Beranda  »  Tata Laksana » Untuk Orang Tua   »   Menangkal Ancaman Internet bagi Anak

Menangkal Ancaman Internet bagi Anak

Oleh: rahadian p. paramita -- 10 Februari, 2010 
Tentang: ,  –  Komentar Dinonaktifkan pada Menangkal Ancaman Internet bagi Anak

Kids protection

Baru saja selesai menulis artikel tentang Eksploitasi Anak dalam Industri Media, muncullah koran Kompas dengan berita utama Predator Incar Anak Kita (offline). Ancaman internet bagi anak itu nyata adanya.

Dunia maya, seperti hutan rimba, tak kalis dari segala ancaman. Bayangkan melepas anak ke dalam hutan tanpa membekalinya kemampuan bertahan hidup — apa kata dunia.

Perdagangan ABG yang rata-rata masih di bawah 18 tahun lewat dunia maya, belakangan mulai meresahkan. Predator dan jaringannya beroperasi layaknya germo melalui akun jejaring sosial Facebook, menawarkan “barang” dan aktif mencari pelanggan di internet.

Anak-anak dan ABG pun jadi korban. Mereka malah menawarkan diri dengan memajang foto di sebuah akun, lalu melalui fasilitas chatting transaksi pun dilakukan. Pembayaran bahkan sudah bisa dilakukan secara online.

Laporan yang mengutip data Komisi Nasional Perlindungan Anak menyebut, terdapat 100 laporan anak hilang yang diduga akibat aktivitas pada jaringan pertemanan di situs jejaring sosial.

Puluhan kasus penjualan seksual komersial melalui Facebook terjadi di kota-kota besar. Anak-anak berusia 14 dan 15 tahun dijadikan pelampiasan kebutuhan biologis orang.

Data Komnas Perlindungan Anak juga menunjukkan bahwa sekitar 53 persen pemakai Facebook di Indonesia adalah remaja berusia kurang dari 18 tahun. Lebih dari setengah.

Ancaman terhadap anak pun kian nyata di dunia maya. Tidak saja melalui perambah di komputer rumahan, atau di warnet, tetapi kini terjadi lewat genggaman tangan mungil mereka.

Makin banyak telepon seluler yang dapat mengakses internet, dan pengawasan perilaku berinternet anak melalui telepon genggam bukan urusan gampang.

Uniknya, situs jejaring sosial marak digunakan anak-anak maupun remaja sebagai tempat berkeluh kesah. Ini lazim terjadi karena mereka merasa tidak diperhatikan oleh sekolah maupun keluarga.

Kondisi ini diperparah dengan nihilnya pembahasan melek media di sekolah, membuat guru maupun orang tua tidak berkutik. Banyak orang tua dan guru gaptek, bahkan tidak tahu apa itu internet.

Kompas menyebut kalangan orang tua itu sebagai digital immigrant, sementara anak-anak kita sekarang adalah para digital native. Tentang ini sudah pernah dibahas dalam artikel Dunia Maya, Hutan Belantara.

Anak-anak yang digambarkan sebagai digital native, menurut Kahardityo, merupakan kalangan serupa penduduk asli di dunia digital saat ini. Mereka lahir dan tumbuh di era digital yang menjadikan mereka memiliki cara berpikir, berbicara, dan bertindak berbeda dengan generasi sebelumnya yang diibaratkan sebagai digital immigrant.

Adapun kalangan orangtua saat ini diasosiasikan sebagai digital immigrant atau penduduk pendatang yang masih berusaha beradaptasi di dunia digital. Sekalipun, dunia tersebut awalnya ditemukan dan dikembangkan oleh penemu dari kalangan ”imigran” itu sendiri.

Mengenal, bukan menghindar dari media

Pendidikan melek media tak bisa ditawar lagi sebagai penangkal ancaman internet bagi anak. Artinya anak-anak harus memahami media dan mampu menghadapi, bukan menghindarinya. Dari web pbs.org, ada pembahasan mengenai internet dan remaja dalam artikel berjudul Not Their Parents’ Online World.

Di akhir artikel tersebut diuraikan hasil penelitian MacArthur Foundation selama 5 tahun yang berupaya menemukan bagaimana teknologi digital mengubah cara anak-anak belajar, bermain, bersosialisasi, dan berpartisipasi.

Salah satu penelitinya, Henry Jenkins, seorang profesor dari Massachusetts Institute of Technology, menyarankan keterampilan yang harus dimiliki anak, dan dikembangkan secara terus menerus oleh orang tua dan guru.

Itu jika masih berharap anak-anak menjadi partisipan aktif, kreatif, dan beretika di dunia baru ini. Jenkins mengingatkan pada definisi “literasi abad ke-21” yang ditawarkan oleh New Media Consortium (2005):

“Literasi abad ke-21 adalah seperangkat kemampuan dan keterampilan di mana literasi aural, visual, dan digital tumpang tindih. Ini termasuk kemampuan untuk memahami kekuatan gambar dan suara, untuk mengenali dan menggunakan kekuatan itu, untuk memanipulasi dan mengubah media digital, untuk mendistribusikannya secara luas, dan untuk dengan mudah menyesuaikannya dengan bentuk baru”.

Literasi tekstual tetap menjadi keterampilan utama pada abad ke-21. Literasi media baru mencakup literasi tradisional yang terbentuk oleh budaya cetak serta bentuk literasi baru yang terbentuk oleh media massa dan digital.

Banyak tulisan tentang Literasi Abad 21 berasumsi bahwa berkomunikasi melalui media visual, digital atau audio visual akan menggantikan membaca dan menulis. Jenkins tidak setuju.

Sebelum siswa dapat terlibat dengan budaya partisipatif yang baru, mereka harus dapat membaca dan menulis. Sama seperti munculnya bahasa tulis mengubah hubungan manusia dengan kelisanan, dan teks cetak mengubah busaya bahasa tulis, lalu budaya digital mengubah budaya teks cetak.

Budaya digital menyediakan sistem pendukung untuk membantu kaum muda meningkatkan kompetensi inti mereka sebagai pembaca dan penulis.

Mereka dapat memberikan kesempatan bagi kaum muda untuk mendapatkan umpan balik tentang tulisan mereka dan untuk mendapatkan pengalaman dalam berkomunikasi dengan publik yang lebih besar, pengalaman yang dulunya terbatas pada jurnalis mahasiswa tetapi sekarang tersedia bagi siapa saja.

Jadi, bahkan pada tingkat literasi tradisional, kita perlu mengubah paradigma kita untuk mencerminkan perubahan media yang terjadi di sekitar kita. Pemutakhiran keterampilan akan melibatkan perluasan kompetensi yang dibutuhkan, tidak mengesampingkan keterampilan lama untuk memberi ruang bagi yang baru.

Di luar keaksaraan inti, siswa membutuhkan keterampilan penelitian. Antara lain, mereka perlu mengetahui cara mengakses buku dan artikel melalui perpustakaan; untuk mencatat dan mengintegrasikan sumber-sumber sekunder; untuk menilai keandalan data; untuk membaca peta dan bagan; untuk memahami visualisasi ilmiah; untuk memahami jenis informasi apa yang disampaikan oleh berbagai sistem representasi; membedakan antara fiksi dan nonfiksi, fakta dan opini; untuk membangun argumen dan mengumpulkan bukti.

Keterampilan tradisional tersebut menjadi lebih penting ketika siswa menjelajahi ruang web yang lebih terbuka dan tanpa seleksi. Keterampilan yang dulu hanya dimiliki pustakawan, kini penting dimiliki pengguna internet.

Siswa juga perlu mengembangkan keterampilan teknis — cara masuk, mencari, menggunakan berbagai program, memfokuskan kamera, mengedit rekaman, melakukan beberapa pemrograman dasar, dan sebagainya.

Melek media, tak sekadar literasi media massa

Para pendukung literasi media selama beberapa dekade terakhir telah menyerukan sekolah-sekolah untuk menumbuhkan pemahaman kritis tentang media sebagai salah satu lembaga sosial, ekonomi, politik, dan budaya.

Apa yang disebut di sini literasi media atau melek media, harus diambil sebagai perluasan untuk literasi media massa, bukan substitusi. Jadi makna media, tak terbatas hanya pada media massa.

Jangan lupa bahwa dalam hal literasi media, kemampuan yang dibutuhkan anak tak lagi sekadar membaca dan menulis seperti dalam literasi lama. Lebih dari itu, menguasai dasar-dasar multi media.

Ditambah lagi kemampuan untuk memahami komunikasi dalam berbagai bentuk, khususnya lewat internet, yang tak bisa dianggap sama dengan komunikasi tatap muka.

Semakin banyak ancaman internet bagi anak di kanal-kanal maya, karena rentan dengan manipulasi, intimidasi, dan persuasi yang harus bisa dikenali anak, dan direspons sepatutnya.

Berikut ringkasan 11 saran dari Henry Jenkins, keterampilan yang harus dimiliki anak dan dikembangkan secara terus menerus oleh orang tua dan guru:

  1. Bermain: Kemampuan untuk bereksperimen dengan lingkungan sebagai metode pemecahan masalah. Anak harus dapat menggunakan fitur-fitur atau sarana yang tersedia di internet sebagai alat untuk memecahkan masalahnya. Misalnya, sebagai alat untuk mencari informasi dalam membuat karya, atau mencari jawaban atas pertanyaan/fenomena yang sulit dimengerti.
  2. Penampilan: Kemampuan untuk mengadopsi identitas alternatif untuk tujuan improvisasi dan penemuan. Anak harus memiliki keterampilan menggunakan identitas alternatif untuk tujuan improvisasi dan pencarian. Saat ini anak pasti mengenal avatar sebagai “penampilan alternatif” di dunia online, ini bisa didayagunakan dalam kasus privacy.
  3. Simulasi: Kemampuan untuk menafsirkan dan membangun model dari dunia nyata. Anak harus mampu menginterpretasi dan merekonstruksi apa-apa yang ada di dunia nyata, dan memodelkannya ke dalam situasi di dunia maya. Banyak hal yang akan ditemukan misalnya hal-hal yang mustahil, khayalan, dan imajinasi belaka.
  4. Apropriasi: Kemampuan untuk mengambil sampel dan mencampurkan konten media secara bermakna. Dalam konteks melek media, anak-anak bukan saja sebagai konsumen, tetapi juga sekaligus produsen. Karenanya, anak harus terampil memilih dan memilah materi-materi yang layak digunakan kembali menjadi karya baru.
  5. Multitasking: Kemampuan memindai situasi dan memfokuskan pada hal-hal yang penting. Memandang sebuah kasus terlalu detail dapat menjebak sudut pandang menjadi sangat sempit. Pada era digital dengan banjir informasi yang harus dihadapi, anak harus terampil berpikir simultan. Mampu memindai situasi secara cepat, menangkap butir-butir penting informasi dari satu materi ke materi lain secara komprehensif.
  6. Kognisi Terdistribusi: Kemampuan berinteraksi secara bermakna dengan alat yang meningkatkan kapasitas mental. Ada banyak sekali fitur di internet, atau khususnya di media sosial yang saling terkait. Terampil menggunakan satu fitur, dan mengintegrasikannya dengan fitur lain, dapat meningkatkan interaktifitas, karena menghubungkan anak dari satu jaringan ke jaringan lainnya.
  7. Kecerdasan Kolektif: Kemampuan mengumpulkan pengetahuan dan membandingkan catatan dengan orang lain demi tujuan bersama. Ketika menggunakan informasi di dunia maya untuk tujuan tertentu, keterampilan untuk mengoleksi dan menyeleksi informasi, serta membandingkannya dengan yang lain, dapat memperkaya informasi tersebut sekaligus memahami perbedaan sudut pandang sumber yang dikoleksi.
  8. Penilaian: Kemampuan mengevaluasi keandalan dan kredibilitas sumber informasi yang berbeda. Begitu banyak sumber informasi di dunia maya, terkadang menjadi kendala besar untuk memastikan mana yang kredibel atau valid, dan mana yang tidak. Keterampilan menilai informasi yang kredibel sangat diperlukan agar tidak salah menggunakan atau saat mengutip sumber informasi.
  9. Menjelajah Transmedia: Kemampuan mengikuti alur cerita dan informasi di berbagai jenis media (misal: ponsel, radio, TV). Media informasi saat ini sangat beragam, dan masing-masing bisa punya sudut pandang sendiri. Berita koran, televisi, di internet, meski membicarakan topik yang sama, dapat berbeda sudut pandangnya. Bahkan di antara jenis media yang sama, misalnya koran, topik yang sama bisa dibahas dari beragam sudut pandang, sehingga menghasilkan respons yang berbeda pula. Keterampilan ini menyoroti bisa atau tidaknya anak merangkum cerita yang disajikan berbagai media, dengan berbagai sudut pandangnya.
  10. Berjejaring: Kemampuan mencari, menyintesis, dan menyebarkan informasi. Berjejaring sudah menjadi panggung dasar di beberapa layanan di internet. Pamor jejaring sosial saat inipun tengah melambung, banyak orang berminat terlibat di dalamnya. Esensi berjaringan, sebagai wadah berbagi, membutuhkan kemampuan dalam menemukan sumber informasi, mengemasnya, dan kemudian membagikannya kepada orang lain agar lebih bermakna.
  11. Negosiasi: Kemampuan bergaul lintas komunitas yang beragam, memahami dan menghormati berbagai perspektif, dan memahami serta mengikuti norma-norma alternatif. Media baru dengan paradigma user generated content, membutuhkan kemampuan untuk menjadi sangat demokratis, mau menerima perbedaan yang muncul dalam berjejaring. Dalam suatu forum di dunia maya, anak diharapkan mampu berinteraksi tanpa memaksakan pandangannya, sekaligus mampu menerima pandangan orang lain meski berbeda. Keterampilan memahami perbedaan itu, adalah bagian dari demokratisasi yang dibutuhkan untuk berinteraksi di dunia maya.

*Photo by Julia M Cameron from Pexels

Artikel lain sekategori:

Maaf, Anda tak bisa lagi berkomentar.