
Jurnalisme terus mencari cara untuk berinovasi dan tetap relevan. Salah satu terobosan terbesar adalah adopsi akal imitasi (AI) di ruang redaksi. Sayangnya teknologi ini masih memiliki kelemahan yang membayangi perkembangan jurnalisme masa depan, misalnya terkait bias.
Laporan Digital News Report tahun 2025 dari Reuters Institute for the Study of Journalism diwarnai penguatan dominasi media sosial, erosi kebebasan pers, serta peningkatan inovasi berbasis AI oleh media tradisional—merespons tekanan finansial yang kian menguat.
Teknologi ini telah menjadi alat nyata yang digunakan oleh banyak media terkemuka di dunia, termasuk Reuters, Associated Press, dan BBC. Penggunaan AI di ruang redaksi mulai dari otomatisasi tugas-tugas dasar yang repetitif hingga membantu jurnalis dalam investigasi mendalam.
Contohnya, sistem AI dapat mengidentifikasi tren berita dengan menganalisis volume dan sentimen percakapan di media sosial secara real-time, membantu redaksi menentukan topik yang sedang hangat.
Di redaksi finansial, AI terbukti sangat efektif dalam menyusun laporan keuangan secara otomatis dari data pasar yang masuk, serta membuat ringkasan singkat hasil pertandingan olahraga. Ia seperti berfungsi sebagai computer assisted reporting.
Tugas-tugas ini, yang sebelumnya memakan waktu berjam-jam, kini dapat diselesaikan dalam hitungan detik. Hal ini membebaskan jurnalis untuk fokus pada analisis, penafsiran, dan investigasi yang lebih mendalam, di mana sentuhan manusia menjadi sangat penting.
Kecerdasan buatan juga digunakan untuk personalisasi konten, memastikan setiap pembaca menerima berita yang paling relevan bagi mereka berdasarkan minat dan riwayat bacaan. Artinya, bukan hanya AI generatif yang bisa dimanfaatkan.
Sisi Gelap AI: Bias dan Dilema Etika
Di balik potensi besar AI, tersimpan tantangan etika yang kompleks, salah satunya bias AI. Menurut para ahli dalam artikel Reuters Institute, bias ini bukanlah sebuah “bug” atau kesalahan pemrograman, melainkan sebuah “fitur” yang tak terhindarkan.
Artikel itu menekankan bias bukanlah kesalahan yang bisa diperbaiki dengan satu kali debugging, melainkan sifat alami dari AI itu sendiri yang akan selalu mencerminkan data yang digunakan untuk melatihnya.
AI belajar dari data, dan jika data pelatihan tersebut mencerminkan prasangka sosial, rasial, atau gender yang ada di masyarakat, maka AI akan secara otomatis mereproduksinya.
Hal ini dinyatakan Ramaa Sharma dari Reuters Institute, “Bias AI adalah ‘fitur, bukan bug’ karena secara alami mencerminkan prasangka yang ada dalam data yang dilatihnya, yang sering kali bersifat Barat, kulit putih, laki-laki, dan berbahasa Inggris.”
Akar masalahnya pada data yang sering kali didominasi kelompok tertentu, yang secara tidak sengaja mengabaikan keberagaman. Fenomena ini memunculkan berbagai bias, mulai dari bias statistik dalam pengambilan sampel data hingga bias kognitif yang memengaruhi interpretasi model.
Misalnya, sistem pengenalan wajah yang lebih akurat pada wajah berkulit putih atau asisten suara yang kurang mengenali dialek non-standar. Sebuah sistem AI pengenal wajah di AS pernah salah mengidentifikasi seorang pria kulit hitam sebagai tersangka kejahatan.
Sebuah sistem AI generatif dari perusahaan teknologi besar juga pernah menghasilkan gambar yang bias secara rasial. Kasus-kasus seperti ini menunjukkan bahwa jika tidak dikelola dengan hati-hati, AI dapat memperkuat ketidakadilan sosial, bukan menguranginya.
Untuk mengatasi masalah ini, berbagai organisasi media mengambil langkah-langkah seperti menciptakan alat sendiri, menunjuk reporter yang bertanggung jawab atas akuntabilitas algoritma, dan menerapkan daftar periksa internal untuk memandu pengembangan produk AI.
Artikel tersebut menyimpulkan bahwa meskipun mustahil untuk sepenuhnya menghilangkan bias, pendekatan kolaboratif dan multidisiplin sangat penting untuk memahami dan mengurangi masalah ini.
AI di Ruang Redaksi Indonesia
Pemanfaatan AI di Indonesia menunjukkan dinamika serupa. Sejumlah media besar telah menjadi pionir, seperti TV One yang memperkenalkan presenter virtual berbasis AI dan Kompas Gramedia yang menggunakan AI generatif untuk produksi artikel dan konten video.
Munculnya AI memicu diskusi serius tentang etika dan regulasi. Dewan Pers dalam laporan AJI Indonesia (2024) akan menerbitkan pedoman AI untuk jurnalisme. Langkah penting dalam menjaga kredibilitas media dan mencegah penggunaan AI yang tidak bertanggung jawab.
Laporan AJI tersebut juga memuat kesimpulan hasil diskusi dengan sejumlah redaksi yang intinya mengakui bahwa pemanfaatan teknologi AI pada ruang redaksi merupakan sebuah keniscayaan. Meski begitu, AI ditempatkan sebagai alat bantu dalam rantai produksi berita.
Pemanfaatan teknologi AI pada ruang redaksi harus disertai pengawasan ketat berupa verifikasi, konfirmasi, dan pengecekan fakta pada sumber primer oleh manusia guna menjaga integritas, kepercayaan, dan menghindari bias bagi publik pada tahapan akhir alur produksi konten.
Sejumlah organisasi berita bahkan mulai menerapkan strategi mitigasi yang proaktif. Mereka menyadari bahwa tanggung jawab etis tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada tim developer teknologi.
Misalnya saat penyusunan pedoman internal di redaksi, perlu ceklis yang kritis terkait potensi bias sebelum produk AI digunakan. Pedoman tersebut harus mencakup aturan tentang transparansi (kapan AI digunakan dalam proses editorial), akuntabilitas (siapa yang bertanggung jawab atas kesalahan), dan etika data.
Jurnalis, editor, dan pakar etika harus terlibat dalam tahapan pengembangan AI, mulai dari pengumpulan data hingga peluncuran produk. Jurnalis sebaiknya terlibat langsung dalam menguji dan memberikan umpan balik pada alat AI.
Ini memastikan alat tersebut dikembangkan agar sesuai dengan nilai-nilai inti jurnalisme, seperti verifikasi fakta, akurasi, dan netralitas. Jurnalis harus menjadi bagian dari solusi, bukan sekadar pengguna pasif.
Praktik ini pernah dijalankan di Beritagar.id, salah satu media online yang pada 2018 sudah menerapkan teknologi pembelajaran mesin untuk membantu proses produksi konten secara otomatis, dan sistem rekomendasi konten untuk pembaca di halaman depan.
Konten yang dihasilkan oleh AI harus melalui tinjauan ketat oleh editor manusia. Hal ini sangat penting karena AI tidak memiliki pemahaman kontekstual atau common sense yang esensial. Kecuali konten yang repetitif, misalnya laporan pertandingan sepakbola, atau laporan cuaca.
“Saya ingin menekankan bahwa di era AI generatif, manusia bagi kami tetap didahulukan. Ini adalah tentang AI yang mendukung manusia, bukan tentang AI yang menggantikan manusia,” demikian ditekankan Ernest Kung, pakar strategi AI di Associated Press.
Konten yang dihasilkan AI generatif bisa saja terdengar meyakinkan dan fasih, namun faktanya bisa keliru atau menyesatkan. Pengguna harus benar-benar kritis dan memastikan produknya terverifikasi. Pun saat AI diterapkan di bagian lain di perusahaan media, meski di luar keredaksian.
Hanya jurnalis manusia yang memiliki empati, etika, dan kemampuan untuk memastikan bahwa berita yang disampaikan tidak hanya cepat, tetapi juga adil, akurat, dan bermakna.
*Photo by Abigail Lynn via Unsplash
Komentar Anda?