
Berpikir kritis adalah inti dari melek (literasi) media dan informasi. Membaca atau berhitung saja tak cukup, butuh pemikiran kritis untuk senantiasa waspada.
Istilah literasi seringkali terjebak pada pemaknaan konvensional—membaca, menulis, berhitung. Itu pun masih jadi masalah menghadapi limpahan informasi. Misalnya terkait hoaks.
Lema “literasi” dalam KBBI sudah lebih luas dari calistung. Di sana sudah mencakup pengetahuan atau keterampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu; atau kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup.
Saat informasi melimpah—termasuk hoaks di dalamnya—minat baca justru rendah. Dalam artikel tentang minat baca di era digital, kebiasaan membaca konten pendek tapi beragam topik di gawai memangkas ketahanan terhadap konten panjang mendalam.
Tapi bukan semata-mata karena malas membaca, lalu hoaks menjadi subur. Butuh penjelasan lebih panjang mengenai hal itu. Dalam artikel tentang amygdala hijack, telah dibahas pula tentang bagaimana respons kita dikendalikan otak kecil ini.
Melawan hoaks, pada akhirnya tak bisa sekadar mengandalkan fakta. Orang-orang yang terinfeksi hoaks, sering kali sudah tahu fakta yang disodorkan. Masalahnya, mereka menolak mempercayai fakta itu. Mereka punya “fakta tandingan”—alternative facts, demikian media barat mengutipnya.
Butuh kemampuan melek media dan informasi. Fokusnya pada berpikir kritis, salah satu upaya melawan kekacauan informasi. “Melek” dalam konteks ini memperluas “literasi”, bukan sekadar tentang membaca. Ia jauh lebih kompleks—perlu mencerna, dan kritis terhadap informasi.
“Membaca kritis” membawa kita pada penggunaan keterampilan kognitif tingkat tinggi seperti kemampuan menganalisis, mensintesis, memecahkan masalah, dan berpikir meta-kognitif untuk bernegosiasi makna dengan penulis dan membangun makna baru dari teks (Hermida, 2009).
Berpikir kritis ala Bloom
Dalam konteks melek media—meski terjemahan dari media literacy—istilah literasi tidak digunakan di sini karena telanjur multitafsir. Literasi telanjur diartikan cuma membaca. Adapun melek media berpegang pada makna literacy dalam definisi UNESCO:
“Beyond its conventional concept as a set of reading, writing and counting skills, literacy is now understood as a means of identification, understanding, interpretation, creation, and communication in an increasingly digital, text-mediated, information-rich and fast-changing world.”
Definsi UNESCO terasa lebih kekinian, mendefinisikan literacy lebih dalam dari sekadar baca-tulis-hitung (calistung). Mereka telah sampai pada definisi yang lebih luas, seperti kemampuan memahami, mengidentifikasi, menginterpretasi dan berkomunikasi di dunia digital.
Berpikir kritis sebagai kecakapan hidup tak tuntas dikuasai dengan membaca (literasi dalam arti konvensional). Berpikir kritis adalah tingkatan kognitif yang tak semenjana. Ia kompetensi yang kompleks. Berpikir kritis setidaknya dapat didemonstrasikan lewat menganalisis.
Kemampuan ini bisa ditemukan dalam ranah kognitif Taksonomi Bloom (2001). Berpikir kritis ada di tingkat keempat hingga keenam, dari enam tingkatan dalam taksonomi versi terbaru. Tiga tingkat tertinggi, artinya bukan kemampuan dasar di ranah kognitif.
Membaca, secara umum hanya memenuhi tingkatan pertama dalam Taksonomi Bloom; mengingat. Untuk memastikan penguasaan kemampuan menganalisis, perlu berlatih dengan aktivitas yang direkomendasikan Bloom melalui kata-kata kerja operasional.
Category | Keywords |
Remembering: can the student recall or remember the information? | Mention the definition, imitate the pronunciation, state the structure, pronounce, repeat, state. |
Understanding : Can the students explain the concept, principle, law or procedure? | Classify, describe, explain the identification, placed, report, explain, translate, paraphrased. |
Applying : Can students apply their understanding in new situation? | Choosing, demonstrating, acting, using, illustrating, interpreting, arranging schedule, making sketch, solving problem, writing. |
Analyzing: can students classify the sections based on their difference and similarity? | Examining, comparing, contrasting, distinguish, doing discrimination, separating, test, doing experiment, asking. |
Evaluating: can students state either good or bad towards a phenomenon or certain object? | Giving argumentation, defending, stating, choosing, giving support, giving assessment, doing evaluation. |
Creating: can students create a thing or opinion? | Assemble, change, build, create, design, establish, formulate, write. |
Perhatikan tabel di atas. Pada kolom kata kunci (keywords), Taksonomi Bloom merekomendasikan kata kerja yang dinilai menggambarkan proses kognitif yang berlangsung di otak. Tak ada “membaca” (reading) dalam daftar itu.
Setelah seseorang membaca, aktivitas kognitif seperti menyebutkan kembali, mengulang ejaan, atau mengulangi apa yang telah dibaca perlu dilakukan agar mampu mengingat materinya.
Kemampuan mengingat bisa tercapai bila seseorang dilatih dengan proses kognitif sesuai kata kerja dimaksud. Dengan cara ini, ia dijamin mampu mengingat apa yang telah dibacanya/diterimanya.
Memang tak semua apa yang dibaca bisa diingat, kecuali pada mereka dengan ingatan istimewa. Setidaknya, mampu mengingat inti pesan dari yang dibaca—tak harus persis seperti aslinya.
Kata kerja dalam kolom keywords di atas, dimaksudkan sebagai kata kerja operasional yang dapat dipilih untuk merancang kegiatan belajar. Artinya, saat merancang pembelajaran, pilihlah kata kerja yang tepat sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
Bila mengharapkan pembelajar mengingat yang sudah dipelajarinya, kata kerja dalam contoh di kolom itu bisa dipakai. Inilah yang membawa kita pada kesimpulan: Membaca saja tak mengembangkan kemampuan berpikir kritis.
Maka, kemampuan berpikir kritis tak hanya mengandalkan ingatan. Perlu kemampuan yang lebih kompleks, seperti “menganalisis”, hingga “mencipta”. Coba tengok kata kunci untuk kategori “Analyzing“: Memeriksa, membandingkan, mengontraskan, membedakan, memilah, dst.
Lalu, ingat lagi uraian Hermida (2009) tentang “membaca kritis”.
Menumbuhkan Berpikir Kritis
Daftar aktivitas kognitif yang dirujuk pada tabel di atas bisa membantu pembelajar jadi kritis. Misal setelah membaca, seseorang melakukan analisis melalui perbandingan, pembedaan, dll. sehingga bisa menemukan sesuatu di luar apa yang dibacanya.
Temuan-temuan inilah buah dari berpikir kritis. Dari sekian banyak fakta yang dihafalkan dari kegiatan membaca, seseorang yang mampu berpikir kritis akan menganalisisnya sampai menghasilkan kesimpulan. Tak langsung percaya fakta dari satu sisi saja.
Kemampuan membaca memang berkorelasi positif terhadap kemampuan berpikir kritis, tetapi korelasinya tidak signifikan. Setidaknya demikian temuan riset empat peneliti pada 2020 silam. Rendahnya kemampuan membaca ditunjukkan dengan kesulitan memahami makna bacaan.
Hal ini sebagian karena masih asing dengan berpikir kritis, belum terbiasa belajar atau dilatih dengan kemampuan tersebut. Tanpa daya kritis, membaca seperti aktivitas sia-sia. Karenanya, penting untuk memperkenalkan berpikir kritis melalui metode atau pendekatan tersendiri.
Para peneliti menyarankan pengembangan profesional guru membekali mereka teknik pengajaran terbaik dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan pemahaman membaca yang penting.
Implikasi pedagogis ini membutuhkan aksi dari pembuat kebijakan dan otoritas pendidikan serta para guru untuk meningkatkan dan mengasah kemampuan berpikir kritis dan membaca, sehingga generasi masa depan siap untuk bersaing dalam pasar kerja global di abad ke-21.
Alih-alih cuma “membaca”, perlu menghayati makna modern literasi yang diperkenalkan UNESCO. Setidaknya, mengakui literasi sebagai pembelajaran tingkat tinggi—melebihi kompetensi mengingat informasi atau menghafalkan fakta-fakta.
Kemampuan berpikir kritis harus diasah dengan pembelajaran yang lebih kompleks, mendorong pembelajar menganalisis hingga mencipta. Pembelajaran tingkat tinggi dalam ranah kognitif ini, oleh sebagian disebut High Order Thinking Skills (HOTS).
Bila disejajarkan dengan enam tingkatan Taksonomi Bloom, tiga tingkatan teratasnya dikategorikan HOTS. Ia bisa jadi rujukan. Selain soal tingkatan, perlu mempelajari beragam jenis pengetahuan mulai dari faktual, konseptual, prosedural, hingga metakognitif.
Dengan begitu daya pikir (dan membaca) kritis bisa ditumbuhkan.
*Photo by Juan Rumimpunu on Unsplash