Beranda  »  Artikel » Pantau Media   »   Fandom Bisa Kritis dan Produktif

Fandom Bisa Kritis dan Produktif

Oleh: Melekmedia -- 30 Januari, 2023 
Tentang: , ,  –  Komentar Dinonaktifkan pada Fandom Bisa Kritis dan Produktif

Fandom

Budaya penggemar atau fandom menggambarkan komunitas seputar kesenangan bersama terhadap aspek budaya populer, seperti buku, film, acara TV, band, tim olahraga atau figur idola, dll.

Dalam Bahasa Indonesia, kata fandom dimaknai sebagai “kumpulan fan (artis, klub olahraga, film, dan sebagainya), biasanya bertukar informasi atau melakukan aktivitas bersama-sama, baik secara daring maupun luring.”

Fan disebut sebagai respons dari kepopuleran yang tersebar dalam media massa. Mereka terobsesi pada bintang, selebriti, film, program TV, band tertentu […]. Media massa menjadi penghubung para fan dengan idolanya.

Anggota fandom tak sekadar mengonsumsi perilaku atau dandanan idolanya, merekapun memproduksi karya sebagai respons atas kecintaan dan obsesi mereka. Lihatlah cosplay, costume dan play yang bisa diterjemahkan secara bebas menjadi “bermain-main dengan kostum”.

Cosplay mungkin populer karena para peminat manga, tetapi akarnya sudah tumbuh sejak maraknya konvensi fiksi ilmiah di Amerika Serikat pada 1960-an. Tren ini menular ke Jepang pada 1970-an lewat peragaan kostum.

Lama kelamaan, cosplay khas Jepang mengenakan pakaian beserta aksesori dan rias wajah seperti tokoh-tokoh dalam anime, manga, dongeng, permainan video, penyanyi dan musisi idola, dan film kartun.

Fandom tidak selalu tentang kreativitas, juga menjurus ke obsesi dan ekses (Bailey, 2005). Fan juga cenderung distigmatisasi, bahkan oleh mereka yang jadi bagian dari komunitas.

Media menyajikan gambaran fan pria sebagai “Trekki”, pecandu gim atau hooligan, sementara wanita dilihat sebagai groupies, terisak-isak karena musik pop atau tenggelam dalam gosip selebritas.

Perilaku penggemar kadang dianggap melanggar norma-norma sosial dan mudah dicap sesat dibandingkan dengan tipe-tipe kelompok lainnya, misalnya oleh komunitas “seni tinggi”.

Tersebab obsesi berlebihan fan terhadap idolanya, kecintaan pun bisa berubah menjadi fanatisme. Tak jarang rivalitas antar-fan memanifestasi dalam konflik fisik. Saling ejek di antara anggota fans-club tim sepak bola misalnya, bisa berujung tawuran.

Tak hanya di dunia olah raga, perseteruan sengit juga bisa berlaku bagi para penghayat tokoh-tokoh dari dunia hiburan. Sebuah fandom bentrok dengan fandom lain semata-mata terjadi karena pemujaan berlebihan kepada figur pilihan masing-masing.

Bentrok tidak hanya terjadi lintas fandom, antar-anggota fandom yang sama pun bisa terjadi: sesama pemuja satu idola bertarung. Sering kali media sosial jadi arena pertempuran, antar-fandom atau kerja sama lintas fandom melawan koalisi fandom yang lain.

Di sisi lain, kita bisa temukan fan k-pop Indonesia yang jadi kepala berita karena turut serta dalam unjuk rasa bertema politik, semisal soal Penolakan RKUHP dan Omnibus Law Cipta Kerja.


Sebuah riset tentang fandom di ASEAN oleh HILL ASEAN (Hakuhodo Institute of Life and Living ASEAN) pada 2022 memberi gambaran tentang perilaku para fan.

Lembaga think tank dari Hakuhodo Group sejak 2014 ini mendefinisikannya sebagai sei-katsu-sha; orang yang mengabdikan diri mereka di suatu fandom selama enam bulan dan terlibat beberapa aktivitasnya.

Riset HILL ASEAN menemukan bahwa fandom di ASEAN adalah tempat para penggemar menemukan rasa memiliki dan mempelajari hal-hal baru. Ini sedikit berbeda bagi orang Jepang, yang menjadikannya tempat mencari kesenangan dan menghilangkan stres.

Sebanyak 87,1 persen peserta survei di wilayah ASEAN menyatakan bahwa “Berada dalam fandom mengubah hidup saya menjadi lebih baik.” Kekuatan fandom diklaim merupakan kekuatan yang harus diperhitungkan.

Temuan lainnya dari HILL ASEAN adalah, fandom terbesar di Indonesia justru dari bidang masak-memasak. Meski di tingkat ASEAN fandom k-pop adalah komunitas terbesar, disusul oleh komunitas gim dan memasak.

Di antara negara-negara ASEAN, fandom k-pop terbesar hanya ada di Thailand. K-pop terbesar kedua di Malaysia dan Filipina. Di Indonesia dan Singapura ranking ketiga, sedangkan di Vietnam malah posisi keenam.

Ada tiga motif utama yang mendorong fan bergabung dengan fandom, yaitu untuk membuat hidup lebih menyenangkan, meredakan stres, atau menghabiskan waktu/menghilangkan kebosanan.

Setiap regional memiliki ciri khas bila menyangkut hubungan dengan orang lain. Dibandingkan dengan Jepang, sei-katsu-sha fandom ASEAN dua kali lebih banyak melihat hubungan dengan orang-orang sebagai faktor penting.

Penelitian pun mengungkap manfaat fandom bagi para sei-katsu-sha:

  • Perasaan positif dan kenikmatan: Membantu mereka memanfaatkan energi positif pada saat dibutuhkan.
  • Peningkatan diri dan perluasan pengetahuan: Mereka dapat mempertajam keterampilan dan menemukan bakat terpendam, bahkan beberapa dari mereka mengubah passion menjadi sebuah bisnis.
  • Memperluas kehidupan sosial dan rasa memiliki: Bahkan ketika mereka tidak dapat menemukan aspek-aspek ini dalam kehidupan sehari-hari, mereka dapat beralih ke komunitas fandom mereka dan berbagi kegembiraan.

HILL ASEAN merumuskannya: “Keberadaan mereka penting, mereka melakukan sesuatu yang penting dan mereka memiliki ruang di mana harapan mereka dapat terpenuhi.”

Riset tersebut memanfaatkan olah data QUILT.AI, sebuah panggung teknologi yang mampu mengonversi sinyal dari big data menjadi insights seputar perilaku menusia dan emosinya.

Adapun emosi paling dominan yang diekspresikan lewat kicauan akun Twitter penggemar di wilayah ASEAN (478 ribu akun) adalah “afiliasi”, sedangkan dari Jepang (93 ribu) menunjukkan “kebahagiaan”.


Selama bertahun-tahun, akademisi mendekati fandom dalam berbagai bentuk, misalnya kaitannya dengan religiositas (Couldry, 2003) dan pertunjukan (Coppa, 2006; Lancaster, 2001). Ada pula yang menggunakan konsep psikoanalisis (Matt Hills, 2002) dan feminis (Penley, 1991).

Para penggemar yang kian intens tampak dalam menjamurnya komunitas daring. Studi tentang kepenggemaran kaitannya dengan internet pun semakin berkembang. Salah satu studi terpopuler dilakukan oleh Henry Jenkins.

Bukunya berjudul Textual Poachers: Television Fans and Participatory Culture (1992) populer di seluruh dunia, menjadi salah satu referensi dasar di bidang studi penggemar dan media.

Menurut Jenkins para fan menunjukkan minat, kecintaan, dan keterikatan terhadap figur atau aspek yang dipilih. Istilah penggemar atau fan biasanya melekat dengan selebritis dan populer. Fandom jadi salah satu contoh dari budaya partisipatif.

Penggemar atau fan tidak hanya sebagai konsumen, juga sebagai produsen. Jenkins pernah bilang bahwa media digital telah memperluas jangkauan fandom, termasuk hubungan antar-penggemar di seluruh dunia.

Internet mempercepat respons penggemar dalam hal bereaksi secara aktual terhadap acara-acara favorit; menciptakan ruang berkarya sehingga penggemar dapat tersebar lebih luas dalam budayanya (untuk hal baik maupun buruk).

Bila sebelumnya fan dan idola terhubung satu arah lewat media tradisional, kini keduanya berada dalam realitas yang sama: internet. Komunikasi bisa berlangsung dalam waktu nyata. Hal yang tak hanya mengundang kebaikan, juga banyak hal buruk.

Jenkins menulis, budaya partisipatif adalah budaya yang memudahkan dan saling mendukung dalam berekspresi secara artistik. Anggota yang lebih berpengalaman tak sungkan berbagi pengetahuan kepada pemula.

Anggota komunitas ini percaya bahwa kontribusi itu penting dan dapat merasakan pentingnya hubungan sosial satu sama lain (seorang anggota peduli pendapat anggota lain tentang karya mereka).

Ia menunjukkan fandom terkait erat dengan perkembangan budaya partisipatif, saat industri kian terbuka berbagi ruang dengan audiens mereka, dan memacu mereka untuk menjadi co-creator.

Peningkatan dialog antara pengguna dan produsen, menurut hematnya, bahkan memiliki implikasi politik dan membentuk ruang publik baru. Hal ini mengungkap dinamika dan kompetensi kekuasaan yang mendasari penggunaan media.

Jenkins pun mengingatkan, pendidik harus bekerja sama untuk memastikan bahwa semua anak muda (khususnya di Amerika) memiliki keterampilan dan pengalaman yang dibutuhkan untuk menjadi anggota yang “utuh”.

Misalnya, mampu mengartikulasikan pemahaman tentang bagaimana media membentuk persepsi, dan tersosialisasi ke dalam standar etika baru yang membentuk praktik pembuat media dan anggota komunitas daring.

Dia pada dasarnya menyinggung melek media, praktik mengonsumsi pesan dari media sekaligus memproduksi medianya sendiri. Melek media, menjadikan penghayat fandom seorang yang kritis dan produktif.

*Photo by Andrew Wulf on Unsplash

Artikel lain sekategori:

Maaf, Anda tak bisa lagi berkomentar.