Konsekuensi dan solusi dari “kekacauan informasi”
Bagi jurnalisme dan industri berita, kekacauan informasi membawa konsekuensi sangat serius. Hal ini mengakibatkan pengikisan kepercayaan lebih dalam terhadap organisasi berita, jurnalisme, dan jurnalis yang membagikan informasi tak akurat, palsu, atau menyesatkan.
Ketidakpercayaan terhadap media bisa memburuk karena membaurnya laporan berkualitas dengan disinformasi dan iklan mirip berita tapi tak dinyatakan sebagai iklan. Lebih lanjut, hal ini melemahkan peran jurnalis sebagai agen akuntabilitas (misalnya melalui jurnalisme investigasi).
Terkait model bisnis jurnalisme—khalayak mungkin tak lagi mencari media pada saat krisis dan bencana, seiring menurunnya kepercayaan bahwa mereka akan memperoleh informasi yang andal dan terverifikasi demi kepentingan publik. Padahal, basis kepercayaan semacam itu menopang kesetiaan terhadap organisasi media, hal yang penting bagi model bisnis berita yang berkelanjutan.
Dalam situasi ekstrem bisa terjadi penutupan atau pembredelan media (terkadang dengan alasan untuk memberantas “berita palsu”), penghentian layanan internet, pemblokiran laman atau aplikasi, dan penyensoran yang semakin melemahkan kebebasan pers dan kebebasan berekspresi.
Terhadap para jurnalis (khususnya jurnalis perempuan), pelaku disinformasi melakukan berbagai pelecehan secara daring untuk mendiskreditkan liputan yang kritis. Jurnalis juga menjadi target agar terjebak dalam penyebaran konten disinformasi serta misinformasi.
Mengekspos “berita palsu” dan melawan kekacauan informasi
Masalah dan risiko yang diuraikan di atas menuntut kewaspadaan, komitmen terhadap etika, standar peliputan, dan verifikasi yang tinggi (termasuk metode verifikasi kolaboratif) terhadap informasi maupun sumber. Bersamaan dengan itu, perlu sanggahan terhadap hoaks secara aktif, dan liputan kreatif terhadap masalah tersebut.
Berikut adalah beberapa contoh upaya yang dilakukan oleh organisasi berita dan jurnalis secara individu untuk meliput cerita tersebut, melibatkan khalayak dalam literasi berita, dan melawan disinformasi:
- Penggunaan Instagram Stories oleh The Guardian untuk melawan penyebaran disinformasi, melalui video pendek yang dirancang untuk melibatkan khalayak muda (Lihat juga: The Guardian’s ‘Fake News’ interactive quiz);
- Praktik jurnalisme investigasi dan analisis big data oleh Rappler untuk mengungkap jaringan propaganda daring dengan memakai identitas palsu yang berdampak pada demokrasi di Filipina;
- Liputan tentang “kekacauan informasi” yang sangat deskriptif dari The New York Times melalui pendekatan studi kasus;
- Komitmen Columbia Journalism Review terhadap analisis yang bersifat reflektif terkait masalah ini;
- Panduan dari The Guardian Australia bagi jurnalis dalam menghadapi pengingkaran politisi terhadap perubahan iklim;
- Kolaborasi di Jepang antara jurnalis dan akademisi untuk menyanggah “berita palsu” saat Pemilu 2017, yang prinsipnya mengikuti kesuksesan pemantau pemilu CrossCheck di Prancis pada tahun yang sama;
- Di AS, Electionland adalah sebuah contoh menarik tentang kolaborasi yang melibatkan pendidik dan mahasiswa jurnalisme1Catatan editor: CrossCheck dan Electionland adalah bagian dari fenomena inisiatif saat ini yang muncul dalam bentuk kemitraan, untuk melawan disinformasi selama pemilu. Kemitraan “pop-up” seperti itu bisa menjadi fenomena berharga yang mengimbangi ketiadaan atau lemahnya atau keterasingan lembaga-lembaga pemeriksa fakta yang sudah mapan.;
- Liputan investigatif global tentang skandal Cambridge Analytica (melibatkan The Observer, The Guardian, Channel 4 News, dan The New York Times) dan cara Vox Media dalam artikel ini dan artikel ini menjelaskan cerita yang kompleks ini kepada khalayaknya;
- Pemanfaatan kekuatan khalayak oleh The Quint untuk melawan penyebaran disinformasi melalui WhatsApp di India, dan kurasi kreatifnya terhadap konten terverifikasi di WhatsApp2Catatan: Untuk riset yang meneliti peran aplikasi percakapan di era distribusi disinformasi, lihat: Bradshaw, S & Howard, P. (2018). Challenging Truth and Trust: A Global Inventory of Organized Social Media Manipulation. Working Paper 2018.1. Oxford, UK: Project on Computational Propaganda (diakses: 20/8/18).;
Selain itu, ada tawaran solusi menurut Profesor Charlie Beckett3Beckett, C. (2017). op cit dari London School of Economics, yang mendorong praktik jurnalisme etis di era “berita palsu”. Kiat dari Prof Beckett dapat Anda temukan dalam permainan berikut: