Beranda  »  Artikel » Pantau Media   »   Sang “Pakar dari Segala Pakar”

Sang “Pakar dari Segala Pakar”

Oleh: Melekmedia -- 31 Maret, 2022 
Tentang: , ,  –  Komentar Dinonaktifkan pada Sang “Pakar dari Segala Pakar”

Pakar Pexels rfstudio 3825468

Media sosial melahirkan banyak bintang. Ia juga melahirkan “Pakar dari Segala Pakar”. Tengok saja fenomena meme Lesti Kejora ihwal tokoh yang “dimintai” pendapat untuk segala hal.

Penyanyi dangdut sekaligus istri dari aktor dan presenter Rizky Billar dijadikan meme (baca: mim) oleh warganet. Pedangdut asal Jawa Barat jebolan ajang pencarian bakat D’Academy 2014 itu jadi kepala berita atau kapsi foto mengandung frasa: “Begini Tanggapan Lesti”.

Misal terkait tamparan Will Smith di Oscar 2022, muncul meme “Will Smith Tampar Chris Rock, Begini Tanggapan Lesti Billar”. Atau, meme “Tentang Tikungan 13, Begini Tanggapan Lesti”. Bahkan soal naiknya harga BBM, warganet pun penasaran, “Bagaimana tanggapan Lesti?”.

Di linimasa Twitter, kata kunci “Tanggapan Lesti” bisa mengungkap beragam kelucuan warganet menanggapi berbagai isu. Frasa itu dipakai untuk menjawab pertanyaan, atau menanggapi fenomena. Semisal percakapan tentang klub sepakbola Persipura yang terdegradasi ke liga 2, warganet pun menambahkan, “…begini tanggapan Lesti Billar”.

Bila merunut arsip di mesin pencari Google, kita bisa temukan pemberitaan pada 2019 dengan frasa “Tanggapan Lesti”. Semisal berita ini, “Tanggapan Pedangdut Lesti Dikabarkan akan Segera Menikah” dari Viva.co.id. Belum bisa dipastikan apakah ini berita yang pertama menggunakan frasa tersebut.

Lalu pada Desember 2020, ada berita berjudul “Jadi Perdebatan, Begini Tanggapan Lesti saat Dirinya Jadi Wanita Tercantik Kelima” dari Merdeka.com. Ini lagi-lagi menggunakan frasa “Tanggapan Lesti” pada kepala berita. Dan ini berita betulan, alias bukan meme belaka.

Setahun kemudian, September 2021, masih bisa ditemukan berita asli lainnya, misal artikel Suara.com berjudul “Kehamilannya Jadi Bahan Gunjingan, Ini Tanggapan Lesti Kejora“. Gosip seputar Lesti Kejora alias Lesti Billar ini masih saja menarik perhatian media dan warganet.

Awal Maret lalu, komentar Lesti kembali jadi berita. Ia mengomentari wajah anak pertama pasangan Aurel dan Atta Halilintar, yang menurutnya mirip Sang Ayah. “Oh berarti Kakak Lolly yang suka duluan sama Kak Atta,” ujar Lesti. Adegan dari vlog di kanal Youtube Leslar Entertainment itu, pun meramaikan dunia maya.

Terhadap meme Lesti yang belakangan beredar, Rizky Billar sempat merespons di Instagram. Ia menanyai istrinya tentang meme yang sedang ramai itu. “Sayang.. sayang.. mau tanya dong gimana tanggapan kamu terkait ‘tanggapan Lesti’,” tanya Billar. Sementara Lesti hanya tertawa, lalu pergi tanpa berkomentar.

Adapun meme rekaan soal Lesti itu bisa dilihat di kiriman akun Twitter @kegblgnunfaedh (28/3/2022). Kicauannya sudah dikirim ulang lebih dari 5 ribu kali, dan mendapat tanda suka dari 25 ribu akun lebih.

tanggapan lesti kejora

Matinya kepakaran pada era media sosial

“Begini Tanggapan Lesti” mungkin hanyalah sekadar meme. Tak bisa menyalahkan Lesti meski ia doyan komentar, karena punya hak berpendapat tentang apa pun. Apakah publik atau media mendengar, atau mempercayai pendapatnya, itu hal lain.

Namun, ia bisa jadi refleksi tentang bagaimana kepakaran telah mati. “Ini adalah masa yang berbahaya. Belum pernah ada begitu banyak orang yang memiliki akses ke begitu banyak pengetahuan, namun menolak untuk mempelajari apa pun,” ungkap Thomas “Tom” Nichols yang menulis buku “The Death of Expertise” (2017).

Hanya karena pernah mengikuti satu mata kuliah, seorang sarjana bisa merasa berhak berkomentar atas fenomena global. Dengan bantuan media sosial, komentar itu bisa tersebar luas. Sialnya, publik ada yang percaya dan memegang pendapat tersebut sebagai kebenaran.

Seorang dokter, dengan mengandalkan pengalaman pribadinya, boleh saja berkomentar soal kekerasan yang dipertontonkan di panggung Oscar 2022. Dia boleh saja setuju dengan aksi koboi Will Smith atas Chris Rock. Tetapi menyangkut mana yang seharusnya dilakukan, itu urusan lain.

Nichols seperti meramal masa depan lewat bukunya itu. Ia bilang bahwa keahlian tidak benar-benar mati, namun, kini menghadapi masalah besar. Kisahnya memang sangat lekat dengan pengamatan di Amerika Serikat, tetapi kini bisa kita temukan secara global. Berkat media sosial.

Pandemi Covid-19 adalah potret konkret atas gagasan Nichols. Kita bisa melihat dengan gamblang, banyak “ahli” dadakan bicara di media sosial: Twitter, Instagram, Facebook, YouTube, atau bahkan TikTok. Beberapa di antaranya sangat berbahaya bagi kesehatan.

Dilansir dari Liputan6.com, hingga Jumat (29/3/2022) sebaran hoaks seputar Covid-19 di media sosial sebanyak 5.761 dengan temuan hoaks sebanyak 2.155. Hoaks yang beredar lewat Facebook paling banyak, mencapai 5.054 unggahan. Sedangkan terbanyak kedua lewat Twitter, 573 unggahan.

Banjir informasi tidak selalu bermakna positif. Di satu sisi publik punya banyak pilihan, di sisi lain tak ada jaminan mana pilihan terbaik. Jumlah media meledak sejak adanya internet, pun melahirkan media sosial. Tetapi tidak berarti publik makin “pintar” karena punya banyak pilihan sumber.

“Mengatakan bahwa warga AS kini memiliki lebih banyak sumber berita daripada sebelumnya, seperti mengatakan mereka memiliki lebih banyak pilihan tempat makan daripada sebelumnya. Hal itu benar, tetapi tidak berarti bahwa siapa pun menjadi lebih sehat dengan makan di hampir tiga ratus ribu restoran dan gerai makanan cepat saji,” kata Nichols.

Dalam pengantar buku ia juga menulis, “[…] Pilot menerbangkan pesawat, pengacara mengajukan tuntutan hukum, dokter meresepkan obat. Tak satu pun dari kita adalah Da Vinci, yang melukis Mona Lisa di pagi hari dan merancang helikopter pada malam hari. Begitulah seharusnya.”

Bahwa para ahli memang bisa membuat kesalahan, butir utamanya adalah ahli yang lain bisa menentang dan menghasilkan solusi. Itulah fungsi perdebatan ilmiah, yang menurutnya tak pernah ia hindari selama berkecimpung sebagai ahli baik bagi kepentingan publik maupun privat.

“[…] argumen yang terinformasi adalah tanda kesehatan intelektual dan vitalitas dalam demokrasi,” tegasnya dalam buku setebal 270-an halaman.

Publik harus bisa bersikap

Media massa, dalam hal ini punya peran penting. Jurnalisme seharusnya memilah, mana narasumber yang layak untuk didengarkan publik. Secara alamiah, jurnalisme sudah punya perangkat aturan dan kode etik untuk itu. Problemnya, media massa kini tak mendominasi narasi.

Setidaknya dalam riset termutakhir tentang Indeks Literasi Digital di Indonesia oleh Kementerian Kominfo pada 2021, bekerja sama dengan Siber Kreasi dan Katadata Insight Center (KIC), bisa memberi gambaran.

Media sosial ada di peringkat pertama dalam hal pencarian informasi. Uniknya, media sosial bukan yang paling dipercaya dalam hal sumber informasi. Televisi tetap yang paling dipercaya. Kepercayaan terhadap media daring meningkat, walaupun “hanya” menempati posisi keempat, di bawah televisi, media sosial dan situs web pemerintah.

Jurnalisme tak kalis dari kesalahan. Kesalahan demi kesalahan, merusak reputasi jurnalisme itu sendiri, dan publik pun berpaling pada “kenyataan alternatif”. Salah satunya adalah media sosial. Namun patut dicatat, media sosial tak selamanya menghasilkan konten buruk, begitu pun jurnalisme.

Nichols mengambil contoh isu yang populer di media massa, tentang cokelat bisa menurunkan berat badan. Berita itu diklaim hasil riset Johannes Bohannon dari Institute of Diet and Health, asal Jerman.

Faktanya, “Institute of Diet and Health” itu tidak pernah ada. “Johannes” Bohannon sejatinya adalah seorang jurnalis bernama John Bohannon, yang menggambarkan karyanya sebagai “bagian dari tim berisi ‘jurnalis gonzo’ dan seorang dokter yang ingin mendemonstrasikan betapa mudahnya mengubah sains yang buruk menjadi berita utama seputar diet.”

Menghadapi situasi ini, Nichols memberi empat saran untuk publik sebagai konsumen berita: Jadilah lebih rendah hati, jadilah generalis (ecumenical), kurangilah sinisme, dan menjadi lebih diskriminatif.

Tetaplah rendah hati. Buatlah asumsi awal bahwa orang-orang yang menulis di media, serendah apapun kualitasnya, tahu lebih banyak tentang apa yang ia tulis daripada yang Anda tahu. Bila beranggapan paling tahu terhadap cerita apa pun di media, atau sumber apa pun dari sebuah informasi, Anda tidak akan mendapat perspektif baru.

Ecumenical agak sulit diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, tapi bisa dimaknai sebagai “umum” atau generalis. Maksudnya, jangan fanatik pada satu media tertentu. Bacalah media dari berbagai merek, dan berbagai sudut pandang, kalau perlu dari berbagai wilayah di dunia.

Jangan sinis, tapi tetaplah skeptis. Media atau jurnalis tak ada yang berniat untuk berbohong—kecuali mereka memang abal-abal. Bahwa sekali-dua jurnalis berbuat kesalahan, maafkanlah. Biar bagaimanapun satu media tak mungkin memonopoli kenyataan. Satu kesalahan di sebuah media, mungkin bisa dilawan dengan versi lain di media yang lain.

Lebih diskriminatif. Ini bisa dikalimatkan ulang menjadi “Adil sejak dalam pikiran”. Bila Anda menemukan informasi yang menurut Anda tidak benar, lebih baik analisis secara mendalam:

Siapa penulisnya? Apakah mereka memiliki editor? Apakah ini jurnal, atau surat kabar yang berpihak, atau bagian dari operasi politik? Apakah klaim mereka dapat diperiksa, atau adakah media lain yang mencoba memverifikasi atau menyangkal cerita mereka?

Nichols secara tidak langsung menyarankan melek media bagi publik. Pada akhirnya, keputusan untuk mengonsumsi ada di tangan konsumen. Lesti Billar boleh berpendapat tentang apa saja, itu suka-suka dia. Kembali kepada publik untuk memilih, apakah akan mempercayai komentarnya tentang penyebab dan solusi kenaikan harga BBM?

*Photo by RF._.studio

Artikel lain sekategori:

Maaf, Anda tak bisa lagi berkomentar.