M-01 Kepercayaan pada Jurnalisme (2,5j)?

Ruang redaksi harus berjuang mengemban peran sejarah mereka sebagai penjaga gerbang informasi, yang produknya bisa membantu menentukan kebenaran.

M-02 Kekacauan Informasi (3j)?

Modul ini menyarankan penggunaan istilah misinformasi dan disinformasi, daripada "berita palsu". Di dalamnya akan mengulas berbagai jenisnya dan posisinya dalam spektrum “kekacauan informasi”.

M-03 Tantangan Industri Berita (3,5j)?

Modul ini menguraikan runtuhnya model bisnis media berita komersial di era digital. Bersamaan dengan itu, transformasi digital dan munculnya media sosial telah memungkinkan legitimasi serta penyebaran disinformasi dan misinformasi.

M-04 Melawan Kekacauan Informasi (6,5j)?

Para peserta akan belajar cara mengembangkan dan menggunakan kerangka kerja berpikir kritis dari “Penilaian Reflektif yang Berorientasi” yang melibatkan penggunaan analisis, penafsiran, evaluasi, pengaturan diri, penarikan kesimpulan, dan penjelasan.

M-05 Pemeriksaan Fakta (2,5j)?

Modul ini berupaya membekali peserta dengan metodologi untuk mendeteksi klaim yang faktanya bisa diperiksa dan mengevaluasi bukti secara kritis, sesuai dengan norma dan standar etika.

M-06 Verifikasi Media Sosial (3j)?

Modul ini memperkenalkan berbagai strategi untuk menentukan keaslian sumber, foto, dan video, terutama konten yang dibuat pengguna (user-generated content, UGC) yang dibagikan melalui media atau jejaring sosial.

M-07 Melawan Pelecehan Daring (5j)?

Modul ini melawan upaya disinformasi dan minsinformasi yang menarget jurnalis dan penerbit daring lainnya, termasuk narasumber, yang berusaha memverifikasi atau membagikan informasi dan komentar.
M2.3 Kategori kekacauan informasi

Kategori kekacauan informasi

Dalam artikel “Fake News. It’s Complicated”, Claire Wardle dari First Draft menguraikan spektrum yang luas dari kekacauan informasi1Claire Wardle (2017). Fake news. It’s complicated. First Draft. (diakses 20/12/2021).. Satire dan parodi pun bisa menjadi konten hoaks yang dibuat secara masif. Meskipun diakui sebagai bentuk seni, satire dan parodi dapat menjadi biang kekacauan informasi saat khalayak salah menafsirkan pesan.

Masih banyak lagi kategori kekacauan informasi yang menyesatkan, yang merupakan bagian dari salah satu, atau perpaduan ketiga jenis kekacauan informasi. Carilah pasangan gambar-gambar berikut, dan Anda akan temukan tujuh kategori kekacauan informasi dari First Draft beserta penjelasan singkatnya:

Wardle mengajukan tujuh kategori konten bermasalah sebagai salah satu elemen dalam ekosistem informasi, demi pemetaan berbagai jenis konten yang lazim dibuat dan dibagikan. Berikut penjelasan lengkap ketujuh kategori konten dalam kekacauan informasi:

1. Satire dan Parodi

Memasukkan satire atau sindiran dalam tipologi tentang disinformasi dan misinformasi mungkin mengejutkan. Satire dan parodi dapat dianggap sebagai bentuk seni. Namun, di dunia tempat orang semakin menerima informasi melalui media sosial, ada kebingungan ketika tidak dipahami bahwa sebuah laman itu bersifat satire atau sindiran.

Contohnya adalah dari The Khabaristan Times, sebuah kolom dan laman sindiran yang merupakan bagian dari laman berita Pakistan Today2Pakistan Today (2018). Anthropologists make contact with remote cut-off tribe still thanking Raheel Sharif. Khabaristan Today. (diakses 06/04/2018).. Pada Januari 2017, laman tersebut diblokir di Pakistan dan karena itu berhenti menerbitkan konten3Salah satu sumber untuk konsultasi tentang ini adalah tulisan Julie Posetti, salah satu editor buku ini, dan Alice Mathews. (TBA, menyusul).

Contoh lain, simak konten satire/parodi tentang Koloni Badak di Bulan. Konten yang tersebar di media sosial itu memperlihatkan astronot dan badak tengah berada di bulan. Pada gambar terdapat keterangan bahwa badak bukan makhluk asal bumi, karena ketika pada saat manusia melakukan pendaratan pertama di bulan, mereka mendapati koloni badak. Konten yang tidak berniat merugikan ini berpotensi mengelabui.

2. Tidak Berhubungan (False Connection)

Contoh konten tidak berhubungan atau hubungan yang salah adalah ketika judul berita, visual, atau keterangan tidak mendukung konten yang bersangkutan. Yang paling umum adalah judul berita click bait. Dengan meningkatnya persaingan untuk mendapatkan perhatian khalayak, editor semakin harus menulis judul berita untuk menarik klik, bahkan jika orang yang membaca artikel tersebut merasa telah ditipu.

Contoh yang mengerikan dapat ditemukan di laman The Political Insider4The Political Insider (2015). First time voter waited 92 years to meet Trump… what happened next is AMAZING! (diakses 06/04/2018).. Ini juga dapat terjadi ketika visual atau keterangan digunakan, terutama di situs-situs seperti Facebook, untuk memberikan kesan tertentu yang tidak didukung oleh kontennya. Ketika orang menggulir linimasa media sosial mereka tanpa mengeklik artikel aslinya, visual dan keterangan yang menyesatkan bisa sangat menipu.

Contoh lain, postingan bertautan dengan judul “Indonesia Akan Adakan Program 1 Suami 2 Istri Setuju Tidak Para Istri?” Kiriman di Facebook itu menunjukkan foto seorang pria di antara dua perempuan berjilbab. Ternyata, konten tautan yang dibagikan tidak membahas program satu suami dua istri di Indonesia. Isi artikelnya membahas wawancara pelaku poligami bersama dua istrinya yang berasal dari Malaysia.

3. Konten Menyesatkan (Misleading content)

 Jenis konten ini adalah ketika ada penggunaan informasi yang menyesatkan untuk membingkai isu atau individu dalam cara tertentu dengan memotong foto, atau memilih kutipan atau statistik secara selektif. Ini disebut Framing Theory5Entman, R., Matthes, J. dan Pellicano, L. (2009). Nature, sources, and effects of news framing. Dalam: K. Wahl- Jorgensen dan T. Hanitzsch (Contributor), ed., Handbook of Journalism studies. (daring) New York: Routledge, hlm.196-211. (diakses 03/04/ 2018)..

Beberapa contoh telah diungkap di Rappler.com6Punongbayan, J. (2017). Has change really come? Misleading graphs and how to spot them. Rappler.com. (diakses 06/04/2018).. Visual adalah wahana yang sangat ampuh untuk menyebarkan informasi yang menyesatkan, karena otak kita cenderung tidak terlalu kritis terhadap visual7Lihat artikel oleh Hannah Guy dalam daftar bacaan di modul ini.. Iklan berbayar yang meniru konten editorial juga masuk dalam ketegori ini jika tidak disertai keterangan yang memadai sebagai disponsori8Lihat Modul 03..

Contoh lainnya dalam klaim WHO Ungkapkan Bahwa Hasil Tes PCR adalah Cacat. Unggahan di media sosial Instagram menyatakan WHO telah menegaskan bahwa tes PCR Covid-19 berbasis jumlah ambang batas Ct yang selama ini telah dilakukan ternyata memiliki hasil yang cacat. Kenyataannya, WHO tidak pernah menyatakan bahwa tes PCR merupakan tes yang cacat dan sama sekali tidak menjadi penentu seseorang dinyatakan positif Covid-19 atau tidak.

4. Salah Konteks (False contenxt)

Salah satu alasan istilah “berita palsu” sangat tidak membantu adalah karena konten asli sering terlihat diedarkan kembali di luar konteks aslinya. Misalnya, gambar dari Vietnam, yang diambil pada 2007, diedarkan kembali tujuh tahun kemudian, dibagikan dengan klaim bahwa itu adalah foto dari gempa bumi Nepal pada 20159Pham, N. (2018). Haunting ‘Nepal quake victims photo’ from Vietnam. BBC.  Lihat juga di sini. (diakses 06/04/2018)..

Contoh lainnya, postingan di Facebook oleh akun media India, Abhi Abhi Breaking. Gambarnya menunjukkan bocah laki-laki dengan pakaian lusuh, memanggul tongkat dengan masker kain yang tergantung. Terdapat keterangan dengan Bahasa Hindi yang artinya anak tersebut membagikan masker kain secara gratis kepada warga miskin karena ibunya menyuruhnya membantu orang yang membutuhkan.

Postingan itu sempat disukai 1,5 ribu akun dan dibagikan 42 kali. Ternyata fotonya asli tetapi dengan konteks yang telah diubah. Foto tersebut aslinya dari Reuters, tentang seorang bocah lelaki yang menjajakan masker bersama seorang anak laki-laki yang diketahui adalah kakak laki-lakinya.

5. Konten 'Aspal' (Imposter content)

Ada masalah besar ketika entitas asli ditautkan dengan berita yang tak pernah mereka buat. Misalnya nama seorang jurnalis diletakkan di bawah artikel yang tidak mereka tulis, atau logo organisasi dipasang dalam video atau gambar yang tidak mereka buat. Inilah yang disebut “aspal”, asli tapi palsu.

Sebagai contoh, menjelang pemilihan umum Kenya pada 2017, BBC Afrika menemukan bahwa seseorang telah membuat video lalu menambahkan logo BBC hasil Photoshop, dan video itu beredar di WhatsApp10BBC (2017). Kenya election: Fake CNN and BBC news reports circulate. (diakses 06/04/2018).. BBC lalu harus membuat video yang memperingatkan orang-orang untuk tidak tertipu oleh video rekayasa tersebut.

Di Indonesia, akun Facebook Genta Akbar pernah mengunggah narasi dan foto yang di dalamnya terdapat informasi terkait rekrutmen karyawan terbaru PT Pertamina tahun 2021 pada grup Info Loker Majalengka. Informasi tersebut dilengkapi dengan alamat resmi website Pertamina, bahkan logo Pertamina.

Vice President Corporate Communication Pertamina, Fajriyah Usman, menegaskan kepada media bahwa informasi rekrutmen karyawan terbaru PT Pertamina itu adalah hoaks. Masyarakat juga diminta untuk berhati-hati jika mendapatkan informasi yang mengatasnamakan PT Pertamina.

6. Konten Manipulatif (Manipulated content)

Konten yang dimanipulasi adalah ketika konten asli dimanipulasi untuk menipu. Sebuah contoh dari Afrika Selatan menunjukkan gambar yang dimanipulasi dari Editor HuffPost bernama Ferial Haffajee—yang dalam satu kasus, duduk di pangkuan seorang pengusaha, Johan Rupert—yang menunjukkan ada hubungan pribadi di antara keduanya11Haffajee, F. (2017). Ferial Haffajee: The Gupta fake news factory and me. HuffPost South Africa. (diakses 06/04/2018)..

Kasus lain di Indonesia, salah satunya video berjudul “TANGAN HABIB RIZIEK DIPELINTIR UNTUK MENGHADIRI PERSIDANGAN HINGGA TERKILIR DAN LEBAM” yang diunggah oleh kanal Youtube TITIK TUMPU pada 19 Maret 2021. Gambar thumbnail video ini terdapat foto Habib Rizieq Shihab (HRS) sedang mengepalkan tangan dan pergelangan tangannya tampak berwarna merah.

Faktanya, foto itu merupakan foto editan dengan menambahkan warna merah pada tangan HRS. Foto asli memperlihatkan suasana HRS saat tiba di Polda Metro Jaya pada Sabtu 12 Desember 2020. Pada foto itu tidak terlihat pergelangan HRS mengalami lebam atau memar.

7. Konten Rekaan (Fabricated content)

Jenis konten ini dapat berupa format teks, misalnya “laman berita” yang sepenuhnya dibuat-buat, seperti WTOE5 News, laman berita fantasi yang menerbitkan artikel yang menyatakan bahwa Paus telah mendukung Donald Trump untuk Presiden. Dapat juga berupa visual, seperti halnya grafik yang secara keliru menyarankan bahwa orang dapat memilih Hillary Clinton melalui SMS12Haltiwanger, J. (2016). Trump Trolls Tell Hillary Clinton Supporters They Can Vote Via Text. Elite Daily. (diakses 23/03/2018).. Visual seperti ini ini lazimnya menarget komunitas minoritas di jejaring sosial menjelang pemilihan presiden di AS.

Contohnya di Indonesia, tentang Jason Tjakrawinata (38 tahun) yang ditangkap polisi karena menganiaya CHR (27 tahun), seorang perawat di RS Siloam Sriwijaya Palembang. Kemudian viral di media sosial foto seorang perempuan bernama Mel Melisa, yang tak lain adalah istri Jason Tjakrawinata. Foto dari profil akun Facebook tersebut menunjukkan Mel Melisa adalah pemilik PT Immortal Cosmedika Indonesia.

Pihak PT Immortal Cosmedika Indonesia melalui pengacaranya lalu membantah klaim tersebut. Perusahaan kecantikan itu pun menyatakan tidak akan segan untuk melakukan upaya hukum, baik berupa tuntutan pidana ataupun gugatan perdata kepada pihak yang bersangkutan. Akun palsu dimaksud kemudian menghilang dari Facebook.

Bila dinilai dari tingkat ancaman dari setiap konten, First Draft merankingnya seperti gambar di bawah ini. Meski begitu, diakui bahwa “kekacauan informasi” itu kompleks. Beberapa di antaranya bisa dikategorikan sebagai polusi informasi tingkat rendah — seperti judul berita yang clickbait, teks ceroboh, atau sindiran yang membodohi — tetapi beberapa di antaranya canggih dan sangat menipu.

Konten dapat digunakan untuk membingkai, menipu, dan memanipulasi dengan berbagai cara. Daripada melihat semuanya sebagai satu kesatuan, menguraikan teknik-tekniknya dapat membantu ruang redaksi dan memberikan pemahaman yang lebih baik kepada audiens tentang tantangan kekacauan informasi yang kita hadapi sekarang.

First Draft information disorder

________________