Ancaman keamanan digital dan strategi bertahan
Jurnalis, pembela hak asasi manusia, dan pengeblog/aktivis media sosial semakin rentan terhadap serangan siber, dan data atau sumber mereka bisa diungkap oleh aktor jahat termasuk melalui phishing, serangan malware, dan spoofing identitas1Dari Technopedia: “Spoofing” adalah praktik penipuan di mana komunikasi dikirim dari sumber tidak dikenal yang menyaru sebagai sumber yang dikenal oleh penerima. Email spoofing adalah bentuk paling umumnya, yang kadang memuat ancaman lain seperti Trojan atau virus lainnya. (diakses 29/03/2018)..
Contoh praktik ini:
Jessikka Aro, jurnalis investigasi penerima penghargaan, yang bekerja untuk lembaga penyiaran publik Finlandia YLE, menjadi target kampanye “troll” terorganisir sejak 2014. Dia telah mengalami ancaman keamanan digital termasuk spoofing dan doxing2Dari Technopedia: “Doxing” adalah proses menarik, meretas, dan menerbitkan informasi orang lain seperti nama, alamat, nomor telepon, dan detail kartu kredit. Salah satu alasan paling umumnya adalah pemerasan. Istilah doxing berasal dari kata “doc” karena terjadi penarikan dan penyebaran dokumen. Peretas telah mengembangkan berbagai cara untuk ini, salah satu yang paling umum adalah memperoleh surel korban, mengungkap kata sandinya, lalu membuka akun tersebut untuk mendapatkan informasi pribadi lainnya (diakses 29/03/2018)., di mana akun palsu membeberkan informasi kontak pribadinya dan menyebarkan disinformasi tentang dia, meneror aplikasi pengiriman pesan dan kotak surelnya dengan pesan marah.
“Saya menerima telepon yang di dalamnya seseorang menembakkan pistol. Kemudian, seseorang mengirimi saya SMS, mengklaim sebagai almarhum ayah saya dan mengatakan bahwa dia ‘mengamati’ saya,” katanya3Aro, J. 2016. The cyberspace war: propaganda and trolling as warfare tools. European View. Sage Journals, Juni 2016, Volume 15, Issue 1. (diakses 20/07/2018).. Aro menyatakan apresiasi kepada editor yang melindungi jurnalis dari ancaman dan mendorong jurnalis untuk menyelidiki dan mengekspos propaganda.
Karena itu penting bagi para pelaku jurnalistik untuk waspada terhadap 12 ancaman utama di ranah digital4Posetti, J. (2015). New Study: Combatting the rising threats to journalists’ digital safety (WAN-IFRA). (diakses 30/03/2018). seperti yang diuraikan berikut:
- Surveilans individual dan surveilans massal
- Eksploitasi dengan perangkat lunak dan perangkat keras tanpa
sepengetahuan target - Serangan phishing5King, G (2014) Spear phishing attacks underscore necessity of digital vigilance, CPJ. [diakses 29/03/2018].
- Serangan domain palsu
- Serangan Man-in-the-Middle6Dari Technopedia: “Man-in-the-middle” adalah sebuah bentuk penyadapan di mana komunikasi antara dua pengguna dimonitor dan dimodifikasi oleh pihak lain yang tidak berwenang. Umumnya, penyerang melakukan intersepsi terhadap pertukaran public key message, lalu melanjutkan pengiriman pesan dengan mengganti key tersebut (diakses 29/03/2018). (MitM)
- Serangan Denial of Service (DoS) dan Distributed Denial of Service (DDOS)7Dari Technopedia: DoS dan DDoS (diakses 29/03/2018).
- Perusakan laman
- Akun pengguna yang dibajak/ditiru
- Intimidasi, pelecehan, dan pemaparan paksa jejaring daring
- Disinformasi dan kampanye yang mendiskreditkan
- Penyitaan produk kerja jurnalistik, dan
- Penyimpanan dan penambangan data
Untuk strategi bertahan. lihat juga: Building Digital Safety for Journalism8 Henrichsen, J. et al. (2015). Building Digital Safety for Journalism (UNESCO) Paris (diakses 30/03/2018)..
Untuk implikasinya bagi sumber rahasia dan whistleblower yang berinteraksi dengan jurnalis dan produsen media lainnya, lihat: Protecting Journalism Sources in the Digital Age9Posetti, J. (2017). Protecting Journalism Sources in the Digital Age (UNESCO). Paris (diakses 30/03/2018)..
Mengenali dan mengelola pelecehan serta kekerasan daring
“Saya pernah disebut pelacur kotor, Gipsi terkutuk, Yahudi, pelacur Muslim, parasit Yunani, migran menjijikkan, psikopat bodoh, pembohong jelek, pembenci bias. Mereka menyuruh saya pulang, untuk bunuh diri atau mereka akan menembak saya, memotong lidah saya, mematahkan jari saya satu per satu. Mereka terus mengancam saya dengan pemerkosaan massal dan penyiksaan seksual.”10Posetti, J. (2016). Swedish journalist Alexandra Pascalidou Describes Online Threats of Sexual Torture and Graphic Abuse. The Sydney Morning Herald, 24/11/2016 (diakses 30/03/2018).
Itu adalah kata-kata jurnalis Swedia terkenal, Alexandra Pascalidou, yang memberikan kesaksian di depan Komisi Eropa di Brussel pada 2016 tentang pengalamannya di internet.
Peningkatan secara global jenis pelecehan daring ini, yang menarget jurnalis dan komentator perempuan, telah mendorong PBB (termasuk UNESCO11Posetti, J. (2017). Fighting Back Against Prolific Online Harassment: Maria Ressa dalam L. Kilman (Ed) op cit. Lihat juga: Resolusi 39 dari Konferensi Umum UNESCO ke-39 mencatat, “ancaman khusus yang dihadapi oleh jurnalis perempuan termasuk pelecehan seksual dan kekerasan, baik daring maupun luring.” [diakses 29/03/2018].) dan lembaga-lembaga lain mengakui masalah tersebut, serta menyerukan tindakan dan solusi.
The Organisation for Security and Co-operation in Europe (OSCE) telah mensponsori penelitian yang menunjukkan dampak internasional dari pelecehan daring terhadap jurnalis perempuan secara tidak proporsional yang menjadi target “hate trolling”12OSCE (2016). Countering Online Abuse of Female Journalists (diakses 30/03/2018)..
Penelitian itu mengikuti sebuah studi oleh lembaga think tank Inggris, Demos, yang meneliti ratusan ribu tweet dan menemukan jurnalisme adalah satu-satunya kategori di mana perempuan menerima lebih banyak pelecehan daripada laki-laki, “dengan jurnalis dan presenter berita televisi perempuan menerima kira-kira tiga kali lebih banyak pelecehan13Bartlett, J. et al. (2014) Misogyny on Twitter. Demos (diakses 30/03/2018). daripada kolega laki-laki mereka”. Kata kunci yang dipakai para pelaku adalah “pelacur”, “lonte”, atau “pemerkosaan”.
Ciri dari pelecehan daring jurnalis perempuan ini adalah penggunaan taktik disinformasi— penyebaran kebohongan mengenai karakter atau pekerjaan mereka sebagai cara untuk merusak kredibilitas, mempermalukan, dan meredam komentar serta liputan publik mereka.
Penambahan ancaman kekerasan, termasuk pemerkosaan dan pembunuhan, dan efek turunannya (serangan massal secara organik, terorganisir, atau robotik terhadap seseorang secara daring) memperburuk dampaknya.
Sifat intim dari serangan ini, yang sering diterima melalui ponsel sebagai hal pertama di pagi hari dan hal terakhir di malam hari, semakin mempertajam dampaknya. “Ada hari-hari ketika saya bangun langsung menemui kekerasan verbal dan tidur dengan kemarahan seksis dan rasis bergema di telinga saya. Ini seperti peperangan yang pelan-pelan, tapi konstan,” kata Pascalidou.
Di Filipina, CEO dan Editor Eksekutif Rappler, Maria Ressa14Maria Ressa juga merupakan koordinator dewan juri UNESCO-Guillermo Cano World Press Freedom Prize , adalah sebuah studi kasus dalam memerangi banyaknya pelecehan daring, yang merupakan bagian dari disinformasi besar-besaran yang berhubungan dengan negara.
Ressa adalah mantan koresponden perang CNN, tapi dia mengatakan pengalamannya di medan perang tidak mempersiapkan dirinya menghadapi pelecehan daring berbasis gender yang besar dan destruktif yang diarahkan padanya sejak 2016.
“Saya pernah dipanggil jelek, anjing, dan ular, diancam akan diperkosa dan dibunuh,” katanya. Ressa telah kehilangan hitungan berapa kali dia menerima ancaman pembunuhan. Selain itu, ia telah menjadi subjek kampanye tagar seperti #ArrestMariaRessa dan #BringHerToTheSenate, yang dirancang untuk menggiring massa daring ke mode serangan, mendiskreditkan Ressa dan Rappler, serta meredam laporan mereka.
“Kampanye itu menciptakan spiral keheningan. Siapa pun yang kritis atau mengajukan pertanyaan tentang pembunuhan di luar hukum akan diserang, diserang secara brutal. Para perempuan mendapat serangan paling parah. Dan kami menyadari bahwa sistem ini dibuat untuk membungkam perbedaan pendapat— dirancang untuk membuat jurnalis patuh. Kami tidak boleh mengajukan pertanyaan-pertanyaan sulit, dan tentu saja kami tidak boleh kritis,” kata Ressa15Posetti, J. (2017). Fighting Back Against Prolific Online Harassment: Maria Ressa dalam Kilman, L. (Ed) An Attack on One is an Attack on All (UNESCO) (diakses 30/03/2018)..
Strategi perlawanan Maria Ressa meliputi:
- Mengenali keseriusan masalah
- Mengenali dampak psikologis dan memfasilitasi dukungan psikologis untuk pegawai yang terkena dampaknya
- Menggunakan jurnalisme investigasi sebagai senjata untuk melawan balik16Ini juga taktik Ferial Haffajee dalam kasus “Gupta leaks” yang dibahas sebelumnya. Ia menggunakan teknik jurnalisme investigasi dan “detektif” keamanan digital untuk mengungkap sejumlah troll yang menarget dirinya (diakses 16/06/2018).
- Meminta khalayak yang loyal untuk membantu mengusir dan menahan serangan
- Memperketat keamanan daring dan luring sebagai respons terhadap pelecehan
- Secara terbuka meminta platform media sosial (misalnya, Facebook dan Twitter) berbuat lebih banyak untuk mengurangi dan mengelola pelecehan daring secara memadai.
Sambil menghadapi peningkatan ancaman pelecehan daring, penting juga untuk memahami pelecehan luring terhadap jurnalis perempuan dalam konteks kampanye disinformasi. Sebagai contoh, jurnalis investigasi Australia Wendy Carlisle dilecehkan, dihina, dan dipojokkan dalam rapat umum para penyangkal perubahan iklim di Australia pada 2011 saat membuat film dokumenter untuk ABC Radio. Pelecehan itu membuatnya meninggalkan acara demi keselamatannya17Carlisle, W. (2011). The Lord Monckton Roadshow, Background Briefing, ABC Radio National (diakses 30/03/2018)..