
Efisiensi teknologi yang dihasilkan oleh Akal Imitasi (AI) tidak otomatis meningkatkan kesejahteraan sosial atau pendapatan pekerja. Manfaat AI bocor ke luar negeri dan dapat merugikan upah riil, kecuali jika pasar AI “dihukum” dan dikendalikan oleh kebijakan persaingan yang kuat.
Monopoli AI memicu kekhawatiran regulator global—Otoritas Persaingan Usaha Inggris (CMA) dan Komisi Perdagangan Federal AS (FTC). Hal ini memicu penyelidikan terhadap pasar AI yang berakar pada premis utama: AI berpotensi menciptakan monopoli yang jauh lebih dalam dan berbahaya.
Hal ini mendorong mereka bertindak lebih cepat, belajar dari pengalaman kegagalan penegakan hukum dalam mengatasi monopoli platform digital gelombang pertama (seperti raksasa pencarian dan media sosial).
Jika penegakan hukum terlambat kali ini, biaya ekonomi dan sosialnya akan jauh lebih besar karena AI adalah tulang punggung teknologi serbaguna yang akan memengaruhi hampir setiap sektor. Kekhawatiran ini, diperkuat analisis National Bureau of Economic Research (NBER).
Sebuah laporan kerja penting dari NBER “Working Paper 34444” oleh ekonom terkemuka Susan Athey dan Fiona Scott Morton, berjudul “Artificial Intelligence, Competition, and Welfare,” menyajikan analisis yang lebih suram.
Penelitian ini berargumen bahwa sejauh mana industri AI menyediakan layanannya kepada industri tradisional dengan harga yang kompetitif dan rendah, memiliki implikasi kritis terhadap distribusi pendapatan dan kesejahteraan secara keseluruhan.
Athey dan Scott Morton menunjukkan bahwa monopoli dalam AI memungkinkan penyedia untuk mengekstrak rente (keuntungan berlebih) dan mencegah penurunan harga AI yang seharusnya terjadi seiring dengan efisiensi yang dihasilkannya.
Konsekuensinya, efisiensi teknologi yang besar sekalipun tidak secara otomatis menghasilkan peningkatan kesejahteraan secara keseluruhan, bahkan bagi negara yang mengadopsinya.
Penciptaan ‘Bottleneck’ di Seluruh “AI Stack”
Regulator khawatir bahwa AI, sebagai teknologi serbaguna (General-Purpose Technology), akan menyebabkan konsentrasi pasar di berbagai lapisan fundamental, yang disebut sebagai “AI Stack” (Tumpukan AI).
Konsentrasi ini menciptakan bottleneck (hambatan) yang dapat dieksploitasi, memberikan kendali yang tidak proporsional kepada segelintir perusahaan atas infrastruktur dasar inovasi. Sebelumnya hal ini terungkap dalam riset tentang AI compute sovereignty atau kedaulatan komputasi AI.
Perangkat Keras (Chip Canggih): Dominasi ekstrem dalam produksi chip (GPU) berkinerja tinggi yang krusial untuk melatih dan menjalankan model AI. Titik kontrol ini memungkinkan satu atau dua perusahaan perangkat keras memegang kunci vital untuk setiap pengembangan AI baru.
Hal ini menciptakan titik kontrol di hulu yang sangat rentan terhadap eksploitasi harga atau bahkan diskriminasi pasokan. Keterbatasan pasokan chip ini secara langsung membatasi kecepatan inovasi perusahaan lain.
Model Fundamental (Inti Perangkat Lunak): Konsentrasi saat ini hanya pada Model Bahasa Besar (LLM) dasar seperti milik OpenAI, Google, atau Anthropic. Model-model ini memerlukan investasi modal dan data yang sangat besar, menjadikannya sulit untuk direplikasi.
Ketergantungan global pada sedikit model berarti penyedia model dapat mendikte persyaratan teknis dan ekonomi, termasuk API dan biaya lisensi, yang dapat menghambat pengembangan aplikasi spesifik di tingkat aplikasi. Pun dalam hal konten (seperti Executive Order dari Presiden AS).
Saluran Distribusi (Aplikasi Hilir): Ini mungkin kekhawatiran terbesar. Perusahaan teknologi yang sudah dominan (misalnya, di sistem operasi seluler, layanan cloud, atau software produktivitas) akan mengintegrasikan model AI mereka sendiri ke dalam platform yang sudah ada.
Dominasi ganda ini memungkinkan mereka menutup pasar (foreclosure) bagi pesaing kecil atau startup AI dengan cara memprioritaskan layanan AI internal mereka, atau membatasi data penting dari pesaing. Efeknya, inovasi dari startup tidak akan pernah menjangkau konsumen.
Pengekstrakan Rente dan Kebocoran Pendapatan
Kekuatan monopoli dalam AI memungkinkan penyedia (yang seringkali merupakan entitas asing di luar negara pengadopsi) untuk menetapkan harga layanan AI yang tinggi, sehingga mengekstrak rente (keuntungan berlebih) yang dihasilkan oleh peningkatan produktivitas AI.
Efisiensi teknologi yang seharusnya menurunkan biaya produksi justru diserap oleh monopolis sebagai keuntungan.
Mekanisme Harga Monopoli dan Pengalihan Rente (Rent Shifting): Monopolis dapat menggunakan skema harga non-linear untuk memaksimalkan ekstraksi nilai:
- Biaya Penggunaan: Biaya per unit pemanfaatan AI (yang seharusnya rendah karena efisiensi AI), akan dipertahankan tetap tinggi oleh para monopolis untuk memaksimalkan margin keuntungan per transaksi.
- Biaya Akses: Biaya tetap per perusahaan untuk mulai menggunakan AI bertindak sebagai hambatan masuk yang mencekik startup dan membatasi jumlah perusahaan yang mengadopsi AI.
Peneliti menekankan risiko pengalihan rente: jika regulator hanya mengontrol salah satu tuas (misalnya, membatasi biaya akses), monopolis akan menaikkan biaya penggunaan, dan sebaliknya. Maka, regulator harus mengawasi dan mengontrol kedua tuas secara simultan.
Dampak Kesejahteraan Agregat dan Kebocoran Pendapatan: Ketika harga ini dipertahankan tinggi oleh monopolis, surplus ekonomi dari AI dialihkan dari konsumen dan pekerja domestik ke penyedia monopoli asing.
Bagi negara-negara yang hanya mengadopsi AI (bukan pengembang utamanya, seperti Indonesia saat ini), hasil akhirnya adalah kebocoran pendapatan yang besar, mengurangi pendapatan nasional yang tersedia untuk investasi dan konsumsi.
Hal ini secara langsung mengurangi potensi kenaikan upah riil dan kesejahteraan agregat domestik, meskipun produktivitas teknis perusahaan domestik meningkat.
Kebocoran pendapatan dan perubahan struktur industri juga dapat memicu kenaikan harga di sektor non-perdagangan (seperti jasa domestik), sehingga daya beli pekerja secara keseluruhan tergerus.
Merugikan Inovasi, Keragaman Pasar, dan Tenaga Kerja
Monopoli AI secara inheren menghambat dinamika pasar yang sehat dan memiliki dampak buruk yang spesifik pada struktur tenaga kerja:
Mengikis Keragaman Produk: Biaya akses tetap yang tinggi bukan hanya menguntungkan monopolis, tetapi juga secara efektif menghalangi perusahaan rintisan dan UKM untuk masuk ke pasar aplikasi AI.
Karena hanya perusahaan bermodal besar yang dapat menanggung biaya tetap awal, hal ini membatasi keragaman produk, layanan, dan solusi AI yang tersedia bagi konsumen. Pasar menjadi stagnan dan tumpul dalam inovasi.
Mengeliminasi Ancaman Persaingan: Daripada bersaing, perusahaan monopolis menggunakan posisi mereka untuk mengakuisisi (killer acquisitions) atau meniru (copy-catting) calon pesaing AI yang paling menjanjikan. Dengan menghilangkan ancaman dari luar, mereka dapat menjaga dominasi pasar dan mencegah penurunan harga AI.
Ancaman pada Upah Riil dan Pekerja: Kekuatan monopoli menjaga harga AI tetap tinggi, akan memperburuk kondisi pekerja tak terampil. Saat AI menggantikan pekerja, kenaikan harga AI tidak membantu pekerja yang tergusur, melainkan menyebabkan penurunan upah riil yang parah.
Inilah temuan paling menantang dari model ini: Kemungkinan “kerugian ganda” bagi pekerja tak terampil:
- Gugur karena Efisiensi: Mereka sudah dirugikan ketika AI yang murah menggantikan mereka di awal.
- Gugur karena Harga Monopoli: Pekerja tak terampil juga dirugikan karena AI yang mahal membatasi pertumbuhan industri dan mengurangi produktivitas (dan upah) dari pekerjaan tak terampil yang tersisa di sektor tersebut.
Implikasi Kebijakan: Dua Pilar Kesejahteraan
Secara keseluruhan, kekhawatiran regulator adalah risiko kegagalan pasar yang mencegah AI mencapai potensi pro-kompetitif dan pro-kesejahteraan yang seharusnya. Tanpa intervensi kebijakan persaingan, AI akan menjadi alat memperkuat konsentrasi kekayaan dan kekuasaan global yang sudah ada.
Temuan kunci dari kerangka kesetimbangan umum dan perdagangan ini memberikan wawasan mendalam bagi pembuat kebijakan, terutama di negara-negara yang cenderung menjadi importir teknologi AI.
Pilar 1: Disiplin Persaingan Ganda
Keuntungan kesejahteraan yang luas dari AI memerlukan dua kondisi kebijakan utama:
Pertama, Persaingan dan Regulasi Harga AI Mutlak Diperlukan. Manfaat AI tidak akan terdistribusi tanpa persaingan yang kuat atau intervensi kebijakan yang memaksa harga AI turun seiring peningkatan produktivitas. Jika pasar tidak disiplin, monopolis akan mengekstrak rente dan mencegah harga turun.
Kedua, Disiplin Ganda pada Tuas Harga (Mengatasi Rent-Shifting). Karena monopolis dapat menggunakan skema harga non-linear, kebijakan yang hanya membatasi salah satu instrumen berisiko menyebabkan pengalihan rente (rent-shifting) ke instrumen lainnya.
“Kebijakan yang hanya membatasi satu instrumen (misalnya, hanya membatasi biaya akses berisiko mengalihkan rente ke instrumen lain; mendisiplinkan kedua tuas diperlukan ketika pemasok hulu mematok harga pada batas adopsi.”
Ini berarti regulator tidak hanya perlu mengawasi biaya per penggunaan, tetapi juga biaya akses atau biaya tetap yang dapat membatasi keragaman industri hilir.
Pilar 2: Kebijakan Penyerapan Tenaga Kerja Produktif
Syarat kedua untuk mencapai keuntungan kesejahteraan yang luas adalah adanya kebijakan yang mendukung penyerapan produktif tenaga kerja yang tergusur di sektor-sektor yang kurang terpengaruh oleh AI.
Pemerintah memiliki peran penting dalam mengubah seberapa produktif pekerja di sektor alternatif. Misalnya, dengan meningkatkan pengeluaran dan investasi di sektor layanan yang bermanfaat bagi masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, atau layanan sosial.
Kebijakan pemerintah dapat memfasilitasi keterampilan ulang (reskilling) di bidang-bidang ini, di mana AI bahkan dapat digunakan untuk membantu pekerja menjadi lebih produktif dalam peran baru tersebut.
Tanpa kebijakan yang mendukung opsi kerja luar yang produktif, pekerja yang tergusur hanya akan berhadapan dengan pengembalian yang semakin berkurang di sektor alternatif.
Kesejahteraan Bukan Jaminan, Tapi Pilihan
AI memang menjanjikan keuntungan produktivitas yang besar, tetapi laporan NBER ini secara tegas menyatakan bahwa hasil tersebut tidak akan terwujud secara otomatis.
Kekuatan monopoli dalam AI memungkinkan penyedia, terutama yang berbasis di luar negeri, mengekstrak surplus dan merugikan negara pengadopsi melalui penurunan upah riil, harga yang lebih tinggi di sektor non-perdagangan, dan kebocoran pendapatan.
Dengan AI sebagai teknologi serbaguna, dampak monopoli akan meluas ke seluruh ekonomi, jauh melampaui sektor tunggal. Oleh karena itu, bagi sebuah negara, kesejahteraan dari AI tergantung pada pilihan kebijakan yang diambil saat ini:
- Mempertahankan persaingan di seluruh tumpukan AI.
- Mendisiplinkan instrumen penetapan harga monopoli secara bersamaan.
- Menginvestasikan kebijakan yang mendukung transisi produktif bagi tenaga kerja yang tergusur.
Jika tidak, negara-negara pengadopsi berisiko mengalami kerugian permanen atas kemampuan domestik, ketergantungan yang berlebihan, dan penurunan kesejahteraan agregat, meskipun teknologi AI terus berkembang dengan pesat.
*Photo by Alex Knight via Unsplash



