Beranda  »  Artikel » Media Baru   »   Wacana Blockchain dalam Pemilu

Wacana Blockchain dalam Pemilu

Oleh: Melekmedia -- 6 Juni, 2022 
Tentang: , ,  –  Komentar Dinonaktifkan pada Wacana Blockchain dalam Pemilu

blockchain pixabay buku besar

Partai Ummat mengusulkan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 dilangsungkan dengan sistem e-voting berbasis blockchain demi perbaikan.

Menurut pendirinya, Amien Rais, setelah Orde Lama atau Orde Baru, Indonesia selalu membicarakan bagaimana caranya pemilu bisa dilaksanakan secara luberjurdil.

Pemungutan suara dengan teknologi digital cukup menggunakan aplikasi di ponsel cerdas. Tidak ada lagi cerita tentang kertas dan kotak suara yang diganti di suatu tempat.

Berkat rantai blok data yang terintegrasi dengan kriptografi, seluruh data hasil pemilihan disimpan di pusat-pusat data yang banyak, tidak terpusat melainkan dalam sebuah konsorsium.

Mereka mengklaim, penerapan e-voting berbasis rantai blok ini bisa menghemat anggaran hingga Rp90 triliun dalam Pemilu 2024.

Anggaran Pemilu 2024 mencapai Rp110 triliun, dengan rincian Rp76,6 triliun anggaran KPU dan Rp46 triliun untuk Bawaslu.

Segala persiapan Pemilu 2024 telah dan sedang dijalankan, lalu apakah cukup waktu bila ingin berubah? Amien bilang pihaknya akan berkoordinasi dengan DPR RI membahas teknisnya.

Pemilu via internet di Estonia

Ketua Umum Partai Ummat, Ridho Rahmadi, pada kesempatan lain mengatakan, “e-voting berbasis blockchain sudah lebih dulu dipakai oleh Estonia pada awal 2005 dan terbukti berhasil”.

Namun, Estonia belum menggunakan blockchain per 2005. Negara kecil di Eropa utara itu menggunakan internet voting sejak 2005—setengah pemilihan dengan metode ini—dan merintis rantai blok sejak 2008.

Estonia memang dikenal sebagai negara pertama yang menggunakan teknologi digital dan internet untuk pemerintahan—internet voting (i-Voting) salah satu teknologi andalannya.

blockchain estonia
Penjelasan di laporan PricewaterhouseCoopers (PWC – 2019)

Seperti dijelaskan dalam dokumen PricewaterhouseCoopers (2019), Estonia sudah merintis e-government sejak 1997—saat internet masih mengandalkan dial-up dengan kecepatan maksimum mencapai 56 kbps.

Pemanfaatan blockchain baru dimulai sejak 2008 lantaran pada 2007 server dan jejaring mereka pernah kebobolan. Awalnya karena pemerintah Estonia memutuskan bergabung dengan NATO, yang membuat Rusia murka.

Saat itu Satoshi bahkan belum merilis whitepaper-nya soal bitcoin yang mempopulerkan blockchain. Istilah “blockchain” di Estonia saat itu dikenal sebagai “hash-linked time-stamping“.

Mereka kini menggunakan teknologi rantai blok, bernama Keyless Signature Infrastructure (KSI) buatan Guardian Time.

Blockchain dipakai untuk apa

Blockchain adalah buku besar atau sistem basis data terdistribusi dengan salinan data yang tersedia setiap saat untuk semua pemangku kepentingan.

Karena sifat terdistribusi ini, hampir tidak mungkin bagi satu orang atau pihak tertentu untuk meretas buku besar semua orang, memastikannya aman terhadap serangan siber.

Buku besar ini bisa berlaku publik, atau terbatas pada konsorsium tertutup. Dalam urusan pemerintahan, biasanya menggunakan versi terakhir.

Tidak seorang pun—baik peretas, maupun administrator sistem, atau bahkan pemerintah itu sendiri—dapat memanipulasi data dan bisa lolos begitu saja.

Blockchain di Estonia bukan sekadar tentang pemilihan, tetapi sistem terintegrasi. Dari data kependudukan, hingga layanan pemerintahan lainnya.

Sektor pemerintahan pemanfaat blockchain di Estonia yakni Pendaftaran Kesehatan, Pendaftaran Properti, Pendaftaran Bisnis, Pendaftaran Suksesi, Pengadilan Digital, Sistem Informasi Pengawasan/Pelacakan, Pengumuman Resmi Negara, dan Lembaran Negara.

Blockchain belum populer

Gagasan pemanfaatan blockchain untuk pemilu sudah banyak diteliti. Selain Estonia, ada Rusia dan Korea Selatan yang juga tertarik.

Meski tampak murah, teknologi ini masih menghadapi skeptisisme publik. Perkara utamanya adalah kurangnya kepercayaan pada teknologi itu sendiri.

Kertas sebagai bukti pemilihan masih dianggap sebagian pihak sebagai bukti yang mudah dan murah, publik pun secara umum bisa menerimanya.

Dengan teknologi canggih, publik yang tak paham merasa tak nyaman, karena banyak hal di balik teknologi itu masih misterius bagi mereka.

Kendati begitu, tak menyurutkan para peneliti. Misalnya dari Universitas Multimedia Nusantara. Contoh penelitian lainnya juga bisa dibaca di sini, oleh peneliti gabungan dari sejumlah universitas di Eropa.

Manfaatnya memang tak bisa disangkal. Blockchain bisa membantu dalam meningkatkan integritas otoritas pemilu dan proses pemungutan suara.

Premisnya bahwa validasi informasi terjadi secara desentralistik di antara banyak otoritas, membuatnya jauh lebih sulit untuk memanipulasi pemilihan.

Tak perlu lagi mengkhawatirkan pemungutan suara melalui pos yang sengaja ditunda, atau tidak dapat diverifikasinya suara dalam sistem pemungutan suara elektronik yang ada.

*Foto ilustrasi: Pixabay via Pexels

Artikel lain sekategori:

Maaf, Anda tak bisa lagi berkomentar.