Beranda  »  Artikel » Pantau Media   »   Penolakan Valentine Tak Sekadar Soal Moral

Penolakan Valentine Tak Sekadar Soal Moral

Oleh: rahadian p. paramita -- 13 Februari, 2020 
Tentang: ,  –  Komentar Dinonaktifkan pada Penolakan Valentine Tak Sekadar Soal Moral

Photo by alleksana from Pexels

Suara penolakan terhadap Valentine Day, atau Hari Kasih Sayang yang jatuh pada 14 Februari, nyaris muncul setiap tahun. Sejumlah pemerintah daerah di Indonesia mengeluarkan kebijakan larangan merayakan Hari Kasih Sayang bagi pelajar. Larangan serupa, juga bisa ditemukan di sejumlah negara di dunia.

Sebagian besar penolakan masih seputar moral, dan budaya yang dinilai tak cocok. Di negara-negara dengan penduduk mayoritas muslim, nilai Islam digunakan juga sebagai dasar penolakan. Namun alasan penolakan juga bisa muncul dari cara pandang lain.

Wali Kota Banda Aceh, Illiza Saaduddin Djamal, melarang perayaan hari Valentine, termasuk melalui media sosial seperti Facebook, Twitter dan Instagram. Menurut Pak Wali Kota, ini adalah upaya menjaga akidah Islam generasi muda.

“Ini disampaikan ke generasi muda untuk menjaga akidah Islam. Islam itu agama kasih sayang dan tidak ada yang dikhususkan pada hari kasih sayang dan ini bukan budaya Islam..,” katanya kepada BBC Indonesia.

Menurut BBC Indonesia sejumlah warga Banda Aceh menyatakan tak ada kecenderungan peningkatan perayaan Valentine. Illiza berkukuh, kampanye #ValentineBukanUntukKami diluncurkan karena khawatir tren perayaan Valentine di Banda Aceh akan meningkat.

Pelarangan juga muncul di Kota Bandung, Jawa Barat. Dinas Pendidikan Kota Bandung, mengeluarkan surat edaran ke semua sekolah untuk melarang para siswa merayakan hari kasih sayang alias Valentine.

Dilansir Tempo.co, Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung, Elih Sudiapermana, mengatakan surat edaran akan disebarkan dari SD hingga SMA karena khawatir perilaku menyimpang dalam menyikapi Hari Kasih Sayang. Ia menyebut aktivitas di media sosial hingga seks bebas, pesta-pesta dengan pakaian kurang senonoh, serta minum minuman keras sebagai contohnya.

Pemerintah Kota Kediri, Jawa Timur, juga mengeluarkan surat edaran serupa kepada pihak sekolah di wilayahnya. Surat edaran dengan Nomor 421.9/9b24/419.42/2016 itu dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan, bertarikh 10 Februari 2016.

Valentine dilarang, “Karena tidak sesuai dengan nilai moral, religius, dan kultur bangsa Indonesia,” ujar Siswanto, Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Kediri, dikutip Kompas.com. Mereka juga menyatakan, surat edaran itu didasarkan pada Permendikbud No. 23/2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti.

Penolakan di beberapa negara di dunia

Valentine di Kota Peshawar, Pakistan, resmi dilarang tahun ini. Perayaan Valentine dianggap “tak memenuhi tradisi dan nilai dalam masyarakat”. Dilaporkan The Telegraph, dewan kota Peshawar sukses mengajukan aturan pelarangan Valentine tanpa perlawanan. Inisiatornya adalah Jamaat-e-Islami (JI), sebuah partai Islam sayap kanan.

“Hari Valentine tak ada dalam tradisi dan nilai-nilai kami,” demikian inti resolusi yang diajukan. Resolusi tersebut juga mengutuk “kebudayaan barat”, yang dinilai berlawanan dengan nilai Islam.

Larangan resmi pertama kalinya di Peshawar ini, memberi mandat pada polisi, termasuk melarang penjualan kartu ucapan seputar Valentine. Larangan tersebut, menuai penolakan warga ibu kota Provinsi Khyber Pakhtunkhwa ini. Zar Gul Afridi, ketua sebuah konsorsium lembaga sosial setempat, menyatakan larangan ini tak masuk akal.

Penolakan juga berlaku di Iran. Toko yang menjual pernak-pernik Valentine di Iran, bahkan dianggap melakukan kejahatan. Fox News menulis, polisi telah mengeluarkan peringatan kepada pada toko ritel agar tak mempromosikan Valentine.

Peringatan dimaksud terlarang karena disebut sebagai promosi “dekadensi moral Barat” di Iran. Perkumpulan pengusaha kedai kopi maupun es krim di Tehran, diimbau untuk tidak memperkenankan sepasang anak muda bertukar hadiah Valentine pada 14 Februari. Larangan ini, dilaporkan sudah ada sejak 2009 silam.

Bagaimana dengan negara-negara yang mayoritas penduduknya bukan muslim?

Satu kasus mencuat belakangan ini dari Minnesota, Amerika Serikat. Perayaan Valentine dan hari besar lain yang hanya dirayakan sekelompok tertentu, akan dilarang di sebuah sekolah dasar di kota St. Paul.

Kepala SD Negeri Bruce Vento itu, Scott Masini, menyebut siswanya yang berasal dari berbagai latar belakang hanya perlu merayakan hari besar yang diwajibkan pemerintah. Ia ingin sekolahnya lebih inklusif, tak meminggirkan kelompok etnik atau agama tertentu dalam sebuah perayaan.

Sekolah itu memang diisi beragam siswa dari berbagai belahan dunia. Terdapat 52,3 persen dari Asia atau kepulauan Pasifik, 35,4 persen berkulit hitam, 6,9 persen hispanik, 4,3 persen berkulit putih, dan 1 persen lainnya warga asli Amerika dan Alaska. Lebih dari setengah siswa menguasai bahasa Inggris sebagai bahasa kedua.

“Menurut hemat saya, kami perlu menemukan cara yang pantas dalam merayakan hari besar yang inklusif bagi seluruh siswa,” tulis Tuan Masini dalam sebuah halaman Facebook khusus bagi orang tua siswa, yang dikutip media setempat, Star Tribune.

Beberapa hari besar yang akan dilarang perayaannya di sekolah antara lain Halloween, Thanksgiving, Natal, dan Valentine. Scott Masini yang telah tinggal di distrik tersebut selama hampir 20 tahun, dan menjadi kepala sekolah Bruce Vento sejak 2013, menyatakan keputusan ini diambil setelah berkonsultasi dengan para staf.

Ia juga menyadari, keputusan ini bukanlah hal yang lumrah, dan membuka pintu bagi orang tua yang keberatan dengan keputusan tersebut.

Ini bukan kasus pertama di Amerika Serikat. Pada 2013, dua sekolah di Orange County–setingkat kabupaten–di California juga pernah melarang peringatan Valentine di sekolah. Alasannya, kegiatan akademik tak boleh terganggu oleh aktivitas berbagi hadiah saat Hari Kasih Sayang itu tiba.

Dilaporkan Orlando Sentinel pada 2013, kepala sekolah SMA Lake Nona, Margaret Nampon, telah mengirim pesan kepada para orang tua bahwa siswa tak diperkenankan membawa hadiah Valentine ke kelas. Bagi yang melanggar, hadiahnya akan disita sekolah.

Ibu Margaret ini beralasan, “para siswa harus fokus pada pembelajaran, dan menghindari hal-hal yang mengganggu konsentrasi belajar”. Kebijakan yang sama, juga diterapkan kepala sekolah sekota, SMA Cypress Creek High.

“Siswa tak diperbolehkan membawa balon, bunga, atau pernak-pernik Valentine lainnya ke sekolah,” ujar kepala sekolah Cypress Creek High, Susan Storch. “Kami tak akan membiarkan gangguan yang tak perlu terhadap lingkungan akademik,” imbuhnya.

Perayaan Valentine merusak lingkungan?

Alasan penolakan Valentine yang mungkin jarang terdengar adalah soal lingkungan hidup. Nilai ekonomis Valentine yang luar biasa tinggi, memberi tekanan pada lingkungan. Terdengar mengada-ada, namun ini adalah salah satu kritik–jika tak bisa disebut alasan–terhadap Valentine yang bisa disebut paling rasional.

Kritik atas dampak lingkungan yang ditimbulkan Hari Valentine, ditulis Kathleen Buckingham dari World Resources Institute yang berbasis di Washington DC, Amerika Serikat. Kathleen mengisahkan, sejak 1939 berlian jadi perhiasan yang dipopulerkan jenama De Beers sebagai bukti cinta. Tiga tahun kemudian, 80 persen cincin pertunangan di AS menggunakan berlian.

Ini menyebabkan penambangan berlian yang masif, dan mempopulerkan istilah “blood diamonds” (berlian berdarah). Di Afrika, konflik akibat penambangan berlian dan pemanfaatannya, telah menelan korban hingga 3,7 juta jiwa. Sebagian besar karena perang yang dibiayai dari perdagangan gelap berlian.

Pada 2000 sempat muncul inisiatif untuk menghentikan perdagangan berlian di dunia, karena alasan ini. Amnesty International AS bahkan turut mendukung pembuatan film Blood Diamond (2006), dibintangi Leonardo DiCaprio dan disutradarai Edward Zwick.

Selain berlian, emas juga menjadi bahan baku perhiasan yang lazim. Namun penambangan emas pun punya potensi masalah, khususnya dalam degradasi lingkungan. Penambangan masif meski terkontrol, sulit dilepaskan dari erosi, berkurangnya luasan hutan, emisi gas rumahkaca, hingga polusi beracun sianida.

Tingginya permintaan atas bunga, juga tak lepas dari dampak lingkungan. Pernah mendengar nama Danau Naivasha di Afrika? Danau air tawar di Kenya ini, pada era 1960-an pernah dinobatkan sebagai satu dari 10 habitat burung terbaik di dunia. Pada 1969 tercatat “hanya” ada 27 ribu jiwa yang menghuni sekitar wilayah tersebut.

Kawasan di sekitar danau di luar kota Naivasha, Nakuru County, barat laut Nairobi tersebut, merupakan pusat perkebunan bunga di Kenya. Setiap hektare lahan perkebunan bunga dengan teknik pengairan paling efektif, butuh 40 meter kubik air per hari. Bunga yang ditanam di tempat terbuka, butuh tiga kali lebih banyak dari itu. Padahal, ada sekitar 2.000 are lahan bunga di sana kala itu.

“Kini danau itu berwarna cokelat kegelapan. Kita semua telah mengorbankannya demi meningkatkan standar kehidupan dan gaya hidup,” ujar Dr. David Harper, pengajar senior di Leicester University, Inggris, yang telah meneliti Naivasha selama lebih dari 20 tahun.

Kutipan Dr. Harper itu ditulis jurnalis Kenya, Ochieng Ogodo, bersama editor The Guardian, John Vidal, dalam artikelnya menyambut Hari Valentine pada 2007 di The GuardianOchieng juga menulis artikel berjudul “The Hidden Costs of Valentine’s Day“, menyoroti degradasi lingkungan, dan kehidupan sosial di Nakuru.

Namun nilai ekonomi bunga memang menggiurkan. Dewan Bunga Kenya (KFC), tulis Ochieng, menyatakan bahwa perkebunan bunga adalah salah satu aktivitas ekonomi terpenting di negeri itu. Pada 2005, Kenya mengekspor 81 ribu ton tangkai bunga dan menghasilkan USD350 juta. Kenya, menjadi penyuplai utama ke negara-negara Uni Eropa.

Sebesar 31 persen dari total impor bunga di Uni Eropa datang dari Kenya, menyingkirkan pesaingnya seperti Israel, Kolombia, Zimbabwe, Zambia, Ekuador, dan Uganda. Tak pelak, industri bunga di Kenya menjadi gantungan hidup bagi 50-70 ribu pekerja, dan satu jutaan lainnya di seputar bisnis ini.

Di negara maju seperti Amerika Serikat, nilai belanja dalam perayaan Valentine tahun ini diperkirakan bernilai USD19,7 miliar. Hampir setara Rp260 triliun dengan kurs dollar saat tulisan ini dibuat.

Beberapa pernak-pernik paling populer di antaranya permen (cokelat), bunga, kartu ucapan, biaya makan malam di luar, atau baju baru. Kegiatan makan malam di restoran atau nonton bioskop, diduga akan paling banyak menyedot jatah belanja. Pengeluaran terbesar kedua ditaksir dalam hal belanja perhiasan.

Kartu ucapan Valentine mungkin menjadi pernak-pernik yang nilai belanjanya paling kecil di AS, karena harga satuannya relatif lebih murah–dibanding perhiasan, misalnya. Tapi animo untuk membeli kartu ucapan Hari Valentine, masih termasuk yang paling tinggi.

Pria, menjadi yang terboros saat Valentine di AS. Hasil survei National Retail Federation pada Januari 2016 menyatakan, para pria rela membelanjakan rata-rata USD196,39 untuk membiayai perayaan Valentine. Adapun kaum hawa tak merogoh koceknya sedalam itu. Nilai belanjanya rata-rata setengah kaum pria, USD99,87.

Nilai total ekonomi Valentine 2016 ini, memang belum setara lebaran 2015 di Indonesia yang mencapai Rp680 triliun. Angka perkiraan belanja lebaran yang dikemukakan ekonom Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Kresnayana Yahya, kepada Tempo.

Meski begitu, belanja atas nama kasih sayang pada 2016 di AS jauh lebih tinggi dari angka rata-rata per tahun yang mencapai USD13,9 miliar. Perkiraan itupun masih lebih tinggi dari belanja tahun lalu, USD18,9 miliar. Hari Valentine 2015, menjadi hari raya terbesar keempat di AS berdasarkan jumlah uang yang dibelanjakan.

Dalam survei pada Januari 2016, kartu ucapan pertanda sayang yang menandai legenda Valentine, masih diminati. Data menunjukkan, kartu ucapan masih jadi favorit kedua bagi warga AS, meski trennya menurun. Hanya sedikit lebih rendah dari minat untuk membeli cokelat–salah satu ikon dalam perayaan Hari Valentine.

Menurut Asosiasi Pengusaha Kartu Ucapan AS, Greeting Card Association, warga Amerika Serikat membeli setidaknya 6,5 miliar kartu setiap tahunnya. Natal masih jadi momen paling ramai dengan 1,6 miliar unit kartu ucapan terjual. Sedangkan Valentine, adalah momen kedua terlaris dalam hal penjualan kartu, mencapai 145 juta unit.

Pada Valentine tahun ini, diperkirakan peredaran kartu ucapan mencapai 180 juta unit. Hal yang tak mungkin dibayangkan sang legenda Saint Valentine, saat membubuhkan kata “Your Valentine” pada sebuah kartu di penghujung hidupnya.

Masalahnya lagi-lagi, seberapa besar dampak lingkungan terhadap permintaan kartu yang notabene berbahan kertas dan menggunakan tinta cetak. Upaya konkret untuk membuktikan dampak lingkungan peredaran kartu ucapan Valentine pernah dilakukan organisasi non-profit lingkungan, World Wide Fund (WWF) pada 2015.

Berdasarkan temuan WWF, penjualan kartu ucapan di Inggris bisa jadi berkontribusi terhadap kerusakan hutan di negara-negara tropis. Meskipun, peredaran kartu ucapan tersebut memang legal.

Mereka sengaja membeli 20 kartu beserta amplopnya dari tiga produsen, dan diuji di Institution for Paper Science and Technology, di Darmstadt, Jerman. Hasil pengujian menemukan, tiga produk dari tiga produsen mengandung sejumlah MTH, atau mixed tropical hardwood.

Adanya MTH menjadi tanda, bahwa bahan baku kartu ucapan tersebut datang dari hutan tropis. WWF pun mendesak semua produsen kartu ucapan menjamin produk mereka tidak datang dari kayu ilegal yang banyak berasal dari Asia Tenggara.

“Hasil ini menunjukkan harga kartu ucapan Valentine yang kita bayar, sesungguhnya lebih mahal dari banderolnya. Kartu-kartu itu bisa jadi berkontribusi terhadap tergerusnya hutan yang sangat berharga bagi dunia,” ujar Beatrix Richards, dari WWF.

*Tulisan ini aslinya diterbitkan di Beritagar.id berjudul “Beragam alasan para penolak Valentine” pada 14/02/2016. | Photo by alleksana from Pexels

Artikel lain sekategori:

Maaf, Anda tak bisa lagi berkomentar.