecenderungan individu, sebagai landasan bagi debat yang rasional.

________________