Beranda  »  Artikel » Media Baru   »   “Flexing” Boleh Saja, Asal Ada Perlunya

“Flexing” Boleh Saja, Asal Ada Perlunya

Oleh: Melekmedia -- 24 Februari, 2022 
Tentang: , ,  –  Komentar Dinonaktifkan pada “Flexing” Boleh Saja, Asal Ada Perlunya

Flexing Photo by Mike Jones from Pexels

Istilah flexing berarti menyombongkan diri secara lahiriah, semisal lewat pakaian, tubuh, gaya hidup, mobil, rumah, apa pun yang bisa memuaskan ego seseorang. Jangan salah, pada suatu masa flexing hanyalah kebutuhan dasar makhluk hidup.

Sudah lazim bila makhluk hidup mengirim sinyal kepada lawan jenis sebagai undangan untuk bereproduksi. Hewan seperti merak yang memamerkan ekornya, adalah contoh bagaimana mereka habis-habisan demi mendapat “hubungan”. Atau, pamer otot seperti kanguru.

Manusia punya insting yang hampir sama. Petinju atau kontestan bina raga pamer otot untuk menunjukkan superioritas mereka. Atlet bina raga mengincar kesempurnaan di mata juri, petinju adu otot di depan lawan untuk mengintimidasi. Keduanya sama-sama menunjukkan “kedigdayaan”.

Dari kisah merak, kanguru, petinju, atau atlet bina raga, setidaknya kita sudah punya tiga macam motif. Merak jantan berupaya memikat si betina, atlet bina raga mengumbar kesempurnaan tubuhnya, dan petinju berupaya menciutkan nyali lawannya. Itu hanya contoh kecil dari cikal-bakal flexing.

Perilaku flexing seolah mencatat perubahan perilaku dari pemenuhan kebutuhan dasar menjadi hasrat untuk berkuasa. Setidaknya, untuk mempertontonkan sejenis kekuasaan atau kekuatan. Maknanya jadi berkonotasi negatif, karena aksi pamer juga bisa mengundang kedengkian.

Situs Dictionary.com mencatat istilah flex digunakan sebagai bahasa gaul warga kulit hitam di Amerika Serikat untuk “menunjukkan keberanian” atau “pamer” sejak 1990-an. Rapper Ice Cube menyebutnya dalam lagu “It Was a Good Day” (1992): “Saw the police and they rolled right past me / No flexin’, didn’t even look in a n*gga’s direction as I ran the intersection.”

Flex lalu populer pada 2014 berkat “No Flex Zone” dari duo penyanyi rap Rae Sremmurd (baca: ear drummers): “No flex zone, No flex zone / They know better, they know better.” Frasa “zona tanpa pamer” dimaksud adalah ruang untuk jujur pada diri sendiri, tidak pamer, menghakimi, dan merendahkan orang lain, seperti membenci orang atau menganut kepribadian palsu.

Kata flex jadi meme dan viral di media sosial pada akhir 2017 lantaran seorang pengguna Twitter mengomentari aktivis pesohor asal Pakistan, Malala Yousafzai.

Kicauan oleh Finn Feighery (@finnfeighery) itu sejatinya tak bermaksud menghina. Ia bahkan mengaku pendukung Malala. Ia menggunakan frasa “Weird flex but ok“, atau kira-kira “Pamer yang aneh, tapi gak apa-apa deh”.

Flexing sebagai ekspresi individu

Perilaku flexing makin “menjadi-jadi” sejak media sosial merebak. Di medsos semua orang bisa pamer apa saja sesuka hati, apalagi panggung-panggung gratis memberi ruang untuk konten foto atau video. Instagram atau semacamnya jadi panggung favorit. Lewat teks pun seseorang bisa pamer–apapun motifnya. Materi yang dipamerkan, biasanya kemewahan.

Teori ekonomi menyebutnya “konsumsi menyolok”, lantaran menghamburkan uang untuk barang dan/atau jasa mewah demi unjuk status atau kekuatan ekonomi. Istilah “Conspicuous Consumption” telah muncul dalam buku “The Theory of the Leisure Class: An Economic Study in the Evolution of Institutions“, yang ditulis Thorstein Veblen pada 1899.

Apakah selalu bermakna buruk? Belum tentu. Sebuah penelitian bertajuk “The Characteristics of Fashion Flex on Social Media” yang ditulis Juha Park dan Jaehoon Chun (2021), mengulas panjang lebar tentang aksi pamer fesyen di media sosial, di kalangan warga Korea Selatan.

Penelitian itu ditulis dengan bahasa Korea, tapi abstrak penelitian dengan big data itu menjelaskan: Makna flex diterima secara positif. Flex bisa jadi simbolis ketika membahas barang mewah atau pengalaman mengenakan merek fesyen.

Studi dilakukan dengan analisis data besar yang berasal dari kata kunci “flexing” di berita dan media sosial, serta studi kasus dari 136 gambar di Instagram untuk analisis konten. Temuan mereka, karakteristik fashion flex di media sosial secara garis besar terbagi menjadi tiga kategori.

Pertama, konsumsi yang menyolok dianggap sebagai ekspresi aktif dari selera mode individu atau konsumsi yang berorientasi pada diri sendiri dan menekankan individualitas melalui konsumsi.

Ciri kedua adalah masyarakat aktif berpartisipasi dalam event-event atau fashion flex challenge. Orang-orang menggunakan gaya busana atau produk serupa untuk berpartisipasi dalam interaksi sosial yang menyenangkan dengan orang lain menggunakan berbagai fungsi di Instagram.

Ketiga, istilah flexing di media sosial juga digunakan secara luas untuk menggambarkan aksi mengejar “kesejahteraan psikologis” dan ditunjukkan dengan secara aktif mengeksplorasi materi dan pengalaman terkait mode demi kebahagiaan individu.

Studi ini menemukan bahwa makna dari “konsumsi menyolok” berubah menjadi “konsumsi positif”, seperti ekspresi identitas berbasis selera atau pencarian kesenangan dan kesejahteraan psikologis. Hal ini berarti fesyen telah menjadi sarana yang efektif untuk mengekspresikan individualitas dan selera dalam mengekspresikan flex.

Flexing sukses bukan tanpa alasan

Pamer di media sosial mungkin menggiurkan karena bisa menarik banyak perhatian. Media sosial bisa membuat hidup seseorang terlihat glamor dan menggairahkan. Fenomena ini melahirkan istilah “sultan” atau crazy rich di skena media sosial Indonesia. Publik, dalam skala tertentu, mengapresiasi mereka.

Apresiasi bisa berbuah cercaan bila ternyata palsu belaka. Song Ji-a, bintang reality show Netflix, Single’s Inferno (2021), menuai kritik warganet lantaran menggunakan barang KW alias palsu. Ji-a yang juga Youtuber kecantikan, kedapatan mengenakan atasan Dior dan Chanel palsu dalam serial itu.

Song Ji-a alias FreeZia akhirnya mengakui kesalahan, minta maaf secara terbuka, dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Dia menghapus postingan di akun media sosial, menyisakan postingan permintaan maaf–di akun dengan 3,7 juta pengikut di Instagram dan nyaris 2 juta di YouTube.

“[…] kejahatan terbesar yang dituduhkan adalah dia palsu — dia berpura-pura menjadi sesuatu yang bukan dirinya. Itu masalah yang muncul dari waktu ke waktu,” ujar Se-Woong Koo, editor Korean Exposé, buletin yang berfokus pada budaya Korea kontemporer seperti dikutip BBC.

Sebagai seorang influencer, Song membangun profil di atas kemewahan. Orang-orang mengira dia gadis kaya–atau keturunan orang kaya–dan dia tidak mengoreksi persepsi tersebut. Meskipun, ia pernah membantah status keluarga konglomerat (gold spoon) yang disematkan kepadanya.

Para pengamat mengatakan reaksi terhadap Ji-a ini berakar pada ketegangan kelas yang mendasari masyarakat modern Korea Selatan. Ingat film atau drama TV seperti Parasite (2019) atau Squid Game (2021)? Kisah tersebut merefleksikan ketegangan “gold spoon” vs “dirt spoon“.

“Kita memiliki fantasi tentang orang kaya dan ingin menjadi salah satu dari mereka,” kata Lim Myung-ho, seorang profesor psikologi di Universitas Dankook yang dilansir Korea JoongAng Daily . “Ada yang disebut Efek Panoplie. Saat Anda membeli barang yang sama dengan seseorang, Anda bisa merasa seperti ‘setingkat’ dengan mereka,” imbuhnya.

Fenomena ini sering menjadi alasan utama orang membeli barang-barang mewah. Bahkan jika itu adalah barang terkecil dan termurah dari sebuah merek glamor, pembeli dapat merasa mereka telah menjadi salah satu orang kaya yang sering berbelanja di toko-toko mewah nan tersohor.

Prof Lim pun mengatakan keinginan inilah yang membuat penggemar Song merasa dikhianati. Menurut hematnya, penggemar Song kemungkinan besar merasa bahwa dengan menjadi pengikutnya, mereka bisa “satu liga” dengan Song. Tapi karena fantasi superioritas itu buyar, para penggemar pun kesal.

Bisakah untuk menjalin hubungan?

Merak mungkin melakukannya untuk menarik perhatian lawan jenis, demi reproduksi. Pamer otot mungkin bisa mengundang kekaguman sensual. Bila Anda berminat pamer kemewahan untuk menarik perhatian calon kawan atau pasangan romantis, coba pikir ulang.

Pasalnya, meski simbol status—mobil mewah, dompet mewah, logo desainer, dll.—diasosiasikan dengan keistimewaan, unjuk status saat mencoba mencari teman baru bisa menjadi bumerang.

Studi di jurnal Social Psychological and Personality Science menemukan bahwa 66 persen orang cenderung memilih mobil mewah daripada mobil biasa. Tetapi untuk menarik teman baru, kebanyakan orang lebih suka berteman dengan penunggang “kendaraan biasa”.

Seperti diulas di Insider.com, keinginan Anda untuk menjadi lebih baik dari orang lain, harus diimbangi dengan kenyataan bahwa semua orang akan melakukan hal yang sama. Tidak ada yang ingin dibayangi, merasa inferior di depan orang lain. Aksi flexing tentang kekayaan justru memicu hal tersebut.

“[…] orang berpikir bahwa simbol status seperti mengendarai mobil mewah akan memicu minat untuk persahabatan, tetapi sebenarnya membuat calon teman kurang tertarik pada persahabatan,” kata salah satu peneliti, Stephen Garcia, dikutip dari Psychology Today.

Riset itu menemukan efek serupa dengan pamer jam tangan. Satu kelompok peserta dalam eksperimen berpikir mengenakan Tag Heuer yang mahal akan membantu mereka mendapatkan teman, dibandingkan bila mengenakan jam tangan biasa. Namun, mereka yang berperan sebagai calon teman ternyata merasa lebih suka bertemu dengan orang yang memiliki jam tangan yang “lebih murah”.

“Jadi, bila suatu saat Anda bermedia sosial dengan harapan mendapatkan teman baru, Anda mungkin perlu berhati-hati bahwa beberapa simbol status yang Anda pakai, atau kaitkan dengan diri Anda, mungkin malah “mengusir” orang yang Anda cari untuk dijadikan teman,” imbuh Garcia.

Dengan pamer kemewahan, Anda mungkin bisa mendapatkan “pengikut”. Tapi pengikut belum tentu bisa jadi teman, apalagi teman baik. Pada dasarnya orang tidak suka dan menganggapnya menyebalkan–sebuah fenomena yang disebut “Hubris Hypothesis.”: Orang tidak menyukai individu yang mengomunikasikan superioritas dirinya secara eksplisit.

Ketidaksukaan ini didasarkan pada kesimpulan bahwa tukang pamer dan pembual memiliki pandangan negatif terhadap semua orang di sekitar mereka. Merasa “Saya lebih baik/hebat dari Anda” justru bisa mengirim sinyal ketidaksukaan, ketidakhormatan, bahkan penghinaan bagi yang membacanya.

Sebuah artikel di Psychology Today memberi kesimpulan menarik: Kita semua mempromosikan diri sendiri di media sosial–dalam beragam tingkatan. Sering kali, kita ingin mengomunikasikan keahlian, kompetensi, dan kekuatan kita—terutama yang berkaitan dengan pekerjaan kita.

Tapi kita harus berhati-hati, terutama dalam hal bagaimana melakukannya. Kita harus berusaha memaksimalkan informasi dan nilai yang bisa kita berikan kepada mereka yang membaca postingan, daripada mengumbar hal-hal yang mengundang sorotan tanpa tujuan.

Seperti juga saran Pak Haji Rhoma Irama dalam lagu lewat film “Begadang” (1978): “Begadang boleh saja, kalau ada perlunya…”

*Photo by Mike Jones from Pexels

Artikel lain sekategori:

Maaf, Anda tak bisa lagi berkomentar.