Beranda  »  Artikel » Pantau Media   »   Mengukur Kualitas Liputan Bunuh Diri

Mengukur Kualitas Liputan Bunuh Diri

Oleh: Melekmedia -- 8 Mei, 2022 
Tentang: , , ,  –  Komentar Dinonaktifkan pada Mengukur Kualitas Liputan Bunuh Diri

Cegah bunuh diri tim samuel 5838809

Rentetan berita bunuh diri di Sragen mengguncang di tengah perayaan Idulfitri. Tiga kasus dalam sehari, jelas bukan hal yang lumrah.

Sepanjang Jumat (6/5/2022), tercatat dua kasus bapak-anak bunuh diri di Gondang dan Kedawung, Sragen, Jawa Tengah. Menyusul, berita bunuh diri seorang pemuda usia 30-an di Kedawung.

Kapolres Sragen, AKBP Yuswanto Ardi, pernah mengatakan kepada media bahwa sepanjang 2021 ditemukan satu warga Sragen bunuh diri per bulan. Penyebabnya, ditengarai karena depresi.

Bahkan satu kasus bunuh diri adalah tragedi. Kekhawatiran terhadap peristiwa tragis ini sejak lama mengundang pertanyaan, apakah liputan media mempengaruhi kian maraknya bunuh diri?

Pertanyaan ini muncul seiring temuan di beberapa media yang tak mencantumkan peringatan atau imbauan kepada pembaca.

Bila Anda membaca berita tentang kasus di Sragen lewat media online, beberapa di antaranya tidak mencantumkan peringatan dimaksud. Bahkan ada yang menampilkan materi berasal dari korban.

Ini mengkhawatirkan, tersebab Dewan Pers pada 2019 telah menerbitkan pedoman dalam pemberitaan kasus bunuh diri. “Pedoman Pemberitaan Terkait Tindak dan Upaya Bunuh Diri” itu berisi 20 butir rekomendasi.

Salah satu isinya, media harus menambahkan panduan untuk mencegah pembaca, pendengar, atau pemirsa meniru isi berita, dan mendapat bantuan dari pihak yang tepat.

Agar bisa ditegakkan, perlu mengukur kepatuhannya. Sebuah riset melahirkan alat bernama TEMPOS, patut dicoba di Indonesia, mengingat pemberitaan kasus bunuh diri belakangan ini.

Jika Anda merasa atau memiliki teman yang menunjukkan gejala keinginan untuk bunuh diri, jangan ragu untuk mencari bantuan. Terdapat sejumlah pihak yang menawarkan bantuan, misalnya Komunitas Yayasan Pulih yang bisa dihubungi lewat Instagram di @yayasanpulih dan email di [email protected], atau menghubungi Hotline Kementerian Kesehatan di nomor 1500-567. Dapat pula menghubungi Into The Light Indonesia, komunitas pencegahan bunuh diri dan kesehatan jiwa di Indonesia.

Fenomena “Efek Werther”

Seperti apa itu “Efek Werther”?

Dalam ilmu sosial dan kedokteran, dikenal istilah “Efek Werther” yang digunakan sebagai sinonim untuk efek imitasi yang diinduksi media dari perilaku bunuh diri.

Istilah ini lahir dari tokoh dalam novel Johann Wolfgang von Goethe “The Sorrows of Young Werther” (1774), yang bunuh diri karena depresi. Goethe mengisahkan dua kasus dengan sangat detail.

Efeknya bisa dilihat dalam kasus-kasus bunuh diri persis seperti yang dikisahkan Goethe dalam novelnya—dalam sejumlah kasus bahkan ditemukan buku Goethe di pelukan korban.

Sang Penulis tak menyangka hal itu bisa terjadi pada novel pertamanya tersebut. Beberapa pembaca Goethe menganggap ia mendukung dan mengagungkan bunuh diri Werther.

Meski peneliti menemukan beberapa laporan tentang efek imitasi terkait novel Goethe, tingkat epidemiologis dari fenomena ini sulit ditentukan.

Sejumlah riset pun digelar, mencoba membuktikan apakah pemberitaan di media berpengaruh terhadap kasus dan upaya bunuh diri. Terlepas dari seberapa besar dampaknya.

Riset tentang “Efek Werther”

Pada 1974 sebuah riset menunjukkan bahwa bunuh diri meningkat segera setelah beritanya dipublikasikan di surat kabar di Inggris dan di Amerika Serikat pada periode 1947-1968.

Semakin banyak publisitas yang ditujukan untuk cerita bunuh diri, semakin besar peningkatan kasus bunuh diri setelahnya. Khususnya di sekitar wilayah kasus bunuh diri yang diberitakan.

Penjelasan alternatif dari temuan ini; peningkatan bunuh diri disebabkan oleh pengaruh sugesti pada bunuh diri, pengaruh yang sebelumnya tidak ditunjukkan pada tingkat bunuh diri nasional.

Lalu pada 2003 sebuah riset menemukan efek berita bunuh diri selebritas atau politikus ternyata 14,3 kali lebih mungkin mengakibatkan efek peniru.

Studi berdasarkan kisah nyata dibandingkan dengan cerita fiksi, 4,03 kali lebih mungkin untuk mengungkap efek peniru. Berita di televisi justru 82 persen lebih kecil kemungkinannya mengakibatkan efek peniru daripada penelitian terhadap surat kabar.

RIset yang lain pada 2007 di Austria membuktikan bahwa kualitas peliputan media berpengaruh terhadap kasus bunuh diri.

Peneliti menemukan bahwa perilisan pedoman media untuk pelaporan bunuh diri di Austria sejak 1987, terbukti menekan jumlah dan upaya bunuh diri lebih dari 80 persen dalam waktu 6 bulan.

Ini semakin menguatkan bahwa “Efek Werther” bukan mitos belaka.

Mengukur kualitas pemberitaan bunuh diri

Dalam kasus lain, film atau serial tentang kisah bunuh diri juga ditengarai berpengaruh. Ahli komunikasi asal Jerman, Markus Schäfer, kepada media menjelaskan bahwa bahaya dari penceritaan di media adalah penggambaran terperinci tentang bunuh diri dan penyederhanaan penyebabnya.

“Inilah mekanisme pembelajaran sosial yang kita semua kenal: Kita menonton video di internet untuk mempelajari cara merias wajah, bermain gitar, atau mengikat dasi. Orang mempelajari bentuk perilaku baru melalui konten media,” katanya kepada DW.

Markus tak menyarankan media meliput kasus bunuh diri. “Terkadang, lebih baik tidak melaporkannya. Saran saya, coba pertanyakan: Apakah saya akan melaporkan penyebab kematian—katakanlah, serangan jantung—dengan cara yang sama?”

Ketika sulit membendung peliputan kasus bunuh diri, harapannya adalah memantau kepatuhan terhadap pedoman peliputan dari masing-masing pihak berwenang.

Peneliti pun membuat alat yang memungkinkan profesional media, peneliti, dan pakar pencegahan bunuh diri menilai kepatuhan terhadap rekomendasi dengan skala penilaian yang ramah pengguna.

Sorensen CC, Lien M, Harrison V, dkk. menulis makalah berjudul “The Tool for Evaluating Media Portrayals of Suicide (TEMPOS): Development and Application of a Novel Rating Scale to Reduce Suicide Contagion” yang terbit pada Maret 2022.

tempos analisis berita bunuh diri
Contoh tampilan dari instrumen TEMPOS (Sorensen CC, Lien M, Harrison V, dkk., 2022)

Meski menyisakan sejumlah catatan, penerapan TEMPOS berpotensi mengubah secara dramatis bagaimana peliputan kasus bunuh diri dilakukan pada masa mendatang.

“Kekuatan utama TEMPOS adalah mengakui nuansa komunikasi seputar bunuh diri dan kompleksitas perilakunya,” demikian tulis para peneliti.

Berbeda dengan skala penilaian lain—yang menggunakan ukuran kepatuhan biner—penilaian tiga skala TEMPOS memungkinkan penilai menangkap lebih banyak nuansa dalam kepatuhan terhadap rekomendasi pelaporan.

Tiga skala ini akan menilai 10 kriteria dalam instrumen penelitian. Misalnya tentang bagaimana media membingkai kasus bunuh diri? Jawabannya bisa: Membantu, Sebagian, atau Membahayakan.

TEMPOS juga memungkinkan untuk memeriksa kepatuhan media terhadap rekomendasi pelaporan bunuh diri bervariasi di antara kriteria, lintas maupun dalam publikasi yang sama, sepanjang waktu.

Profesional pencegahan bunuh diri yang ingin bekerja dengan media untuk meningkatkan kepatuhan dapat menggunakan TEMPOS untuk mengembangkan program yang lebih bertarget.

Upaya ini dapat dilakukan baik melalui pendidikan dan pelatihan, maupun selama periode yang lebih mendesak, seperti pada masa berisiko tinggi setelah lonjakan liputan terkait bunuh diri.

Secara internal, organisasi media dapat menggunakan TEMPOS sebagai alat penilaian dan pemantauan diri yang berkelanjutan.

*Photo by Tim Samuel

Artikel lain sekategori:

Maaf, Anda tak bisa lagi berkomentar.