Beranda  »  Artikel » Pantau Media   »   The Clicking Monkeys versi Rusdi Mathari

The Clicking Monkeys versi Rusdi Mathari

Oleh: Melekmedia -- 12 Februari, 2014 
Tentang: , , ,  –  Komentar Dinonaktifkan pada The Clicking Monkeys versi Rusdi Mathari

Clicking monkeys

Catatan Melekmedia: Beredar hoaks di media Indonesia tentang PM Singapura Lee Hsien Loong memutuskan tidak berteman lagi dengan Presiden SBY di Facebook. Lee dikabarkan wartawan menghapus tag foto SBY di album foto di Facebook-nya. Salah satunya dimuat di sini.

Kabar itu dikutip dari NewNation.sg, sebuah situs yang dijelaskan sebagai “[…] the most dysfunctional, satire site in Singapore“. Namun, pengutip tak sadar bahwa yang dikutipnya adalah situs satire. Karena fenomena ini, seorang wartawan, Rusdi Mathari menuliskan pendapatnya di blog, rusdimathari.wordpress.com. Atas seijin empunya, kami salin ulang tulisan itu di sini.

Seorang wartawan menjuluki mereka yang suka menyebarkan informasi yang tidak jelas sumbernya sebagai the clicking monkeys. Celakanya para wartawan sering menjadi kumpulan monyet semacam itu. Mereka menulis apa saja yang dipungut dari sumber apa saja dan tidak jelas. Sebagian menulis tanpa malu dengan tak mencantumkan asal-usul sumbernya.

oleh Rusdi Mathari

THE HOAX adalah nama sebuah judul film drama yang dibuat 2005. Film itu berkisah tentang kisah hidup Clifford Michael Irving, wartawan investigasi yang cukup terkenal di Amerika Serikat. Dia juga menulis beberapa buku. Antara lain biografi Howard Hughes, salah satu orang kaya di Amerika.

Buku itulah yang kemudian diangkat ke layar lebar meski belakangan diketahui, banyak yang ditulis oleh Irving di bukunya dihilangkan atau diubah dan tidak muncul di “The Hoax”. Irving kesal dan menganggap film itu penuh kebohongan.

Dia kemudian meminta agar namanya tidak dimunculkan di kredit film. “The Hoax” sejak itu menjadi terkenal. Bukan karena menarik untuk ditonton melainkan karena menjadi istilah baru untuk menyebut suatu kebohongan.

Sejak semalam media di Indonesia ramai memberitakan kabar tentang PM Singapura Lee Hsien Loong yang memutuskan untuk tidak berteman dengan Presiden SBY di Facebook.

Lee dikabarkan juga menghilangkan tag foto SBY di album foto di Facebook-nya. Berita yang dikutip dari newnation.sg, media Singapura itu, mulanya hanya dikutip oleh satu media lalu seperti biasanya, media di sini beramai-ramai mengekor karena takut dianggap ketinggalan isu.

Sayangnya, berita itu adalah berita yang tak jelas kebenarannya. Tak ada verifikasi dari wartawan yang mengutip: apakah akun Lee di Facebook adalah benar miliknya, begitu juga dengan akun SBY.

Kompas.com yang juga menyebarkan berita itu, pagi ini meralatnya dan menyebut akun SBY di Facebook yang dimaksud adalah halaman para pendukung [fanpage]. Artinya bukan akun pribadi SBY.

Berita semacam itu telanjur direspons publik kelas menengah ngehek di media sosial dengan berbagai reaksi di tengah [konon] memanasnya isu hubungan Singapura-Indonesia.

Mereka yang mendaku melek informasi dan teknologi itu, rupanya lebih suka membaca judul berita dan tak merasa perlu untuk bercapek-capek mengecek kebenarannya; lalu menyebarkannya di media sosial agar dianggap paling awal tahu tentang sebuah informasi.

Beberapa hari sebelum isu soal Lee, SBY dan Facebook-nya itu, juga muncul berita berjudul “USA Takut Gempur NKRI. Ini Alasannya” di theglobal-review.com. Tulisan itu memuat pernyataan tiga jenderal di sebuah acara dialog yang kabarnya disiarkan oleh TV ABC 13 Texas tentang kekuatan militer Indonesia.

Tulisan dari theglobal-review.com kemudian diunggah ke Facebook dan Twitter dengan berbagai komentar. Saya ikut membacanya, tapi tidak percaya dengan isi tulisan karena beberapa alasan jurnalistik.

Pertama, karena sejak awal tulisan tidak disebutkan kapan peristiwa dialog di TV ABC 13 Texas berlangsung. Kedua, theglobal-review.com tidak mencantumkan sumber tulisannya. Ketiga, saya sudah berusaha mencari tahu dengan mengakses situs TV ABC 13 Texas, tapi belum menemukan acara yang dimaksud oleh tulisan itu.

Saya ingat, sebelum muncul di theglobal-review.com, saya pernah membaca tulisan itu di salah satu akun Facebook seorang teman. Teman itu meneruskan tulisan yang muncul di halaman pendukung Power of Islamosphere, dan saya kira wartawan theglobal-review.com memungut apa adanya [copy paste] dari sana dan tanpa malu tidak mencantumkan sumber aslinya. Mereka tampaknya bukan saja malas tapi juga tak beretika.

Desember 2011, pernah juga muncul berita tentang ulama yang melarang perempuan makan pisang karena katanya dikuatirkan akan membuat mereka terangsang secara seksual.

Berita yang kali pertama dimuat oleh Bikya Masr, sebuah media online dari Mesir itu dilahap oleh Tempo.co yang dicomot dari Daily Mirror, koran gosip dari London. Berdasarkan berita Tempo.co itu, pengguna media sosial kemudian menjadikannya bahan olok-olok.

Saya tidak tertarik dengan berita itu, hingga Made Tony Supriatma men-tag saya di Facebook tentang hoaks perempuan dilarang memakan pisang itu. Dia awalnya hanya mendengar dari radio di Amerika yang mengundang Rush Limbaugh, konservatif republikan dalam sebuah talkshow.

Di acara itulah, Limbaugh mengoceh tentang seorang ulama yang melarang kaum perempuan menyentuh buah pisang sembari dengan girang membuat ejekan-ejekan.

Sambil mengesankan berita itu benar, dia menyebutkan sumber beritanya berasal dari Bikya Masr. Berita itu lalu disiarkan oleh FoxNews, jaringan TV berita terbesar di Amerika yang dimiliki oleh konglomerat media Rupert Murdoch, yang dikenal konservatif dan sangat bias.

Made mencoba mencari tahu kebenaran berita itu, dan dia sampai pada kesimpulan: sumber berita tentang pisang itu tidak jelas sama sekali. Alias hoaks belaka.

Celakanya, berita itu telanjur disebarkanluaskan-ulang oleh media-media konservatif [menurut Made memang sangat anti terhadap Islam] untuk memajukan agenda anti-Islam mereka, kendati Bikya Masr belakangan mengakui keteledoran mereka.

Di Facebook, Made yang tinggal di Amerika mengkritik dan menyayangkan media sekelas Tempo tidak melakukan kontrol jurnalistik yang ketat dan lebih tertarik pada gosip. “… berita ini adalah slander terhadap Islam dan umat Islam. Untuk saya, persoalannya menjadi mendesak karena media Indonesia sendiri memuatnya.

Sangat tidak sehat untuk jurnalisme dan untuk hubungan sosial di Indonesia.” Begitulah kata Made dan tidak lupa dia menyertakan tautan tulisan di addictinginfo.org yang membatah kebohongan berita (hoaks) yang disebarkan oleh FoxNews.

November tahun lalu menyusul isu “Jilbab Hitam” yang antara lain mempersoalkan kelakuan wartawan Tempo, Daru Priyambodo, Pemimpin Redaksi Tempo.co menulis artikel yang menarik berjudul “The Clicking Monkeys.”

Menurut Daru: the clicking monkeys adalah julukan untuk orang yang dengan riang gembira mengklik telepon selulernya untuk menyebarluaskan hoax ke sana-kemari, me-retweet, atau mem-posting ulang di media sosial.

Mereka seperti kumpulan monyet riuh saling melempar buah busuk di hutan. Agar tidak ketahuan lugu, biasanya mereka menambahkan kata seperti: “Apa iya benar info ini?” atau “Saya hanya retweet lhoo.”

Saya sepakat dengan Daru, tapi di sini, mereka yang disebut sebagai the clicking monkeys celakanya justru banyak berasal dari kalangan wartawan.

Mereka itulah wartawan pemalas, yang atas nama roda industri pemberitaan dan kebebasan pers, memungut informasi apa saja tanpa perlu mengukurnya dengan standar dan etika jurnalistik lalu mengemasnya menjadi berita dan menyebarkannya tanpa malu.

Maka tidak perlu heran, bila orang seperti Benedict Anderson, profesor di Universitas Cornell yang menulis banyak buku tentang Indonesia pun, mengaku frustasi membaca media-media terbitan Indonesia; dan keprihatinannya itu tentulah bukan hoaks.

*Photo by vishnudeep dixit from Pexels

Artikel lain sekategori:

Maaf, Anda tak bisa lagi berkomentar.