
Akal Imitasi Generatif (GenAI) merevolusi sektor kesehatan hingga industri kreatif. Melek AI masyarakat serta kerja sama global diperlukan untuk mengelola dampak GenAI secara efektif, adil, dan berkelanjutan.
“Generative AI Outlook Report” (2025) rilisan Pusat Penelitian Bersama (JRC) Uni Eropa menyoroti potensi inovasi dan produktivitas GenAI, sekaligus memperingatkan tantangan yang menyertainya: penyebaran misinformasi, bias, disrupsi pasar tenaga kerja, dan masalah privasi.
Laporan ini menekankan perlunya pendekatan multidisiplin untuk memahami sepenuhnya implikasi GenAI. Ini mencakup pemanfaatan lingkungan penelitian yang kuat, dengan jaringan lembaga akademik dan inovator swasta, serta mendorong kemajuan dan adopsi GenAI yang efisien.
Pembahasan memang spesifik tentang Uni Eropa (UE), tapi kita bisa belajar dari sana. Kolaborasi lintas batas dan pemanfaatan pusat keunggulan AI yang tersebar di seluruh negara anggota, memastikan bahwa inovasi GenAI tidak terbatas di beberapa institusi saja.
Transformasi Industri dan Pasar Tenaga Kerja
GenAI menjadi katalisator bagi transformasi industri, memicu munculnya model bisnis inovatif dan efisiensi operasional yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Di satu sisi meningkatkan produktivitas, tetapi menuntut keahlian dalam interaksi dan pengelolaan sistem AI.
Di sektor manufaktur, misalnya, GenAI merevolusi proses bisnis melalui simulasi desain produk, optimasi rantai pasok global yang dinamis, serta pengembangan lini produksi dan pemeliharaan prediktif yang jauh lebih akurat. Waktu henti berkurang, begitu pula biaya operasional.
Dalam perawatan kesehatan, GenAI tidak hanya meningkatkan akurasi diagnostik dengan menganalisis citra medis, juga memungkinkan personalisasi perawatan pasien yang mendalam. Pengembangan obat baru hingga rencana terapi dapat disesuaikan profil genetik individu.
Namun, adopsi GenAI juga menuntut pertimbangan cermat dan strategi yang terencana. Laporan Uni Eropa ini menunjukkan, perusahaan besar di UE yang memiliki sumber daya dan infrastruktur teknologi lebih mapan, cenderung lebih cepat dalam mengadopsi GenAI.
Perbedaan kecepatan adopsi ini memperlebar kesenjangan kompetitif. Perusahaan berskala UKM/UMKM butuh pematangan adopsi digital, termasuk soal keterampilan digital, penyesuaian proses bisnis, dan peningkatan infrastruktur teknologi, demi memanfaatkan potensi GenAI.
Dukungan kebijakan dan program insentif dari pemerintah atau otoritas memainkan peran krusial dalam menjembatani kesenjangan ini, memastikan akses dan kapabilitas yang setara.
Selain itu, dampak pada pasar tenaga kerja menjadi perhatian utama yang perlu antisipasi. Di satu sisi GenAI meningkatkan produktivitas pada pekerjaan dengan kognitif tinggi (dokter, guru, dan insinyur), melalui otomatisasi tugas-tugas rutin.
Di sisi lain, hal ini berpotensi memperlebar kesenjangan pendapatan pada pekerja bergaji rendah yang lebih rentan diterjang otomatisasi. Perlu pergeseran fundamental dalam pasar tenaga kerja, prioritas pada keterampilan berinteraksi secara efektif dengan AI.
Oleh karena itu, literasi AI dan program pelatihan ulang yang masif menjadi krusial untuk mempersiapkan angkatan kerja menghadapi era baru ini. Di antaranya menambal kemampuan berpikir kritis, kemampuan memecahkan masalah yang kompleks, kreativitas, dan kecerdasan emosional.
Tantangan Sosial dan Lingkungan
GenAI menawarkan peluang untuk akses yang lebih inklusif dan merata terhadap sumber daya dan informasi, namun juga menimbulkan masalah penting terkait bias algoritmik yang tertanam dalam data pelatihan. Belum lagi potensi ketergantungan berlebihan pada konten yang dihasilkan AI.
Laporan JRC secara khusus menyoroti risiko penyebaran misinformasi dan disinformasi secara masif, masalah kesehatan mental akibat interaksi tidak sehat dengan AI, dan deepfake
yang semakin canggih. Itu semua bisa mengikis kepercayaan publik terhadap informasi visual dan audio.
Wacana media massa sejauh ini dinilai cenderung menampilkan GenAI secara terpolarisasi. Ada visi utopis tentang masa depan yang serba otomatis, versus kekhawatiran distopia tentang pengambilalihan oleh mesin bak fiksi sains dalam wacana awam.
Sementara GenAI juga perlu solusi dalam isu lingkungan. Model-model AI generatif rakus sumber daya komputasi, terutama selama fase pelatihan. Ia meningkatkan konsumsi energi dan air, ekstraksi mineral langka untuk perangkat keras, dan ujungnya adalah limbah elektronik.
Laporan ini menyarankan langkah-langkah konkret seperti pelacakan konsumsi energi secara transparan, perencanaan lokasi pusat data di daerah yang kaya sumber daya terbarukan, air yang memadai untuk pendinginan, serta pengembangan program daur ulang yang lebih efisien.
Selain itu, optimalisasi algoritma AI agar lebih hemat energi dan mendorong pengembangan “AI hijau” sebagai bidang penelitian yang mendesak.
Kerangka Regulasi UE dan Jalan ke Depan
UE telah menetapkan kerangka kebijakan dan regulasi yang komprehensif untuk AI, termasuk GenAI, dengan fokus pada promosi inovasi yang bertanggung jawab, pembangunan kepercayaan publik, dan perlindungan hak-hak fundamental warga negara.
Undang-Undang AI UE, Peraturan Perlindungan Data Umum (GDPR) yang ketat, dan Undang-Undang Layanan Digital (DSA) merupakan pilar utama dalam upaya ini. Kerangka regulasi ini mengawal praktik AI yang transparan, dapat dipercaya, dan etis.
Laporan ini menyimpulkan bahwa GenAI berpotensi membawa dampak sosial dan ekonomi yang signifikan dan transformatif di UE. Oleh karena itu, pendekatan kebijakan yang komprehensif, adaptif, dan bernuansa sangat diperlukan untuk menavigasi berbagai tantangan dan peluang.
Tujuannya memastikan perkembangan teknologi AI sepenuhnya selaras dengan nilai-nilai demokrasi dan kerangka hukum UE, bukan malah mengikisnya. Selain itu, fokus pada antisipasi dampak GenAI terhadap lingkungan secara efektif, adil, dan berkelanjutan.
Joint Research Centre (JRC) Uni Eropa merekomendasikan investasi berkelanjutan dan strategis dalam penelitian dan inovasi AI. Kolaborasi global ini jadi kunci mengembangkan standar etika dan praktik terbaik, menciptakan ekosistem AI yang aman dan bermanfaat bagi semua.
Photo by Solen Feyissa on Unsplash