Beranda  »  Sorotan Media   »   Denda dan Sanksi Demi Data Pribadi

Denda dan Sanksi Demi Data Pribadi

Oleh: Melekmedia -- 2 Juni, 2022 
Tentang: , ,  –  Komentar Dinonaktifkan pada Denda dan Sanksi Demi Data Pribadi

perlindungan data pribadi pixabay

Pemerintah menegaskan kembali komitmen mencegah kebocoran data (pribadi) di Indonesia. Setidaknya ada dua pendekatan, jangka pendek dan panjang.

Untuk jangka pendek, lewat regulasi. Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) diberi tanggung jawab terhadap data pribadi penggunanya, baik PSE privat atau swasta maupun publik.

Regulasi itu diatur melalui Peraturan Pemerintah No. 71/2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSE) serta PP No. 80/2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.

“Saya ingatkan kepada PSE untuk memastikan teknologi enskripsi yang kuat. Kami Kementerian Kominfo sendiri sudah melakukan audit teknologi di banyak PSE di Indonesia,” kata Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G. Plate, Selasa (31/05/2022).

Jika ditemukan kesalahan, PSE baik lingkup privat maupun publik terancam sanksi. Mulai dari sanksi administrasi hingga yang lebih tegas berupa denda hingga pemutusan akses.

Selain itu, pemerintah juga tengah menggodok aturan denda bagi pelanggar data pribadi. “Big Tech” seperti Meta hingga Google terancam denda senilai persentase dari pendapatan kotor perusahaan.

Besaran denda berkisar 3 persen, mengacu pada persentase pelanggaran yang dikenakan dalam General Data Protection Regulation (GDPR) Eropa, antara 2 hingga 4 persen.

Aturan tersebut masuk dalam Rancangan PP tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (RPP PNBP) ihwal Kominfo. Kementerian Kominfo menargetkan RPP PNBP rampung pada Juni 2022.

Literasi digital untuk jangka panjang

Sebagai aksi jangka panjang, melalui peningkatan literasi digital. Kementerian Kominfo menjalankan program literasi digital tingkat dasar melalui Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD).

Program GNLD diharapkan bisa menjangkau seluruh masyarakat. Pelatihan membekali peserta dengan empat pilar literasi digital, yakni digital skills, digital ethics, digital safety, dan digital culture.

Target pelatihan 12,5 juta penduduk Indonesia per tahun. GNLD berkolaborasi dengan 121 stakeholders dari beragam bidang, mulai dari pelaku industri, masyarakat, lembaga negara, akaademisi.

“Pada tahun 2024 diharapkan dapat menjangkau 50 juta penduduk. Kita ingin memastikan masyarakat Indonesia dilengkapi kemampuan menangkal informasi negatif yang beredar di internet,” tandas Pak Menteri.

GNLD Siberkreasi aktif sejak Oktober 2017, menjadi wadah ratusan mitra institusi dari beragam pemangku kepentingan. Mereka mengklaim meningkatkan literasi digital peserta secara signifikan.

Data kegiatan literasi digital di Indonesia dapat dipantau lewat dashboard di situs Kemkominfo. Hingga artikel ini dibuat, terlaksana 17.954 kegiatan, di 34 provinsi dan 514 kab/kota. Total mencapai 14,6 juta peserta.

Survei kemampuan literasi digital juga dilakukan setiap tahun, dimulai pada 2020. Sesuai Road Map Literasi Digital 2020-2024, dilakukan perubahan metodologi pada 2021.

Indeks literasi digital Indonesia 2021 dinilai membaik, meski pas-pasan. Indonesia berkategori sedang dengan skor indeks 3,49 dari maksimal 5. Pilar Digital Safety paling rendah, skornya 3,10.

Aspek keamanan ancam data pribadi

Pilar keamanan paling rendah, tampak dari ketimpangan di kalangan laki-laki dengan perempuan. Kelompok ekonomi lemah yang dominan, juga masih jauh tertinggal dalam keamanan digital.

Dari sisi umur, generasi muda lebih baik. Generasi Z dan Y skornya lebih tinggi dibanding yang lebih tua. Cukup melegakan, mengingat dua generasi ini mendominasi profil pengguna internet di Indonesia.

Aspek keamanan genting mengingat ancaman terbesar dalam rantai keamanan siber adalah manusia. Ia jadi incaran pelaku kejahatan. Manusia paling rentan dieksploitasi melalui rekayasa sosial.

Pelaku bisa memanipulasi pengguna menyerahkan data pribadi. Data seperti tanggal lahir, nama orang tua sebelum menikah, atau info lain yang lazim menjadi “super password” dalam urusan kependudukan.

Hasil analisis Center for Digital Society, Universitas Gadjah Mada (CfDS UGM), menyimpulkan bahwa pengguna teknologi di Indonesia masih berada pada tingkat kompetensi basic hingga intermediate.

“Berdasarkan sejumlah kasus tersebut, para korban seringkali belum memahami pentingnya keamanan sebagai pengguna teknologi digital,” demikian kesimpulan para peneliti.

Kesimpulan ini mengacu kompetensi dalam KKTD, atau Kompetensi Keamanan Teknologi Digital, merujuk Digital Competence versi Uni Eropa.

*Photo by Pixabay

Artikel lain sekategori:

Maaf, Anda tak bisa lagi berkomentar.