Beranda  »  Artikel » Pantau Media   »   Krisis Kebebasan Pers Melanda Dunia

Krisis Kebebasan Pers Melanda Dunia

Oleh: Melekmedia -- 3 Mei, 2025 
Tentang: , ,  –  Komentar Anda?

Peta kebebasan pers dunia 2025

Kejaksaan Agung melapor kepada Dewan Pers sebab beberapa produk jurnalistik yang diproduksi JakTV dianggap membingkai pemberitaan negatif tentang institusi tersebut. Direktur Pemberitaan JakTV, Tian Bahtiar, bersama dua pengacara telah ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan bermufakat merintangi penyidikan kasus korupsi PT Timah, impor gula, dan vonis lepas korupsi minyak goreng.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menilai penetapan tersangka atas insan pers ini sebagai ancaman nyata terhadap kemerdekaan pers di Indonesia. Wewenang untuk menilai atau memeriksa karya jurnalistik seharusnya ranah Dewan Pers, bukan Kejaksaan, sesuai UU No. 40/1999 tentang Pers.

“Pemberitaan, opini publik, penyampaian pendapat di muka umum jelas bukanlah tindakan perintangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi (Obstruction of justice),” kata Ketua AJI Indonesia, Nani Afrida, dalam keterangan tertulis, Rabu (23/4/2025).

Kisah barusan hanya sebagian dari rentetan peristiwa yang menguatkan ancaman terhadap kemerdekaan pers di Indonesia. Belum lama ini ada jurnalis dikirimi kepala babi, sementara juru bicara presiden (kini telah lengser) dengan entengnya bilang, “Dimasak saja.” Sebagai perwakilan pemerintah saat itu, pernyataan tersebut menegaskan posisi pers di mata rezim: Tidak penting.

Pemerintah masih perlu diingatkan pentingnya komitmen terhadap kebebasan pers. Hari Kebebasan Pers Sedunia setiap 3 Mei jadi momen tepat, saat dunia mendukung media yang jadi sasaran pembatasan, atau penghapusan kebebasan pers—juga penghormatan bagi jurnalis yang gugur dalam tugas. Ini juga momen refleksi di kalangan awak media mengenai isu-isu kebebasan pers dan etika profesi.

Catatan World Press Freedom Index 2025 bisa jadi peringatan. Indonesia menempati ranking 125 dari 180 negara (skor 44,13)—capaian lebih buruk dari tahun lalu, peringkat 111 dari 180 negara (skor 51,15.). Dari lima indikator yang diukur, empat di antaranya melorot.

Indikator Politik mengalami penurunan skor dari 38,95 menjadi 36,59, sementara indikator Legislatif juga turun dari 57,57 menjadi 54,79. Penurunan skor yang paling signifikan terlihat pada indikator Keamanan, anjlok drastis dari 77,98 di tahun 2024 menjadi hanya 47,04 pada 2025. Indikator Ekonomi turun tipis, dari 33,46 menjadi 32,57.

Satu-satunya yang menunjukkan peningkatan skor adalah indikator Sosial, naik dari 47,77 pada 2024 menjadi 49,66 pada 2025. Dengan demikian, penurunan skor indeks keseluruhan pada 2025 sebagian besar didorong oleh kemerosotan skor pada indikator Keamanan, meskipun ada sedikit peningkatan pada skor indikator Sosial.

Reporters Without Borders atau Reporters Sans Frontiers (RSF) menyoroti aspek politik di Indonesia. Selama 10 tahun berkuasa Presiden Joko Widodo disebut mengingkari sejumlah janji. Oligarki media yang berkelindan dengan politik menguat, menyebabkan peningkatan kontrol terhadap media kritis dan manipulasi informasi melalui online trolls, pemengaruh berbayar, dan outlet yang berpihak.

AJI Indonesia kepada Radio Suara Surabaya, Jumat (2/5/2025), turut mengingatkan krisis bisnis media yang saat ini melanda banyak ruang redaksi di Indonesia. Menurut Ketua Umum AJI, Nany Afrida, situasi ini bukan sekadar persoalan ekonomi perusahaan media, tetapi juga ancaman serius terhadap kemerdekaan pers dan hak publik atas informasi.

Ia menyebut, banyak media terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap jurnalis dan karyawannya karena krisis. Lebih parah lagi, banyak ruang redaksi jadi corong kepentingan pemiliknya. “Kalau pemiliknya ke bisnis ya pastinya ke bisnis larinya. Begitu juga kalau politik. Jadi dia akhirnya punya stand-nya sama politik tertentu,” tambahnya.

Menurut dia fenomena ini sama sekali tak sesuai semangat pers untuk membela kepentingan publik. Sebaliknya, merupakan bentuk kolonialisasi baru terhadap insan pers, dimana kepentingan bisnis dan politik justru mengendalikan informasi publik. Kondisi ini berpotensi menyuburkan sensor diri dalam organisasi media dan di kalangan jurnalis.

Perubahan rezim sejak Oktober 2024 belum memberi harapan positif. Pemilu memenangkan Prabowo Subianto bersama putra sulung Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka. Di bawah pemerintahan baru ini, rekam jejaknya terkait kebebasan pers kurang meyakinkan. Kekhawatiran mengenai masa depan jurnalisme independen makin meningkat.

Simpang-siur informasi terkait revisi UU TNI membuktikan, bukan hanya pers yang aksesnya terbatas. Anggota DPR sebagai mitra pemerintah dalam menyusun UU, bahkan mendapat materi pada detik-detik terakhir sebelum pembahasan—berlangsung di hotel bukan di gedung parlemen disaksikan publik secara terbuka. Bertebaranlah dokumen lawas dari situs resmi DPR di media sosial, kemudian dituding hoaks oleh pemerintah.

Momen Presiden Prabowo Subianto diwawancarai enam jurnalis senior lintas media sempat meruak, tapi tidak memuaskan. Pengamat menilai pertemuan yang juga memuat bantahan revisi UU TNI dilakukan tertutup, mencerminkan sikap pemerintahan Prabowo kepada pers di Indonesia. Bahkan ada yang bilang, “Ini adalah bukti Presiden Prabowo memang pro-keterbukaan informasi dan menguasai materi.” Sementara komentar publik terbelah mengenai ajang ini.

Tak lama setelah wawancara yang digelar di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, pada Minggu (6/4/2025), presiden menunjukkan sikap bertolak belakang. Dalam pertemuan terbuka atau disebut town hall bersama Danantara, Senin (28/4/2025), wartawan diminta meninggalkan ruangan menjelang arahan dari Presiden Prabowo Subianto. Alasannya, yang disampaikan pasca-kegiatan, ada teguran yang mungkin mempermalukan peserta pertemuan.

Melabel pertemuan sebagai town hall—lazimnya digelar terbuka untuk publik tanpa settingan—praktiknya justru jadi rapat tertutup dengan pembenaran. ”Bukannya biasa gitu ya, terbuka pembukaan, lalu ada yang tertutup. Namanya juga acara pengarahan internal. Biasa, kan, pembukaan terbuka dulu. Coba kami check, ya,” papar Wakil Menteri Komunikasi dan Digital Angga Raka Prabowo, dalam laporan Kompas.id.

Flip-flop sikap pemerintah terhadap kebebasan informasi ini mau tak mau mempengaruhi kinerja pers. Di satu sisi, media cenderung mengutip sumber otoritatif dari pemerintah, meski pernyataannya tidak konsisten atau bahkan tak layak kutip. Tengok saja berapa banyak kepala berita dengan frasa “town hall” untuk memberitakan pertemuan yang pada akhirnya tertutup itu.

Sejumlah insiden kekerasan pada jurnalis juga mencerminkan bentuk intimidasi sistematis terhadap jurnalisme. Dampaknya tak hanya dirasakan individu korban, tetapi juga terhadap seluruh ekosistem kerja jurnalistik di Indonesia. Dalam catatan AJI Indonesia sudah 39 kasus sepanjang 2025, hingga artikel ini ditulis. Setidaknya dalam kurun waktu tiga bulan pertama, terdapat insiden serius yang melibatkan kekerasan dan intimidasi.

Di antaranya adalah teror dalam bentuk kiriman kepala babi ke rumah jurnalis Tempo, Francisca Christy Rosana (19/3/2025), berlanjut dengan ancaman berupa pengiriman bangkai tikus tiga hari setelahnya. Dua insiden lain berujung kematian: jurnalis perempuan berinisial J di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, dan jurnalis SW di Kebon Jeruk, Jakarta Barat.

Ancaman fisik atau non-fisik telah menimbulkan “efek gentar” (chilling effect), mengacu pada suatu situasi di mana individu atau kelompok menjadi enggan menggunakan haknya, seringkali terkait kebebasan berbicara. Konsekuensi hukum atau konsekuensi lainnya menanti mereka yang kritis.

Kasus JakTV, kepala babi, hingga tewasnya jurnalis di Banjarbaru dan Kebon Jeruk, adalah pertanda bahwa ancaman terhadap kebebasan pers bukan omong kosong belaka. Kondisi ini akan semakin parah seiring dengan meningkatnya tren impunitas terhadap pelaku.

Lonceng ancaman terhadap kebebasan pers sudah sepatutnya dibunyikan sekeras-kerasnya. RSF dalam laporannya mengingatkan, “Lebih dari separuh populasi dunia tinggal di negara dengan situasi kebebasan pers yang ‘sangat serius’,” kata organisasi nirlaba yang berbasis di Prancis ini.

Tidak hanya di Indonesia, kebebasan pers AS di bawah pemerintahan Trump dinilai memburuk. Sementara kebebasan pers di Jerman keluar dari peringkat 10 dunia. Catatan ini membuat indeks utama kebebasan pers global telah mencapai peringkat terendah dalam 23 tahun terakhir.

Trump misalnya, diberitakan telah menandatangani perintah eksekutif untuk memangkas pendanaan publik bagi outlet media seperti National Public Radio (NPR) dan Public Broadcasting Service (PBS), yang pemberitaannya dituduh bias kepentingan liberal (politik kiri yang berafiliasi dengan Partai Demokrat di AS). Tuduhan yang telah dibantah lewat kesaksian di Kongres.

Adapun tema global peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia oleh UNESCO tahun ini berfokus pada pengaruh mendalam Kecerdasan Buatan (AI) terhadap jurnalisme dan media, di bawah tema: “Meliput di Dunia Baru yang Berani – Dampak Kecerdasan Buatan terhadap Kebebasan Pers dan Media”.

AI diakui telah mengubah jurnalisme, menyediakan alat yang meningkatkan pelaporan investigatif, pembuatan konten, dan pengecekan fakta. Ini memungkinkan efisiensi yang lebih besar, aksesibilitas multibahasa, dan analisis data yang lebih baik.

Namun, kemajuan tersebut juga membawa risiko: misinformasi dan disinformasi yang dihasilkan AI, teknologi deepfake, moderasi konten yang bias, dan ancaman pengawasan terhadap jurnalis. Selain itu, peran AI dalam model bisnis media menimbulkan kekhawatiran tentang remunerasi yang adil untuk konten jurnalistik dan keberlangsungan bisnis media.

Image: RSF 2025

Artikel lain sekategori:

Komentar Anda?